Dulu, Kakekku Seorang Pelukis
Oleh : Nafisa Zunilova
Ketika berkunjung ke rumah Segara, anak pertamanya, sosok laki-laki tua itu menarik napas dalam-dalam saat ia menemukan cucu semata wayangnya tengah sibuk dengan kanvas dan berbagai peralatan melukis di halaman belakang rumah.
Fakta bahwa cucu kesayangannya itu mulai menekuni hal yang sama dengannya, sempat lelaki tua itu menjadi gugup sekejap. Ingatan tentang kejadian yang pernah menimpanya dulu kembali terbayang. Perlahan tapi pasti, ia berjalan maju untuk mendekati cucunya.
“Apa yang sedang kau lukis, Timur?” tanyanya.
“Ini hanyalah sesuatu yang ada di kepalaku saja, Kakek,” jawab Timur dengan malu-malu.
“Pantas saja. Jujur, kalau Kakek boleh kasih komentar pada lukisanmu, lukisanmu sangat tidak memiliki nilai jual. Bahkan tidak memiliki nilai seni itu sendiri. Kau sebaiknya berhenti melukis. Tidak ada artinya!” sebenarnya, si Kakek juga dibuat terkejut oleh perkataan yang baru saja ia ucapkan. Namun, ia berusaha untuk menutupinya.
“Apa maksud, Kakek? Memang kita tidak diperbolehkan untuk mengerjakan berdasarkan apa yang kita suka saja?” sontak Timur mulai membereskan peralatan melukisnya dan segera pergi dari taman itu.
Segara, ayah Timur, diam-diam telah menyaksikan peristiwa tersebut dari kejauhan. Ketika ia hendak menghampiri, Bapaknya sudah terlebih dahulu mendekatinya.
“Apakah semua baik-baik saja, Pak?” tanya Segara memastikan.
“Ya, semua baik-baik saja. Tetapi sepertinya Bapak sudah harus kembali pulang. Sudah hampir gelap,” pamit laki-laki tua itu.
Setelah mobil menghilang di ujung jalan, Sagara mencari Timur. Ia menemukan anaknya termenung di kamar, memandangi lukisan yang tadi dibuatnya. Dengan hati-hati, Sagara mendekati anaknya.
“Timur, apakah semua baik-baik saja? Tadi ayah melihat sepertinya ada perdebatan kecil antara kamu dan Kakek.“
“Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan Kakek. Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba saja ia mendekatiku, bertanya apa yang sedang kulakukan, lalu berkata buruk tentang lukisanku. Tanpa ingin menghilangkan hormat kepadanya, tetapi ini sangat tidak masuk akal!” Protes Timur dengan wajah yang sangat marah.
“Jadi itu masalahnya..”Sagara terdiam sejenak. Ia bimbang apakah harus menceritakan sesuatu yang menyangkut Bapaknya. Namun, pada akhirnya ia memutuskan untuk berbicara.
“Kamu tau, Timur? Sebenarnya ada alasan dibalik Kakek mengatakan hal itu. Sebelumnya, apakah kau sudah tahu bahwa Kakekmu juga dulu adalah seorang pelukis hebat pada masanya?” tanya Sagara.
“Kakek? Seorang pelukis?” Timur mulai penasaran dengan jawaban Ayahnya.
“Ya. Dulu, Bapak—Kakekmu, adalah seorang pelukis juga. Ia sudah menekuni dunia melukis jauh sebelum bertemu Nenekmu. Mungkin sama denganmu, saat ia sedang duduk di bangku sekolah. Bahkan Kakekmu juga konon sesekali sering mengikuti pameran lukisan besar berskala internasional. Tidak jarang, lukisan Kakek juga ditaksir dengan harga yang tinggi.”
“Lalu? Apa yang terjadi setelah itu? Mengapa kakek tidak pernah menunjukkan atau sekadar menceritakannya padaku?”
“Sesuatu buruk terjadi. Ayah tidak mengerti jelasnya, karena ini juga terjadi sewaktu Ayah kecil, saat itu ayah belum mengerti tentang dunia dan masalah orang-orang dewasa. Tetapi, kata Nenekmu, suatu waktu Kakekmu sudah tidak bisa lagi melukis berdasarkan kemaunya, berdasarkan kepuasan hatinya. Ada beberapa pihak-pihak yang mendistraknya. Untuk itu, Kakek akhirnya memilih untuk meninggalkan dunia melukisnya dan beralih untuk membuka tempat makan ayam itu. Sangat berbalik, bukan?” jelas Sagara panjang.
“Lalu apa kaitannya denganku? Apakah kakek tidak ingin melihatku melukis lagi karena kejadian yang menimpanya di masa lalu? Sangat tidak adil,” jawab Timur.
“Entahlah. Bisa jadi Kakek tidak ingin kejadian yang sama juga menimpamu.” Tidak lama setelah mereka berbincang, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Kakek tua itu kembali lagi.
“Timur, tolong bukakan pintu itu. Sepertinya ada tamu,” perintah Sagara. Melihat kakeknya, dengan berat hati Timur membuka pintu rumahnya.
“Timur, maafkan ucapan Kakek tadi sore. Kakek sangat menyesal telah mengatakan itu kepadamu. Kamu tidak pantas mendapakatkan perkataan itu,” ucap Kakek.
“Tidak mengapa, Kek. Timur mencoba untuk memahami kondisi Kakek.”
“Apakah Ayahmu memberitahumu?”
“Ya, tetapi Ayah tidak mengerti detil dari ceritanya. Dan sebenarnya aku juga masih penasaran apa alasan Kakek melakukan itu semua.”
“Baiklah, mari kita habiskan malam ini dengan cerita yang memilukan itu. Tapi, aku ingin menceritakannya sembari melihat kau melukis. Apakah boleh?”
“Dengan senang hati, Kakek.” Akhirnya malam itu, dengan cahaya lampu yang kekuningan, Kakek dan Cucunya menghabiskan waktu bersama. Cerita masa lalu Kakek menginspirasi Timur untuk selalu berkarya berdasarkan hati nuraninya.