Lepas
A prosa written by Rofita Ningsih
Rintik hujan turun di kala malam menjelang. Menemaniku yang saat itu tengah dirundung rindu. Aku sebenarnya pun tak tahu, kenapa waktu itu bisa kembali teringat dengan sosokmu. Mungkin, karena ledekan teman-teman kita yang menyorakiku tentang dirimu? Tepat sebelum petang itu tiba. Cuaca yang mendingin. Sepotong kebab dingin. Dan setumpuk tugas kuliah yang masih kukerjakan setengah menjadi temanku malam itu.
Suasananya bisa kubilang sendu. By, bahagiakah kamu saat ini? Tanyaku pada diri sendiri. Memandang kosong pada layar ponsel yang gelap. Sejenak, rasa sesak yang entah datangnya dari mana memasuki dadaku. Mendiami entah organ yang mana. Entah itu jantung, hati, atau paru-paru. Karena yang pasti, tarikan napas yang kuambil seolah bertambah berat dengan beberapa gram debu.
Hujan di luar sana kian menderas. Seolah mewakiliku yang sudah tak bisa lagi untuk menguraikan air mata. Kupegang ponsel dalam genggaman. Membuka aplikasi pesan dan sekejap kemudian meletakkan kembali benda itu di meja.
By, tak tahukah kamu jika aku ingin menyapa? Menanyaimu kabar yang meskipun sudah kutahu pasti jawabannya?
“Apa aku benar-benar sudah tak ada peluang lagi, By?” tanyaku lirih. Menatap sendu pada layar ponsel. “A—aku merindukanmu, By!” ulangku, terbata-bata. Kutundukan kepala dalam. Membiarkan rambutku yang panjang dan tergerai menutupi wajah. Udara malam kian menusuk. Memaksaku untuk bangkit dari ranjang dan mengambil sebuah selimut di lemari.
By, tak ingatkah kau pada janjimu dulu? Kamu yang waktu itu berjanji akan selalu menemaniku saat di perpustakaan kampus? Atau janji untuk belajar bersama? Ya, hanya sesederhana itu memang janji yang kamu ucapkan, Alby. Namun cukup membuatku merasa senang lalu kemudian tak nyaman karenanya.
Ah, aku lupa. Janjimu ternyata memang hanya sebatas janji saja. Apalagi pada janji remeh semacam itu. Aku justru semakin tak yakin denganmu, By. Jika janji seremeh itu saja bisa kamu lupakan, apalagi jika janji yang besar? Sehidup sekomitmen dan seperjuangan, misalnya?
Rupanya hujan di luar sana sudah mulai mereda. Menyisakan hawa dingin dan angin malam yang kian menusuk membelai kulit. Kupaksakan diri untuk bangkit. Kembali menghampiri meja belajar dengan tetap bergelung selimut. Bukankah aku masih ada tanggungan tugas kuliah yang jauh lebih penting untuk kupikirkan dibanding tingkahmu kan, By?