Cerpen

Sebuah Dimensi Menuju Abadi


Karya: Choerul Bariyah

Bandung, 03 Desember 1998
“Langit mana ,ma?!” tanya gadis itu dengan gelisah. Badannya yang tinggi dan semampai untuk umurnya yang memasuki kepala dua, hanya berbalutkan kaus putih polos dan celana olahraga. Langkah-langkah beratnya hilir mudik sedari tadi.


“Masih tidur mungkin,” jawab mama. Ia sedang fokus menyiapkan sarapan untuk keluarga sembari meneriaki seisi rumah.

Seperti pagi ini, mama berteriak membangunkan papa dan meneriaki anak-anaknya agar bergegas. Mama sibuk memulai hari, menyiapkan sarapan, dan membereskan kamar. Mama selalu begitu, terlihat sibuk. Terlepas dari peraturannya, mama; ibu rumah tangga yang hebat, cekatan, mengurus semua keperluan rumah tangga sendirian, tanpa pembantu.


Tak kalah dengan mama, Kejora, adik perempuanku juga turut berteriak mencariku. Berpusing kesana-kemari, padahal seperti biasa aku duduk di kursi sembari mengucap mantra penghilang raga. Aku tertawa, melihat muka polosnya yang makin kesal karena tak kunjung menemukanku.


“Langit, keluar!!!” Teriak Kejora.

“Hustttt! panggil kaka, jangan nama!” hardik Mama seketika.


Adik kecilku itu terdiam, memasang wajah cemberut dan menggelembungkan pipinya. Ia semakin kesal, dan aku langsung muncul di hadapannya. Seketika ia terkejut dan hampir saja satu mangkuk sup melayang ke arahku. Untung tangan cekatan mama mencegahnya.


“Kaaaakaaaaaakkkkk!”

“Whahahhahahhah.” Aku tertawa terpingkal.

Dan seperti biasa, jari-jari mama telah mendarat di telinga kiriku. Aku tetap tertawa.
Inilah aku beserta keluargaku, mama, papa dan tentu saja Kejora. Namaku Langit Alam Semesta, usia 23 tahun, 3 tahun lebih tua dari Kejora. Sudah lulus kuliah S1 Astronomi, belum bekerja, belum punya pacar dan aku bisa menghilang. Iya aku bisa menghilang, dalam artian benar-benar bisa menghilang. Aku sungguh tidak menyadarinya saat itu. Kekuatan yang tidak pernah berhasil aku mengerti hingga hari ini, kekuatan yang kurahasiakan dari siapa pun hingga usiaku lima belas. Setelah itu, pertama kalinya Kejora menjumpaiku menghilang. Ia mengadukannya pada mama, sempat tak percaya kutunjukkan apa yang kubisa di depan mereka. Mama sempat membawaku pada orang pintar di sudut kota, hampir gila aku dibuatnya. Bukannya hilang aku malah sakit sebulan.

Sejak hari itu, mama tak pernah lagi membawaku pada orang pintar. Seisi rumah mulai berdamai dengan keanehanku, tak jarang kubuat main-main. Mengerjai Kejora, sembunyi ketika disuruh mama, atau menghilang saat enggan ke sekolah ketika mata pelajaran kimia. Papa bilang, aku istimewa. Itu membuatku cukup percaya diri dengan keanehan ini, lambat laun lambat hari.

Jakarta, 24 Januari 2000
Gerimis turun sepanjang perjalanan menuju Kantor. Aku mengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air hujan. Sesekali kutengok jalanan basah dari balik jendela. Aku selalu suka hujan, kecuali hujan dengan petir. Aku kembali fokus menyetir.


Tiba di parkiran gedung megah bertuliskan “Planetarium Jakarta”, kuparkirkan mobil. Petir menyambar selintas, disusul gemuruh guntur memenuhi langit. Aku mendongak, sengaja belum mengembangkan payung. Awan hitam terlihat memenuhi atas kepala sejauh mata memandang. Bergumpal-gumpal, terlihat begitu suram. Terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. Entahlah. Aku selalu suka hujan. Tapi sekali lagi tidak dengan petir. Aku mendekap tas dan berkas-berkas berlari menuju dalam gedung, berlindung di balik kemegahannya.


Duaaaarrrrrrrrr


Benar saja, semenit setelahnya petir menyambar satu pohon besar di dekat jalan. Seketika itu tumbang, untung kondisi jalan sedang sepi tak ada korban jiwa terdeteksi. Bangunan dengan 18 lantai ini jadi ramai, orang-orang berhamburan keluar memenuhi jendela dan melongokkan kepala. Penasaran terhadap apa yang baru saja menimpa. Seorang pria bertubuh tegap dengan kaca mata bulatnya berteriak dari sudut ruang.

