Aku Bersama Kenangannya
karya: Dwi Risqiani
“YaAllah kembalikan ia walau sebentar, aku ingin merasakan bagaimana bahagia saat ada dia.”
Tiga tahun berlalu cukup cepat dan 17 tahun terindah yang pernah aku rasakan. Di hari ini usiaku menginjak kepala dua, salah satu doaku di hari ini adalah agar Tuhan hadirkan ia kembali dengan bentuk apapun aku akan terima. Ia adalah sosok terbaik kala itu, ia memang bukanlah ayahku tapi ia selalu menjadi dan berusaha yang terbaik untukku.
“Pakni” adalah sebutanku untuknya, ia adalah kakak laki-laki dari mamaku atau yang biasa kita sebut paman. Segala macam permintaan dari hal kecil sampai hal yang sulit untuk didapatkan sebisa mungkin akan ia lakukan demi melihatku bahagia. Sosok sederhana, murah senyum, seorang pelawak dengan lelucon khasnya, dan lelaki kedua yang aku anggap sebagai ayah. Aku tetaplah memiliki ayah kandung namun seorang Pakni berbeda, kehadirannya membuat aku merasa istimewa dan putri kecil yang sangat berharga.
Saat aku memasuki bangku sekolah dasar kala itu sering kali aku ditugaskan guruku untuk mengikuti lomba-lomba akademik maupun non akademik disekolahku. “Pakni, besok aku ikut lomba sains, doain yaa biar menang biar piala dirumah juga nambah.” Ucapku pada Pakni, Pakni pun mendengarkan setiap celotehanku yang keluar dari mulut seorang anak kecil berusia 9 tahun, ia mendengarkan dengan tingkah yang membuatku semakin bersemangat untuk menceritakan hal-hal yang aku alami. “Okee siap boss, Pakni besok puasa buat kamu biar nanti ngerjain soal-soalnya sambil merempun selesai.” Ucap Pakni menanggapi perkataan ku.
Puasa memanglah hal wajib yang Pakni lakukan saat mengetahui jika aku akan mengikuti lomba di sekolah, katanya si ini salah satu cara Pakni berkomunikasi sama Tuhan dan usahanya agar aku mendapatkan hasil terbaik dari setiap hal yang aku kerjakan. Ia mengajarkanku banyak hal sederhana yang masih membekas hingga saat ini. Mengajarkan arti ketulusan, kesabaran, dan hal lain yang membuatku akhirnya mengetahui bagaimana cara menjadi seseorang yang lebih baik setiap harinya. Dulu saat aku menduduki bangku taman kanak-kanak sampai sekolah dasar, orang tuaku setiap paginya menitipkanku dirumah Pakni dan jika kegiatan sekolah selesai orang tuaku akan menjemputku untuk pulang kerumah.
Kedua orang tuaku adalah seorang pekerja keras sehingga memang keterbatasan waktu untuk menemani dan mengantarkan ku sekolah. Terkadang orang tuaku tidak sempat menjemputku pulang dari rumah Pakni karena kesibukan pekerjaanya. Pakni akan mengantarkan ku pulang dengan sepeda ontelnya. Dirumah Pakni ada kendaraan bermotor namun ia tetap memilih mengantarkan ku pulang dengan sepedanya alih-alih beralasan agar aku senang, sesimpel dan sesederhana itu. Karena memang pakni tau jika aku sangat menyukai kegiatan bersepada.
Perjalanan pulang aku dan Pakni sengaja membeli es tebu terlebih dahulu untuk kita minum sembari menikmati putaran roda sepeda tua milik Pakni. “Cita-cita kamu nanti jadi apa?” Pertanyaan Pakni kala mengantarkanku pulang
sembari mengayuh sepeda aku dan Pakni melakukan sedikit obrolan kecil. “Nggak tau Pakni aku pingin jadi apa, tapi aku pingin punya uang yang banyak.” Ucapku menaggapi pertanyaannya, terik matahari menjelang sore dan lalu lalang kendaraan di jalan menemani perjalanan kita. “Hahaha bisa saja kamu, yaa berarti kamu harus belajar lebih giat lagi biar nanti uang yang mengejar kamu, bukan kamu yang mengejar uang.” Ucap dan pesan pakni yang mungkin menurutku kala itu tidak begitu berarti namun setelah diingat-ingat sekarang ucapan tersebut sangat memiliki makna.
Waktu begitu cepat berlalu hingga aku tamat di bangku sekolah dasar dan selanjutnya akan memasuki sekolah menengah pertama yang jaraknya dekat dengan rumahku, sehingga jarang sekali dalam satu minggu hanya beberapa kali saja bertemu dengan Pakni.” Bagaimana sekolah kamu sekarang, jangan pacaran dulu hlo ya harus tetap fokus belajar.” Pertanyaan Pakni yang kerap kali ditanyakan ketika kita bertemu. “Sekolah aman Pakni, nggak pacaran kok tenang aja santai bro hehe.” Masih banyak sekali hal sederhana yang membuat aku merasa sangat diperhatikan sebagai layaknya seorang anak dan dengan hal-hal kecilnya yang membuat setiap momen yang aku dan Pakni lakukan terasa berkesan.
Hingga akhirnya semua berubah dimana saat usiaku beranjak 17 tahun, seorang ayah keduaku ini pergi, meninggalkanku untuk selamanya karena penyakit liver yang ia derita satu tahun terakhir. Aku kehilangannya, sangat-sangat kehilangannya. “Pakni adalah salah satu hadiah terindahku dari Tuhan.” Raganya memanglah meninggalkanku tapi tidak dengan segala cerita indahnya. Aku sangat merindukannya dan aku yakin suatu saat nanti aku dan Pakni akan bertemu kembali di kehidupan yang jauh lebih indah. Di cerita yang baru yang akan kita ukir kembali sampai waktunya tiba.