Cerpen

ASA YANG MENGANGKASA

Karya Siti nureliza dan munasiroh

“Semuanya cepat berbaris saya hitung sampai tiga, satu..dua..tiga!!!” suara lantang sang komandan berbadan kekar dan berkumis tebal.Semua pasukan pun berlari pontang panting ke tengah lapangan.

“Pasukan saya ambil alih, siap gerak lencang kanan gerak tegak grak” perintah sang komanda kepada semua pasukannya.

Ya itulah aktivitas setiap pagiku sebelum melakukan tugas yang sebenarnya, dimana setiap pagi seluruh anggota pembela Negara wajib melakukan pemanasan seperti biasanya. Pemanasan ini dipandu oleh komandan yang berbadan kekar dan berkumis tebal. Pemanasan dilakukan kurang lebih 15 menit sampai 30 menit. Bukan suatu hal yang sulit bagiku apalagi menjadi seorang pembela Negara yang setiap harinya harus berurusan dengan nyawa. Adanya pemanasan membuatku semakin bugar jasmani maupun rohani karna ini dilakukan pada pagi hari saat udara belum terkontaminasi dengan polusi yang berlalu lalang setiap harinya. Pakaian yang serba hijau dibaluti loreng-loreng hitam inilah yang menjadi ciri khas dari seorang pembela Negara.

“Pemanasan selesai persiapkan diri kalian untuk melakukan tugas selanjutnya” perintah komandan itu kepada semua pasukannya.

Tatkala hendak pergi ke suatu daerah untuk menjalankan tugasnya tiba-tiba ada suara yang menggangguku

“Pandu bangun, sudah siang nanti kamu terlambat ke sekolah” suara ibu sambil menggoyang-goyang tubuhku.

“Iya bu, Pandu bangun” ucapku dengan nada yang masih lesu.

“Bu” panggilku ketika ibu hendak pergi ke dapur.

“Kenapa nak?” Tanya ibuku.

“Pandu lagi-lagi mimpi menjadi seorang pembela Negara bu”ucapku dengan nada sedih.

“Iya nak, ibu tahu kalau kamu ingin menjadi seorang pembela Negara” jawab ibuku

“Tapi bu apa mungkin cita-cita Pandu menjadi seorang pembela Negara akan terwujud?” tanyaku dengan ragu.

“Ibu yakin cita-cita kamu akan terwujud yang terpenting sekarang kamu rajin belajarnya” tutur ibu dengan mengelus rambutku.

“udah sana kamu mandi dulu”.

“Iya bu”.

Aku berlari menuju ke dapur dimana terdapat sebuah kamar mandi yang berukuran kecil bukan kamar mandi seperti orang pada umumnya yang tertutup rapat, berdinding tembok dan terdapat sejumlah alat-alat yang memadai. Disini hanya beralaskan tanah yang kalau hujan turun jadi becek dan tertutupi oleh kain terpal atau kain gori yang sudah tidak terpakai. Saat hendak mandipun aku harus mengerek tali yang dikaitkan dengan setiang besi berukuran kurang lebih 50cm yang terpasang kuat secara vertical diantara kedua tiang berlapisi tembok yang berdiri kokoh..

Setelah mandi ku melihat ibu sedang membuat combro. Combro yaitu makanan khas Jawa Barat, dimana bahan pokoknya terbuat dari singkong.

“Bu hari ini kita makan apa ya?” tanyaku.

“Hari ini kita makan nasi sama lauk sisa semalam ya soalnya ibu belum ada pemasukan hari ini” jawab ibu dengan sedih.

“Iya bu tidak apa-apa”.

Secepatnya kilat akupun bersiap-siap dan langsung menggunakan sepatu kemudian berangkat namun tak lupa bagiku untuk berpamitan terlebih dahulu. Jarak antara sekolah dan rumahku lumayan jauh sekitar 5km dan hanya kulalui dengan berjalan kaki, dimana setiap harinya harus bergelut dengan ribuan tumbuhan belukar yang memberikan kesan mengerikan. Namun demi sebuah mimpi yang kucita-citakan sejak dulu tak membuatku lantas putus asa.

Sebelumnya perkenalkan namaku adalah Pandu Wijaya, umurku saat ini yaitu 16 tahun. Saat ini aku duduk dikelas 10. Aku bersekolah di SMA 01 di desaku. Aku tinggal bersama ibuku sejak ayahku telah meninggal saat aku kelas 6 SD. Sehingga aku terbiasa hidup mandiri dan bekerja keras untuk menghidupi kebutuhanku dan ibuku. Waktu sudah menunjukan pukul 06.40, sedangkan aku masih bergegas berjalan menuju sekolah. Dengan tergopoh-gopoh dan napas yang terengah-engah aku sampai di sekolah, namun sayangnya pintu gerbang yang dalam keadaan sudah tertutup. Alamak aku terlambat!. Selepas upacara bendera ibu guru datang menghampiriku dan bertanya mengapa aku terlambat

“Anu maaf bu saya terlambat, saya gapunya kendaraan ke sini jadi saya jalan kaki”. Setelah panjang lebar kujelaskan akhirnya dia memaklumi dan aku dipersilahkan untuk masuk kelas. XII Mia 1 adalah kelasku sekarang, kelas yang dihuni oleh 40 orang, 20 orang laki-laki dan sisanya perempuan. Jujur saja, aku tidak memiliki teman banyak pada saat itu, mungkin karena aku orang miskin mangkanya banyak dari mereka sering mencibirku. Walaupun begitu aku tak mengambil pusing, untungnya masih ada orang yang mau menjadi sahabatku, Angkasa namanya. Dia terlahir dari keluarga berkecukupan namun dia tetap memiliki hati baik, tidak seperti temanku yang lain.

