Pena dan Tinta Merah
Karya: Muhammad Yoga Firmansyah
Kala purnama tengah memudar
Kala manusia telah jauh dari rasa sadar.
Kertas dan pena
Belati serta serpihan kaca,
Terbalut dinginnya malam
Menari lembut di atas rasa yang semakin kelam.
Kepala manusia terlalu sesak
Terlalu penuh hingga hampir meledak.
Sepi, dunia ini tak pernah sunyi.
Rintik hujan turut serta membelai
Seorang manusia yang lalai
Mengukir rasa pada bagian yang tak pernah terurai.
–tertanda manusia tak palsu, Aishwarya.
Gendis Cetta Aishwarya, perempuan manis yang berpengetahuan luas, makmur dan kaya, kira-kira itulah harapan dari nama yang diberikan orang tua kepadaku saat mereka dengan sabar menanti 9 bulan menyambut bahagia putri pertama saat lahir sehat ke dunia ini. Aku tinggal di tengah kota yang tidak terlalu besar, berada di pemukiman padat yang sunyi saat matahari telah terbenam.
Sayup suara katak dan jangkrik mengelilingi ruangan yang menghadap taman kecil di sebelah rumah yang basah sehabis turun hujan. Purnama yang telah tinggi, angin, serta dingin bersekongkol membentuk latar sunyi yang kian sendu untuk dilalui. Kupandangi jendela kayu kamarku, cahaya rembulan perlahan menyelinap masuk sedikit menghilangkan gelap malam yang kian pandai membuat manusia hilang kendali.
Kulihat jam di sudut kamar dengan lengan pendek menunjuk pada angka 1 dan angka 9 di lengan panjangnya. Namun aku masih duduk di sini, di bangku ini, di belakang meja yang dipenuhi buku serta kertas yang berhamburan pada setiap sudutnya. Tak ada rapi saat malam menjelang, semuanya harus seperti ini. Setidaknya sampai semua manusia di dalam ruangan ini tertidur.
Kupandang seorang yang mengenakan baju merah di sebelah kanan meja, seraya ia berkata:
“Kita harus membuat yang lebih dari ini, kalau tidak kita semua tidak akan melihat mentari esok hari.”
Dan orang berbaju putih, sambil sedikit ragu berujar, “Tidak, ini sudah cukup, ini sudah cukup bukan?”
Semua orang kemudian memandangku dengan tatapan haus akan jawaban. Dan orang dengan baju hitam di depanku berkata, “Lakukan sesukamu, berhenti atau terus, tak lama lagi kau akan segera mati.”
“Tunggu, mungkin masih ada malam selanjutnya, mari kita cukupkan,” kata orang berbaju putih kini dengan nada yang semakin ragu.
“Tidak, menurutku kita bisa membuat yang lebih dari ini, apa kau lupa bagaimana dunia ini menghajarmu? Itu adalah bekal untuk saat ini,” ujar orang berbaju merah dengan nada tinggi.
“Hahaha, teruskan saja perdebatan kalian, tapi ingat semesta tidak pernah berhenti berjalan saat kalian saling beradu isi kepala!” Seru orang berbaju hitam.
Aku menguatkan diri, lalu berlari ke atas ranjang, menarik selimut hingga menutup badan dan kepalaku.
“Cukup, aku, aku ingin semua ini berakhir, apakah kalian semua tak lelah selalu seperti ini tiap malam datang?” Dengan suara lirih aku mengatakan pada semua orang.
Bising dan sesak, itu yang aku rasakan di tengah malam sunyi ini. Air mata yang sedari tadi kubendung, kali ini harus mengalir kembali, membelai pipi hingga jatuh pada kasur tempat tubuh ini lari dari tatapan semua orang.
“Baik, mari buat satu lagi, kali ini aku sertakan juga tinta merah yang sedari tadi kalian minta, setelah ini mari berdamai, entah esok masih bisa kulihat atau tidak, untuk malam ini, aku tidak ingin mati,” ucapku dengan yakin setelah sesak berhasil memojokkan perasaan yang gagal aku uraikan.
Kuraih laci di bawah meja, belati yang selalu aku simpan rapi di dalam sana, malam ini harus kembali bekerja.
Kelam,
Kepala manusia sedang kusam
Dengan pena dan tinta dari lengannya ia bertahan
Selembar kertas menjadi rumah paling aman
Ia tuliskan, bahwa ia tetap inginkan kematian!
Dingin dan sesak
Buram dan sepi
Hilang lalu mati
Menari lembut di atas lengan
Menyelam jauh ke dalam kepala
Sampai kapan kau ingin ada?
Sampai kapan kau harus menderita?
Dedaunan berdesir di luar, matahari yang baru saja bangun, embun dari hujan semalam yang membelai lembut dedaunan kala pagi. Aku mendengar lirih suara burung-burung berbincang, mereka membicarakan tentang indahnya mimpi yang mereka dapatkan semalam.
Aku memandang jendela kayu kamarku, menyelinap pelan cahaya mentari memeluk manusia yang masih ada di dunia untuk menikmati hangat dirinya setelah dingin malam hampir membunuhnya.
Aku bangkit dari ranjangku, kudapati meja dengan buku dan kertas yang tersusun rapi di setiap sudutnya. Tak ada bising, hanya sunyi yang menemani pagi indah pada hari ini.
Lalu kemana perginya semua orang malam tadi? Ah, aku rasa aku hanya bermimpi. Hanya ada aku, di dalam ruangan yang menghadap taman kecil di sebelah rumah yang basah sehabis turun hujan.
Di tengah hangatnya suasana pagi, di atas bangku, di belakang meja di dalam kamarku. Aku meraih sebuah buku beserta pena bertinta hitam di sudut kanan meja. Aku hirup segarnya udara pagi dan dengan tanpa perlu alasan yang ada aku menulis di selembar halaman kosong dengan perasaan bersyukur dan suka cita.
Jadilah malam untuk rindunya yang tak pernah absen untuk meng-anyam-nya setiap malam
sehingga ia bisa merebah tenang, membaringkan sesaknya setelah berjam-jam bergelut dengan anyaman itu
Biarlah rindunya tertidur dan bergerilya di dalam mimpi
menunggu bintang-bintang yang sedari tadi menjadi tontonan dan bulan yang menerangi malamnya
menghantarkannya sampai ke alam bawah sadarnya
Lihat! dia tersenyum, cantik bukan? itu pertanda… jika rindu sudah tidak lagi mengikatnya yang selalu membuat resah; dan kini ia bermimpi indah
Kalau boleh ku tanya, kau kah yang datang ke sana menjumpainya?