Pria Asal Warungasem Sukses Jual Kain Perca hingga Korea Selatan
Batang- Jurnalphona.com Ubah sampah konveksi menjadi uang, penjualan kain perca dari pasar lokal hingga tembus pasar luar negeri jadi prestasi tersendiri bagi Mursidin selaku pemilik bisnis ekonomi kreatif. Minggu, (05/11).
Mursidin pria berusia 53 tahun asal Warungasem, Batang sukses kembangkan bisnis pengolahan kain perca. Mulanya ia belajar dari sang kakak mengenai bisnis kain, hingga memutuskan untuk mendirikan bisnis kain perca sendiri pada tahun 2008. Hingga saat ini ia aktif menjalankan usahanya dengan dibantu sang anak Muamar Kadavi yang saat ini menjadi mahasiswa aktif di Universitas Islam Negeri (UIN) K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Pekalongan.
Ada empat jenis kain perca yang nantinya akan dikirim ke tempat pengolahan lanjutan. Mulai dari kain perca batik, tuwil, grey, dan jeans. Mursidin mengaku,
“Kain-kain perca diambil dari beberapa konveksi yang ada di sekitar Pekalongan, Batang, hingga Kendal. Satu kilo kain perca dibandrol masing-masing sesuai jenisnya. Untuk kain perca batik dan tuwil dibandrol dengan harga seribu rupiah perkilo, sementara jeans perkilonya seribu delapan ratus rupiah, dan grey seharga enam ribu rupiah perkilonya. Kain grey dibandrol dengan harga lebih tinggi karena warnanya putih. Pemasokan kain perca dilakukan setiap satu minggu sekali sebanyak lima mobil pick-up,” ujarnya.
Sebelum dikirim ke tempat pengolahan, semua kain perca perlu melalui tahap penyortiran. Agar tidak ada sampah plastik atau kain yang sudah kotor. Kain perca batik dan tuwil dikirim ke Bandung, Jawa Barat untuk nantinya diolah menjadi kasur dan bantal. Sementara kain perca jeans dan grey dikirim ke Surabaya, Jawa Timur. Untuk kain perca jeans perlu melalui tahap peleburan warna terlebih dahulu. Jika kain jeans sudah berwarna putih, maka kain grey dan jeans siap diekspor ke Korea Selatan dan diolah menjadi benang untuk menjadi bahan baku produksi negara tersebut.
Untuk kain perca grey harus bersih, jika terdapat noda maka akan masuk bersama kain perca jenis batik dan tuwil. Untuk memudahkan proses penyortiran, Mursidin selaku pemilik bisnis memisahkan setiap jenis kain perca tersebut di karung yang berbeda. Sebagaimana penuturan Muamar Kadavi yang membantu sang ayah.
“Jadi setiap jenis kain perca diletakkan dikarung yang berbeda, agar memudahkan proses penyortiran dari sampah dan pengelompokannya,” ujarnya.
Tidak hanya menjadi benang, kasur, dan bantal. Kain perca yang memiliki panjang kisaran 20-30 cm akan disortir terpisah. Diolah menjadi pakaian anak, yang kemudian dijual di pasar lokal.
“Untuk kain perca yang lumayan panjang bisa diolah menjadi pakain anak atau daster anak dan dijual kembali dengan harga yang lebih terjangkau,” ujar Muamar Kadavi.
Sama halnya dengan bisnis lainnya, pastilah terdapat hambatan selama menjalankannya. Hal serupa dialami oleh Mursidin. Dari penuturan sang anak, permintaan kain perca justru meningkat pada saat pandemi. Saat ini tidak terlalu tinggi permintaanya, sehingga hanya terdapat tiga orang karyawan saja. Sejalan dengan penuturan Muamar Kadavi.
“Selama proses sortir tidak mengalami kesulitan, meskipun dengan tiga karyawan, karena jumlah permintaan juga tidak terlalu tinggi,” ujarnya.***
Reporter: Lia Afiana
Penulis: Lia Afiana