Mengapa Sex Education Dianggap Tabu?
Karya: Inneka Elok Heromia
Masyarakat Indonesia sebagian besar masih menganggap bahwa hal mengenai seksualitas adalah hal yang tak pantas untuk dibicarakan, apalagi terhadap anak-anak. Pendidikan seks seringkali dikaitkan dengan hal yang berbau pornografi dan vulgar. