Warning!!!
Cerita mengandung unsur kekerasan. Bijaklah dalam membaca.
Karya : Dita Novitasari
“Nad? Kamu di mana? Aku mau balik, nih,” panggilku, menyusuri tiap sekat rumah untuk berpamitan. Ketika sampai di dapur, aku terkejut melihat Nadia bersimbah darah di pergelangan tangannya. Ya Tuhan, aku harus bagaimana?
Segera aku berlari mendekati Nadia, mengambil ponsel dan menelfon Pak Burhan-dokter keluargaku. Ku jelaskan semuanya dan beliau memintaku untuk tidak panik dan segera mengikat lukanya sembari menunggu beliau datang. Nadia mendapat 6 jahitan di lukanya. Meskipun aku baru dua minggu mengenalnya, namun kuputuskan untuk menginap, mengingat Nadia hanya tinggal seorang diri di sini.
Paginya, aku terbangun dan mendapati Nadia sudah tidak ada di sampingku. Rasa khawatir seketika menyergapku, takut jika Nadia melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya lagi.
”Selamat pagi, Em. Apa tidurmu nyenyak?” sapa Nadia ceria dari balik pintu. Menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Aku hanya terdiam melihatnya tersenyum. Kuraih tangannya, mengecek luka dan perban yang sedikit basah terkena air. Lalu, membantu mengeringkan rambut dan mengganti perban lukanya. Dia hanya membalas dengan senyuman lalu memelukku, “Em, ayo berteman?”
”Iya,” balasku. Sejujurnya aku khawatir dengan keadaannya yang belum begitu pulih. Jadi, kuputuskan untuk mengajak Nadia tinggal di apartemenku. Begitu sampai di apartemen, kuajak dia untuk berkeliling sembari berbincang. Nadia mengaku jika lukanya ini karena tak sengaja tergores pisau. Aneh memang, bagaimana bisa pisau itu menggores tepat di nadinya dengan begitu dalam?
Namun, biarlah. Kami kembali berbincang hingga malam. Membicarakan apapun tentang kehidupan masing-masing. Ternyata Nadia gadis yang asik, sehingga membuatku nyaman untuk menceritakan sebagian kisah hidupku. Aku terlalu mendominasi pembicaraan kali ini. Termasuk kisah percintaanku dengan Heksa. Bagaimana awal aku dan Heksa bertemu hingga akhirnya merajut kasih. Pun, dengan kehidupan keluargaku. Hingga suatu hari, aku mendengar kabar kematian Heksa-setelah seminggu lebih menghilang-dari grup kelas. Kabarnya, mobil yang dikendarai masuk jurang. Tapi, sejauh aku mengenalnya, Heksa bukanlah tipe orang yang lalai apalagi ceroboh saat berkendara.
”Em, mampir ke rumahku dulu, yuk? Ada beberapa barang yang mau kuambil,” ajak Nadia, memecah lamunanku tentang Heksa. Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Kubiarkan Nadia mengambil alih kemudi.
Jam dua siang, kami sampai di rumah Nadia. Kualihkan pikiranku tentang kematian Heksa dan kematian papa dengan membersihkan rumah. Entahlah, ini sangat aneh bagiku, kematian Papa hanya selang seminggu sebelum kematian Heksa. Semua serba mendadak. Apalagi Papa meninggal dalam keadaan tragis, yakni leher yang digorok dengan sebilah parang. Tepat di atas ranjang rumah sakitnya.
Terdengar sadis memang, tapi begitulah adanya. Mama bahkan pingsan saat pertama melihatnya. Tapi, siapa yang melakukan hal biadab seperti itu? Bukankah itu biasanya dilakukan oleh psikopat seperti di film-film? Tapi, siapa? Apakah orang suruhan saingan bisnis Papa? Ah, entahlah. Kepalaku pusing memikirkan semua ini. Biar petugas kepolisian saja yang menyelidikinya.
”Nadia, kamu naruh sapu lidi di mana?” teriakku dari halaman.