“Kembaliiii bekeerrrrrjaaaa!”


Semua karyawan lari terbirit kecuali aku, kulangkahkan kaki dengan santai menuju lift dengan tujuan lantai 5 tempat kantorku berada. Pria berkacamata itu mengekor, lalu masuk lift yang sama. Dia Bagas Mahendra, seniorku sekaligus putra tunggal dari pemilik Planetarium ini. Tubuhnya tegap tinggi, rambut rapi dan tentu saja wangi.
Sudah 2 tahun sejak aku meninggalkan Bandung dan hijrah ke Jakarta, Kejora sudah memasuki semester akhir kuliahnya, papa pensiun dini, tapi rutin dengan riset mingguan di laboratorim pribadinya dan mama tentu saja masih sibuk mengurus rumah, memegang pekerjaan apa saja.

Sesekali kami melakukan panggilan video, bertukar cerita atau sekedar melepas rindu. 2 tahun ini aku memang tidak pulang ke Bandung, pekerjaanku banyak dan kantor jarang sekali memberi cuti. Selain itu ada misi yang harus kukerjakan disini. Dua hari sebelum keberangkatan ke Jakarta, seorang nenek tua memberiku liontin berbentuk matahari. Tanpa sepatah katapun ia pergi berlalu meninggalkan liontin itu di genggamanku. Baru beberapa bulan terakhir kuketahui bahwa liontin ini dapat mencegah kekuatan menghilangku. Semacam penangkal. Tapi belum diketahui pasti apa fungsi aslinya.
—-‐————
Jakarta, 03 Februari 2000
Suara dingin mengagetkanku. Petir menyambar terang sekali. Sosok tinggi kurus itu entah dari mana datangnya telah berdiri di depanku. Matanya menatap memesona. Aku terhentak.


“Bagaimana pak?” Tanyaku padanya.

“Diluar kedaannya darurat. Listrik mulai padam, gelombang badai lanjutan diperkirakan akan sampai di bumi sore ini. Kecepatannya melebihi cahaya dan sasarannya adalah mercusuar kita.” Ia berkata dengan tergesa. Ia, Bagas Mahendra.


“Lalu apa yang harus kita lakukan pak?”


“Keluarkan kekuatanmu.”

Jantungku berdetak kencang. Astaga. Aku tak salah dengar kan? Apa mungkin dia bergurau. Mataku menatapnya lurus, menyapu kemungkinan, memastikan bahwa aku salah dengar. Tapi nihil.


“Kau bisa menghilang kan?” Ucapnya sekali lagi.


“H—hah?”

“Serahkan liontinmu, kita pergi ke lantai 13 lab langit.”


Bagas melangkah cepat tanpa berkata-kata, aku mengekor dibelakang. Tiba di lantai 13 ia menekan remote dan terbukalah satu ruangan yang belum pernah kujumpai selama dua tahun bekerja di sini. Ruangannya kecil dengan alat-alat canggih, masuk kedalamnya seperti berwisata keluar angkasa. Bagai kerbau di cucuk kepalanya, kuserahkan liontin itu padanya. Ia membuka kancing atas kemejanya,
“Heh kau mau apa?!” Aku tersentak melihat dada bagian atas miliknya. Kulit putih bersih terpancar disana.
Sebuah liontin dengan bentuk bulan, aku melongo. Darimana ia punya benda yang sama. Dan bagaimana mungkin dia tahu aku bisa menghilang.


“Pak bagaimana—?”

“Diam! Sekarang bukan saatnya bertanya. Duduk di depan komputer itu dan mulailah bekerja.”


Lagi-lagi aku menurut saja. Cuaca dari bulan Januari memang sedang tidak baik, hujan, petir, angin kencang sesekali disertai petir. Banjir belum ada di Jakarta, tidak ada bangunan megah. Gedung paling megah adalah Planetarium ini. Lima detik, aku menemukan kejanggalan pada cuaca dan kondisi bumi saat ini.

“Pak badai Topan Tip akan segera tiba dengan diameter 2.220 kilometer. Setelah Great Red Spot Torm di Jupiter kemarin, 3 hari kedepan bumi akan diguncang badai.”


Yang kuajak bicara hanya terdiam, matanya fokus pada dua liontin yang diletakkan di sebuah kotak kaca bercahaya. Sesekali menyacak pinggang, dan meletakkan dua jari di dagu. Seperti berfikir keras. 15 menit berlalu hanya ada bunyi detak jam dan hembusan nafas kita berdua. Aku sibuk menatap layar komputer dan dia tetap saja dengan aktivitas awalnya. Memandangi dua buah liontin.

