Opini

Kesetaraan Gender: Masih Menjadi Masalah Dalam Kelompok Masyarakat?

Oleh: Fridayana Sri Rejeki

Kesetaraan gender telah lama menjadi masalah yang penanganannya memerlukan kesadaran dari berbagai pihak mulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, hingga pemerintah. Diskriminasi terhadap perempuan merupakan masalah yang sering kali terjadi hampir di seluruh lapisan kelompok masyarakat, bahkan di bagian besar belahan dunia sekalipun. Meskipun adanya upaya menegakkan keadilan dan kesetaraan gender terus di lakukan, nyatanya diskriminasi gender masih tetap eksis di masyarakat. Salah satu alasan yang mendasari ketidaksetaraan gender ialah masih adanya paham patriarki yang memandang laki-laki sebagai pihak dominan dan mengesampingkan peranan perempuan dalam kehidupan sosial.

Berbicara soal gender tentunya bukanlah suatu hal yang asing lagi. Dalam lingkup sosial, perempuan kerap kali mendapatkan perlakuan yang kurang adil. Kedudukan perempuan senantiasa ditempatkan pada nomor dua di belakang laki-laki. Kekerasan, pelecehan secara verbal maupun non verbal, seakan terus menghantui kemana perempuan berpijak. Kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tatanan sosial yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah di bandingkan laki-laki.

Contohnya diskriminasi terhadap perempuan yang selalu dinomorduakan dalam keluarga, misalnya dalam hal pendidikan. Bagi keluarga yang ekonominya lemah, tentu akan berdampak pada nasib perempuan. Ketika kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan, pihak orang tua akan lebih mendahulukan anak laki-lakinya untuk melanjutkan sekolah dari pada anak perempuannya. Kaum laki-laki dianggap kelak akan menjadi kepala rumah tangga dan bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya, sehingga pendidikan lebih diutamakan untuk mendukung perannya. Sedangkan perempuan dianggap hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di dalam rumah untuk mengurus suami, anak, dan rumahnya. Dari pandangan ini, maka dinilai pendidikan tinggi tidak begitu penting bagi kaum perempuan.

Masyarakat dari kalangan keluarga miskin masih menganggap bahwa perempuan tidak pantas untuk disekolahkan setinggi-tingginya lebih baik langsung dinikahkan atau dipersilakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh pabrik dan pekerjaan lain yang tidak menuntut status pendidikan. Berbeda dengan kaum laki-laki yang akan mendapatkan perlakuan istimewa baik dalam hal pendidikan maupun realita kehidupan yang ada. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas rumah seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan rumah memang menjadi pekerjaan kaum perempuan.

Saat ini masih banyak ditemui orang tua yang melarang anak laki-laki untuk bermain masak-masakan karena permainan masak-masakan hanya untuk anak perempuan, bahkan dianggap tidak berguna bagi laki-laki dan telah mengubah citra kaum seorang laki-laki yang gagah dan perkasa. Sebaliknya, hal serupa pun dialami oleh anak perempuan yang dilarang orang tuanya untuk bermain sepak bola maupun layang-layang dengan alasan bahwa permainan tersebut diperuntukkan bagi anak laki-laki dan menyalahi kodratnya sebagai perempuan yang dituntut untuk selalu bersikap lemah lembut.

Contoh lainnya, dalam dunia pembelajaran di sekolah seperti buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu di kaitkan dengan tugas mengasuh atau mendidik anak. Mirisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya kaum laki-laki.

Jadi, bagaimana upaya untuk menyelesaikan masalah kesetaraan gender? Kesetaraan Gender di lingkungan rumah, seperti membagi pekerjaan di rumah secara merata di antara semua jenis kelamin dalam sebuah rumah tangga, sehingga beban mengurus rumah dan keluarga tidak hanya dibebankan pada perempuan. Lebih banyak anak perempuan mendapatkan pendidikan, jika pendidikan anak perempuan diberi prioritas yang sama dengan pendidikan anak laki-laki, maka akan lebih banyak anak perempuan yang bersekolah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.