“Cari saja di gudang, Em. Dekat dapur,” jawab Nadia.
Aku berjalan menuju gudang yang gelap dan berdebu. Kucari ke segala sudut hingga ke samping lemari, tetapi tidak ada. Lalu di mana Nadia menyimpannya? Apa mungkin di dalam lemari? Iseng, kubuka lemari usang yang isinya dipenuhi tumpukan baju, berkas dan foto. Kuraih salah satu foto dan mengamatinya. Manis, keluarga yang sangat bahagia. Nampak seorang anak perempuan berusia 10 tahunan di gendongan ayahnya, didampingi seorang perempuan cantik yang berusaha menyuapi si anak. Tanpa sadar air mataku menetes. Teringat masa kecilku yang tak bisa merasakan momen di dalam foto tersebut.
Ah, sudahlah. Itu juga demi kebaikanku. Kuletakkan kembali foto itu. Saat pintunya hendak ditutup, ternyata ada kain penutup kotak yang menjuntai menghalangi. Karena penasaran, aku pun menurunkan kotak itu dan membuka kain penutupnya.
Tunggu, apa ini? Tulang-belulang manusia? Astaga! Dan lagi bajunya persis dengan yang di foto. Bagaimana bisa tulang manusia ada di kotak ini? Apa Nadia sudah tahu? Atau jangan-jangan?
”Em, kok lama banget, sih? Kamu cuma nyari sapu, kan?” Suara Nadia mengagetkanku. Astaga, aku harus bagaimana? Badanku gemetar, tenggorokanku tercekat. Aku baru saja menemukan sesuatu yang mengerikan. Ngeri sendiri rasanya jika apa yang kupikirkan benar-benar terjadi. Langkah Nadia terdengar semakin mendekat. “Em, kamu nggak apa-apa?” Nadia memegang pundakku, membuatku seketika menegang seolah tertangkap basah sedang melakukan kejahatan.
“Ini apa, Nad? Apa yang kamu lakukan dengan perempuan ini?” suaraku bergetar, berharap jika jawaban Nadia tak seperti yang kupikirkan. “Emely, apa kita masih bisa berteman jika aku menjelaskan itu?” Nadia bertanya balik. Aku mengangguk lalu Nadia memelukku.
”Itu ibuku, Em. Ini adalah bukti bahwa aku adalah anak baik yang tetap menyimpan jasad Ibu meskipun dia sudah membuat ayahku gila dan berakhir bunuh diri. Dia selingkuh dengan adik ayah, Em. Aku masih sepuluh tahun saat membunuhnya, jadi agak susah untuk memotong tubuhnya menjadi kecil-kecil seperti itu,” terang Nadia sambil tersenyum.
“Aku menyayangimu, Em. Kamu sangat baik padaku. Jadi, aku menyingkirkan orang-orang yang menyakitimu. Aku ingin yang terbaik untuk pertemanan kita, Em. Jadi, ku singkirkan Papa dan Heksa-mu itu. Aku nggak suka kalau kamu terus sedih karena dua lelaki sialan itu. Aku sangat baik kan, Em? tambahnya, membuatku terperangah ngeri.
Seperti dihantam ombak besar, aku tidak bisa merasakan kakiku lagi. Pandanganku mengabur tertutupi air mata. Aku luruh, tak kuasa menahan badanku sendiri. Sakit sekali rasanya mengetahui pembunuh orang yang kusayang adalah teman dekat sendiri. Kuseka air mata lalu bangkit. Meninggalkan Nadia tanpa kata-kata.
“Emely, kamu mau ke mana?” tanya Nadia.
Aku kecewa. Sangat kecewa. Nadia yang sekarang, bukan Nadia yang aku kenal dulu.
”Em? Kenapa kamu diem aja? Jawab aku, Emely!” panggilnya, nampak frustasi dan seperti orang hilang akal. Aku tak percaya dia melakukan segala cara agar bisa tetap berteman denganku. Termasuk membunuh Papa dan pacarku.