“Ini bukan badai biasa, La. Bubi menumpang di belakangnya. Ia akan sampai disini dan merusak bumi, mencari keberadaan kita. Merampas liontin ini dan merubah orbit semesta.”


Aku masih mencerna perkataan Bagas. Bubi. Papa pernah bercerita tentang hal itu, monster jahat yang ingin menguasai bumi. Matanya hijau menyala, bertubuh kerdil dan punya 3 pengawal setia. Tapi kupikir ini hanya tokoh dongeng yang diceritakan papa menjelang aku tidur. Aku menampar pipi kanan, lalu kiri. Berharap ini sekedar mimpi.


“La, bersiap untuk berperang, kita tidak punya banyak waktu. Gunakan dengan baik kekuatanmu.”


“Tapi aku hanya bisa menghilang pak.” Jawabku cemas.

“Ikut saja denganku, nyalakan alarm peringatan. Kirimkan pesan pada semua karyawan untuk mengaktifkan perlindungan maksimal pada gedung. Manusia-manusia dihimbau untuk tidak keluar rumah dan bakar bunga kamboja disudut ruangan.”


Situasi ganjil ini membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku menggigit bibir, masih belum bisa mencerna semuanya. Tiba-tiba alarm komputer berbunyi, pertanda bahaya. Aku langsung mendaratkan jari di beberapa tombolnya. Memberi peringatan kepada dunia bahwa akan terjadi kondisi yang tidak baik-baik saja.
Bagas melemparkan setelan berwarna abu-abu kepadaku, dengan gerak alisnya dapat kumengerti bahwa aku harus mengenakannya.


“Kita harus pergi dari Jakarta, menuju Kalimantan ke Bukit Gurisan. Bubi akan mendarat disana, kita harus mencegahnya.”


“Tapi pak, tidak ada tiket dadakan kesana.”


“Gunakan kekuatanmu bodoh!” Ucapnya dengan nada yang tinggi.

Aku menggeleng. Mengisyaratkan keraguan.


“Niatkan dalam hatimu kemana kita akan pergi.” Ucapnya lagi.

Aku menghembuskan napas pelan. Menggenggam tangan dingin Bagas. Menatap lurus kedepan, memejamkan mata dan seketika hilang.


Brukkkkkkkk.


“Arghhhh bodoh!” Aku terkejut mendengar makian Bagas.

Kami telah sampai di Bukit Gurisan. Aku berhasil. Tapi….. pendaratan yang sungguh tidak sempurna, diatas pohon. Aku sedikit tertawa.


“Maaf namanya juga pertama wkwk.” Ucapku.

Ia mengabaikanku untuk kesekian kalinya. Menuruni pohon, membuka ransel dan mengeluarkan sebuah benda seukuran bola tenis. Dua pil dikeluarkan, satunya diberikan padaku. Aku segera meminumnya, tentu saja tanpa air.

“Ini akan membuat kita tidak terdeteksi Bubi untuk sementara waktu. Aku hanya punya 4 biji, 2 kali saja kita bisa menggunakannya. Simpan dengan baik.”


Aku mematuhi, memasukannya kedalam ranselku dibagian paling bawah. Bagas mulai menyiapkan berbagai alat, aku juga. 20 menit bercucur keringat akhirnya segala persiapan selesai.


“Bodoh! Untuk apa kau bawa komputer!” Ia kembali memaki.

Aku menggaruk kepala, benar juga. Di Bukit belantara macam ini mana mungkin ada sinyal. Bagas mengeluarkan alat gepeng macam smartphone, menyerahkannya padaku. Dari alat ini dapat kupantau situasi.


“Kirimkan perintah pada perusahaan listrik di dunia, di detik ke 45 nyalakan semua lampu di belahan manapun. Kita akan mengirimkan cahaya dalam jumlah yang sangat besar keluar angkasa. Bubi takut cahaya.”


Aku mengangguk. Menekan layar dan melayangkan pesan perintah kepada tujuan. Dari bawah sana terlihat seorang laki-laki berkisar usia 70an mendaki bukit ini, mengenakan setelan sama dan napasnya sedikit tersengal. Semakin dekat pada kita.


“Papaaaaa.” Aku melongo melihatnya.

“Prof Dipa. Kita tepat waktu.” Sapa Bagas pada Papa.


Papa melemparkan senyum. Aku semakin melongo. Bagaimana mungkin mereka saling kenal. Dan…..