“Pan, kamu udah mikirin rencana kedepan belum buat daftar ujian perguruan tinggi? Aku udah ambil keputusan nih aku pengen ambil jurusan teknik. Hehehe

“Aku pengen jadi tentara Sa, aku pengen mengabdi pada negara tercintaku ini”

“Wuih keren Pan cita-citamu” kami pun sama-sama tersenyum simpul.

Tring-tring-tring bel sekolah tanda jam pelajaran sudah selesai dan pulang. Di gerbang sekolah aku melambai kepada Angkasa yang berbeda arah pulang. Sambil menyusuri jalan aku sambil berpikir keras kira-kira cara lolos seleksi menjadi tentara itu seperti apa. Selain fisik dan mental yang harus kuat, pasti didalamnya terdapat tes kemampuan akademik. Untungnya aku sudah terbiasa dengan jalan kaki dengan jarak yang jauh jadi sudah pasti dari segi fisik aku mumpuni. Setelah sampai di rumah, aku membantu ibu membereskan pekerjaannya, seperti menyampu, mengepel, mencuci baju, dan sebagainya. Setidaknya aku meringankan bebanya, karena lelah yang menyelimuti badan ini aku pun tidur sangat pulas hingga terbangun di tengah malam.  Di ruang tengah dengan beralaskan tikar duduklah ibu dengan mukena putih yang sudah usang, ia menangis tersedu-sedu dan berdoa

“Ya Rabb, semoga anakku dapat meraih cita-cita yang sangat diinginkannya, ijinkanlah aku menemani perjuangannya, setidaknya sampai ia berhasil sebelum aku dijemput oleh-Mu”

Aku mengumpat di samping dinding sambil menahan air mata dan berjalan pelan-pelan ke kamar. Pagi harinya aku tidak membahas tentang apa yang kulihat semalam. Beberapa minggu kemudian, Angkasa mengabariku tentang tes Akmil yang sudah dibuka di web. Aku pun segera melengkapi berkas-berkas sesuai persyaratan. Sebelum itu aku meminta doa restu ibuku terlebih dahulu.

“Bu, Pandu minta doanya buat daftar Akmil bulan ini ya, doain semoga Pandu lolos” sambil mencium kening dan tangan ibu

“Ibu selalu doain kamu nduk”

Kami pun berpelukan hangat saat itu, dengan mengucap bismilah aku apply berkas yang sudah kusiapkan sejak jauh-jauh hari. Tahun akhir bersekolah tiba, semua murid kelas XII sibuk mendaftar perguruan tinggi termasuk temanku Angkasa. Kudoakan selalu ia berhasil gumamku. Dua minggu berlalu sebuah surat resmi datang kerumahku.

“Nak ada surat dari pak pos nih coba dibuka dulu”

Dengan tangan gemetar penuh harap bercampur takut aku membukanya sambil membuang nafas. Bismillahirrahmanirrahim. Tertulis yang bernama ananda Pandu Wijaya selamat anda lulus di Akademi Militer Republik Indonesia. Aku berteriak kegirangan sambil mengucap sujud syukur, ibu menangis bahagia sambil memeluku erat. Setelah membaca lebih lanjut ternyata peserta yang lolos seleksi harus mengikuti pengarahan di luar kota untuk di wawancara dan lain sebagainya. Keesokannya aku berpamitan dengan ibu untuk pergi, sebenarnya aku tak tega meninggalkan ibu tetapi mau bagaimana lagi. Sebulan telah berlalu setelah melewati pelatihan, akhirnya pelantikan resmi anggota Akmil pun tiba. Para orang tua tampak hadir memenuhi kursi yang disediakan terkecuali ibuku, aku tidak melihatnya sedari tadi. Tiba-tiba telfonku berdering tertanda nomor yang tak kukenal

“Halo, maaf ini siapa ya?

“Ini saya pak Ahmad tetangga mas Pandu, saya mau kasih tau kalau ibu mas dibawa kerumah sakit karena ditemukan pingsan di rumah”

Tanpa berpikir panjang aku bergegas kerumah sakit, di perjalanan aku lagi-lagi menahan air mata. Aku tak lagi memikirkan pelantikan itu, yang kupikirkan hanya ibuku. Ibuku kenapa?. Atas nama ibu Rahma berada di kamar mawar nomor 131. Selepas itu aku menemuinya, kupadangi tubuh dan wajah yang sayu dan terbaring lemas. Sambil memegang tangannya aku pun menangis lalu tiba tiba ibuku terbangun dan mengusap kepalaku sambil tersenyum dan berkata lirih.

“Selamat ya nak atas pelantikanmu, maaf ibu sudah membuatmu khawatir”

“Jelas aku sangat khawatir, karena kau segalanya bagiku” sambil memeluk tubuh ibuku.

“Ibu bersyukur sekali akhirnya doa ibu sudah tercapai, setidaknya ibu sudah mengantarkanmu ke masa depanmu nak” ucap ibu yang semakin lirih bicaranya

Aku hanya bisa menangis tanpa berbicara satu kata pun, kulihat matanya sudah memejamkan mata tak bangun kembali. Segera aku berlari memanggil dokter, selang beberapa lama, innalillahi wa inna lillahi rojiun dia sudah tidak ada untuk selama-lamanya. Aku hantarkan ke tempat peristirahatannya sebagai wujud baktiku untuk yang terakhir kali. Aku jadi teringat doanya yang terucap malam itu, betapa beruntungnya aku memiliki malaikat sepertinya. Ibuku mungkin bukan orang yang sempurna yang memiliki banyak harta dan kekayaan lainnya, namun dengan cinta dan kasih sayang utuh yang ia miliki mampu membuatku merasa dicintai secara sempurna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.