“Kamu sudah berjanji kalau kita akan tetap berteman, kan? Ini, lihatlah bekas luka ini, Em! Kamu yang menyelamatkanku saat aku mencoba bunuh diri. Aku cuma nggak suka kamu sering ngabisin waktu dengan Heksa dibanding sama aku, Em. Aku nggak suka kalau nantinya kamu bakalan hidup sama Heksa daripada sama aku! Aaargh!!” lanjutnya, menunjukkan bekas lukanya, dan mengacak rambutnya frustasi. Namun, aku tetap begeming dan terus berjalan.
Hingga pada detik selanjutnya, dia tidak terkontrol lalu memukulku dengan kayu tepat di kepalaku. Aku terhuyung karena saking kerasnya dia memukul. Aku merasa ada darah yang mengalir di kepalaku. Aku gemetar ketakutan melihat Nadia seperti ini.
“Nadia, sadarlah. Aku temanmu. Iya, kita berteman, kita akan menjadi teman selamanya. Aku berjanji,” rayuku.
“Ya Tuhan! Em, maafkan aku. Ayo, aku obati. Bangunlah Em, aku akan membantumu,” ucap Nadia, membantu memapahku. Dia nampak bahagia ketika aku mengajaknya berteman.
Saat Nadia membuka pintu gudang, kuputuskan untuk kabur menuju mobil. Sial! Kenapa pintunya tidak terbuka? Tiba-tiba, rambutku dijambak Nadia dari belakang dan menyeretku kembali ke dalam. Beberapa kali aku meronta minta dilepaskan sebelum akhirnya dibawa ke kamar mandi, memasukkan kepalaku pada bak berisi air sambil berteriak kesetanan.
“Matilah kau, Em! Kau seperti Aleta yang menyedihkan!”
Kepalaku dihantamkan ke dinding kamar mandi hingga berdarah. Namun, Nadia tak berhenti. Ia terus saja mengumpat dengan nama Aleta. Lalu, sekilas bayangan Papa dan Heksa yang tersenyum kembali terputar. Membangkitkan semangatku untuk melawan. Masih dengan kepala ditenggelamkan di air, kuraba sekitar dan menemukan sikat gigi lalu kupatahkan agar runcing. Begitu Nadia mengangkat kepalaku, kutusuk pahanya hingga membuatnya melepas jambakan.
”Aaargh!! Sial kau, Em,” jerit Nadia kesakitan.
Aku berlari menuju dapur, mengambil sebuah pisau dan kusembunyikan di balik punggung. Nadia kembali mengejarku dengan tertatih. Matanya menatapku nyalang. Persis seperti seorang psikopat yang menemukan targetnya. Tanpa pikir panjang, kuhampiri Nadia dan langsung menikamnya tepat di ulu hati. Kontan gadis itu ambruk dengan pisau yang masih menancap di perut.
Aku terengah. Lebih baik membunuhnya daripada aku yang harus mati. “Aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai temanku!” ujarku, menatap Nadia yang sudah tidak bergerak.
“Bugh!”
Seketika aku tersungkur begitu sebuah balok kayu dipukulkan ke belakang kepala. Kepalaku rasanya berat dan pandangan mengabur. Namun, kulihat sekilas sesosok pria menghampiri Nadia.
“Nadia?” panggilnya lalu membopong Nadia dan melewatiku begitu saja.
Aku tidak mengira jika hidupku akan seperti ini. Hampir mati di tangan seorang psikopat gila yang kesepian dan terobsesi untuk berteman. Semua tubuhku seperti mati rasa sampai tidak ada tenaga lagi untuk meminta pertolongan. Entah kenapa tidak adil rasanya, jika aku harus mati di tangan gadis itu.
Dalam keheningan ruang, pikiranku melayang. Sudahkah berakhir semua ini? Bagaimana dengan hidupku? Kuharap ini hanyalah mimpi. Seseorang, tolong bangunkan aku.
Selesai.