“Dia mahasiswa Papa di ITB. Dan tentu saja dia istimewa, sama seperti kamu.” Jelas Papa singkat.


“Dia bisa menghilang?” Tanyaku sembari tercengang.

“Dasar bodoh, kalau aku bisa menghilang untuk apa aku menyuruhmu.” Ucap Bagas sembari menggetok kepalaku.
Papa tertawa renyah.


“Sudah waktunya anak-anak. Siapkan posisi kalian. Hitungan mundur dimulai, jangan lupa pakai kacamatanya. Dari sini cahayanya jauh lebih menyilaukan.”

Papa mulai menghitung mundur. 3 2 1.


Depppp

Bumi begitu terang, semua sudut memancarkan cahaya. Baru kali ini kulihat seluruh daerah bermandikan cahaya secara serentak. Langit bergemuruh, menurunkan gerimis, angin dingin menerpa kulit kepala. Membuat bulu kuduk berdiri. Seketika suasana berubah mencekam. Aku mengecek E-smart alat semacam ponsel itu. 5 menit badai Topan Tip akan tiba.


“Papa, sampai kapan cahaya ini bertahan? 5 menit lagi badai Topan Tip akan tiba.”


“Sial! perhitungan kita sedikit meleset nak Bagas. Cahaya hanya bertahan 3 menit. Bubi akan menumpang di menit ke 4,” Ucap Papa dengan nada kecewa. “Gunakan liontin kalian, apapun kondisinya kalian tidak boleh terpisah.” Lanjutnya.


Aku mengirimkan pesan kepada pemasok listrik agar memperpanjang masa. Satu menit berlalu dalam ketegangan. Langit mulai tenang, gemuruhnya hampir hilang. Kita bertiga menghembuskan napas lega. Namun, sedetik kemudian bumi tiba-tiba gelap gulita. Aku memeluk sosok di sampingku dengan erat, petir saling bersautan. Aku semakin dalam melakukan pelukan. Aku benci petir. Ia mengusap pucuk kepalaku, mencoba menenangkan, walau dari sini dapat sekali kudengar jantungnya berdetak tidak beraturan. Ini bukan papa, tubuhnya masih tegap dan perkasa. Berbanding terbalik dengan papa yang mulai renta.

Langit mulai menampakkan cahaya, terang sekali. Membentuk lorong dan memunculkan 4 sosok asing. Satu diantaranya bertubuh kerdil. Posisi kita berhadapan, 3 dengan 4. Sosok kerdil itu tertawa, menggema seantero bukit. Nyaliku ciut. Papa dan Bagas telah bersiap, entah itu bertarung atau berlari. Dua pengawal Bubi mulai menyerang, dengan buas menyergap papa juga Bagas. Aku tidak pernah melihat papa berlatih bela diri. Tapi dari sini dapat kuketahui gerakannya lihai, cekatan dan sangat keren. Jangan tanyakan bagaimana Bagas.

Papa terpental, hidungnya mengucurkan darah. Kakiku gemetar karena rasa marah yang menyergap, melihat pengawal Bubi memukuli papa. Sementara pengawal Bubi semakin mengunci tubuh papa, suara geramnya memenuhi langit-langit bukit. Dengan cekatan Bagas memukul dari belakang. Aku menggigit bibir. Aku tidak punya banyak pilihan. Waktku amat sempit untuk berhitung atas situasi yang kuhadapi. Sepatu yang kukenakan bahkan boleh jadi tidak bisa melawan kekuatan mereka.


Aku menggenggam tangan papa juga Bagas, berniat dalam hati menghilangkan diri. Kami mendarat di bantaran sungai, Bagas membaringkan tubuh papa. Sudah 2 jam sejak pil itu bekerja.


“Mereka hanya memerlukan waktu kurang dari 60 detik untuk menemukan kalian. Cepat pergi tinggalkan papa disini!”


Aku menelan ludah kecut. Bagaimana mungkin aku meninggalkan laki-laki yang kucintai pertama kali, yang memberiku dunia dan mengenalkanku pada alam semesta. Aku merogoh bagian dalam tas, mencari bulatan dan mengeluarkan dua buah pil. Menyerahkannya satu kepada Bagas dan untukku sendiri. Situasi jadi makin panik, di bawah sana terdengar dentuman berkali-kali. Pertanda Bubi sedang mengobrak-abrik isinya. Kami memakan 3 buah roti untuk mengisi tenaga,
“Bubi semakin dekat.” Ucap Bagas panik


“Papa dan Bagas pergi saja, mereka mencari aku kan. Aku kuserahkan diriku pada mereka, biar saja aku hancur yang penting kalian selamat.” Balasku sembari terisak.


