Resensi Buku

Identitas Buku :

Oleh Mazda Ghazali Hidayat

Judul Buku : Filsafat Kebahagiaan: Dari Plato, via Al-Farabi dan Al-Ghazali, sampai Ki Ageng Suryomentaram.

Penulis : Fahruddin Faiz

Penerbit : PT. Mizan Pustaka Bandung

ISBN : 978-602-441-332-3

Cetakan Pertama : November, 2023

Jumlah Halaman : 284 Halaman

Editor : Ahmad Baiquni

Allah menciptakan kita untuk bahagia. Kita pun jangan mencari-cari alasan untuk tidak bahagia. Mari berbahagia, sekarang, di sini, seperti ini. Kebahagiaan itu sejatinya lahir dari dalam diri. Kita yang menentukan apakah kita ingin bahagia atau sengsara. Fahruddin Faiz seorang dosen filsafat dan pengasuh kajian ngaji filsafat, dalam bukunya “Filsafat Kebahagiaan” memberikan kita pandangan tentang kebahagiaan dari berbagai filsuf besar. Para filsuf itu akan memberitahu bagaimana cara agar kita bisa mencapai predikat bahagia.

Dimulai dengan Plato, dari Yunani Kuno. Plato telah memberikan analogi indah tentang jiwa yang digambarkan seperti kereta kuda bersayap yang dikendalikan oleh seorang sais. Kudanya ada dua, kuda hitam dan kuda putih. Kuda hitam adalah simbol Epithumia lambang nafsu manusia. Kuda putih adalah simbol Thumos lambang hasrat, ambisi, atau harga diri. Kedua kuda itu dikendalikan oleh sais yang disebut Logistikon lambang akal dan rasio. Sementara sayapnya adalah Eros atau cinta.

Untuk menggapai kebahagiaan perlu adanya optimalisasi keempat elemen tersebut. Hubungan antara Epithumia, Thumos, Logistikon, Eros harus harmonis. Antara nafsu, hasrat, dan akal harus seimbang. Itulah konsep bahagia versi Plato. Kita harus bisa mengkondisikan nafsu, hasrat, dan akal agar bisa berdampingan seimbang di bawah sinaran Eros atau cinta, jika sudah bahagia akan kita peroleh.

Fisuf kedua yang menjadi pembahasan adalah filsuf muslim yakni al-Farabi. Berbeda dengan Plato yang memberikan analogi sehingga mudah dimengerti, konsep kebahagiaan menurut al-Farabi lebih rumit. Namun yang menjadi pembeda secara garis besar adalah konsep kebahagiaan versi Plato bersifat individual sedangkan bahagia versi al-Farabi bersifat sosial. Kamu tidak bisa bahagia kalau lingkungan sekitarmu tidak bahagia. Tapi disisi lain kebahagiaanmu adalah sumber kebahagiaan sosial. Ini menunjukan hubungan kebahagiaan individual dan sosial ibarat puzzle yang saling mengisi. Seperti itulah al-Farabi memandang kebahagiaan.

Selanjutnya masih dalam lingkungan muslim, tokoh ketiga yang dibahas adalah al-Ghazali. Cara agar seseorang mencapai kebahagiaan menurut al-Ghazali adalah seseorang harus mewaspadai dua hal, syahwat dan amarah. Selain menjauhi dua hal tersebut, ilmu pengetahuan juga harus diperoleh. Dengan ilmu seseorang dapat mengenali diri dan Tuhannya dan kemudian dapat mengenali dunia. Kebahagiaan versi al-Ghazali erat hubungannya dengan nilai spiritualitas dan unsur pendekataan diri kepada Tuhan. Tidak heran karena konsep kebahagiaan ini digagas oleh seorang yang alim, sufi, sekaligus filsuf.

Tokoh terakhir yang merumuskan kebahagiaan dalam buku ini datang dari tanah Jawa, Ki Ageng Suryomentaram. Seorang bijak bestari dari tanah Mataram, berasal dari keluarga kerajaan yang memilih menjadi rakyat biasa. Ki Ageng Suryomentaram merumuskan konsep kebahagiaan yang disebut “Enam S.” Bahagia dapat diraih jika kita dalam hidup ini pas, alias Sakbutuhe (Sekadar Kebutuhan), Sakperlune (Sekadar Keperluan), Sakcukupe (Sekadar kecukupan), Sakbenere (Sekadar kebenaran), Sakmesthine (Sekadar kepantasan/keharusan), Sakpenake (Sekadar kenyamanan/kenikmatan).

Intinya adalah hidup yang seimbang, hidup yang pas tidak kurang tidak lebih maka kamu akan bahagia. Membaca buku ini tidak jauh berbeda dengan mendengarkan kajian rutin ngaji filsafat oleh Fahruddin Faiz di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta. Dengan pembawaan yang santai, ringan dan sederhana. Begitupun buku ini tidak terasa sebagai bacaan melainkan pitutur penulisnya. Inilah salah satu kelebihan penulis buku “Filsafat Kebahagiaan” Fahruddin Faiz, yang mampu mengolah dan menyederhanakan pembahasan filsafat yang bagi sebagian orang adalah sesuatu yang berat menjadi ringan dan menyenangkan.

Kelebihan:

1. Bahasa yang digunakan penulis sangat ringan sehingga mudah dipahami.

2. Pemilihan tokoh yang diangkat beragam dari Yunani, Islam, dan Nusantara sehinga memberi wawasan luas tentang makna kebahagiaan.

3. Adanya kutipan pada beberapa halaman memudahkan pembaca mencari kembali poin-poin penting dan menambah kesan estetika.

4. Terdapat ilustrasi masing-masing filsuf yang memberikan gambaran rupa tokoh yang dibahas.

5. Biografi singkat yang ada memudahkan pembaca mengenali masing-masing filsuf.

Kekurangan:

1. Karena pembahasan terlalu filosofis mungkin buku ini kurang dapat memberi solusi praktis mencapai kebahagiaan.

2. Bagi pembaca yang mencari panduan self-help langsung, buku ini mungkin terlalu teoritis.

3. Penulis terlalu menekankan nilai Islami di buku ini sehingga boleh jadi bagi sebagian orang buku ini kurang nyaman dibaca.

Rekomendasi:

1.Buku ini cocok dibaca oleh mereka yang tertarik dengan filsafat. Disarankan untuk orang yang ingin memahami konsep kebahagiaan secara lebih mendalam.

2. Direkomendasikan untuk pembaca yang suka merefleksikan makna hidup dan kebahagiaan.

3. Bagi mereka yang mencari perspektif baru tentang kebahagiaan di luar literatur self-help konvensional buku ini cocok dibaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.