Aku menggigit bibir, memejamkan mata. Untuk ketiga kalinya aku berusaha konsentrasi, Sesekali cahaya petir yang melintasi kisi-kisi pohon membuat terang disekitarannya. Hujan semakin deras. Aku beranjak duduk, memeluk lutut, menggigil.

Bukkkkkkkk. Tubuhku terpental ke belakang.


Terlihat 4 sosok hitam, Bubi beserta pasukannya. Papa menyeretku kebelakang. Bagas mulai melakukan perlawanan. Sesekali ia terpental, bangkit lagi, terpental lagi. Sudut bibirnya sobek mengeluarkan darah, Papa beranjak dan mulai melawan. Aku melemparkan apa saja yang ada di dekatku, ranting, batu dan juga seekor katak hijau. Satu jam berlalu, aku hampir menyerah. Lelah.


“Bagas bawa pergi Langit. Cepat!!” Teriak Papa.

“Cepat gunakan kekuatanmu.” Suruh Bagas.


Aku menggeleng cepat. Tubuh papa semakin tak berdaya, darah ada dimana-mana. Air mataku telah bercampur dengan hujan deras tersamar. Aku tak tega meninggalkan papa.


“Pergi nakkkk!” Papa semakin berteriak.

Aku hanya terdiam bisu, dan berakhir Bagas menggendongku dan berlari sekencang-kencangnya. Tak butuh waktu lama untuk Bubi menyusul kami, sepersekian detik ia telah sampai di hadapan kami. Kembali, Bagas melakukan perlawanan tapi sial tenaganya telah terkuras habis. Aku mengenggam tangannya, menghilang seketika.


Aku mendirikan tenda, mengobati luka di tubuh Bagas, mencari bahan makanan yang tersisa. Pukul 23.00, sudah larut malam. Bagas tertidur disamping pohon. Air mataku tak henti mengalir, mengingat papa. Tak sempat lagi berfikir strategi, di kepalaku hanya lari-lari dan terus lari. Kemanapun sampai Bubi tak mampu menemukan kami.
Suara burung membangunkanku dan juga hangat di pipi. Telapak tangan Bagas menempel di sana. Aku melihat dia mengigau, memanggil entah siapa. Mungkin ibunya, adiknya atau bahkan kekasihnya. Pelan kucoba bangunkan.


Kukira situasi telah membaik, ternyata tidak, Bubi muncul tiba-tiba satu pengawalnya menenteng laki-laki bertubuh renta. Itu papa.


“Papa!!!!!!”

Bagas terhentak, lalu memasang kuda-kuda.


“Serahkan dirimu atau ayahmu aku buang ke jurang sana!” Suara Bubi menggema seantero belantara.

Aku semakin terisak, Bagas mencekal tanganku erat. Mencegahku melangkah atau melakukan tindakan yang gegabah. Bagas mulai menyerang 3 pengawalnya lumpuh. Bagas jadi semakin buas hari ini. Tersisa satu orang yang membawa tubuh papa. Ketika hendak melangkah terdengar suara keras.
Bukkkkkkk. Tubuh papa dijatuhkan ke jurang.


“Papaaaaaaaaaaaaa!”

Aku semakin geram, Bubi juga geram. Ia mengetukkan tongkat. Aku dan bagas terpental. Nyeri menyelimuti bagian perut, perih di sekujur tubuh. Bubi semakin mendekat, aku dan Bagas merangkak berusaha menggapai satu sama lain. Dekat semakin dekat. Bagas meraihku, kami saling memeluk. Aku meringkuk dan menangis sejadinya. Liontin kami beradu, menciptakan gelombang dan dentuman besar yang memekakkan telinga.

Surabaya, 13 November 2013
“Papa minta maaf, lagi-lagi papa tidak bisa menghabiskan sarapan bersama. 10 menit lagi papa harus sudah tiba di kantor, Tuan Direktur memanggil.” Ucap Bagas lembut sembari mencium keningku dan mengelus pucuk kepala anak-anak.


Aku menatap punggunnya menghilang dibalik pintu. Tersenyum tulus dan mengecup putra-putriku. Hampir semua persoalan hidup bermula dari kita enggan menerima hidup ini apa adanya. Kita tak mau berkompromi pada kenyataan. Tak sudi melepas kacamata paradigma dan melihat realitas secara sederhana. Lebih suka bermain-main dengan persepsi. Senang berlindung membenarkan pikiran sendiri. Padahal itu semua adalah bentuk lain dari belenggu sehari-hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.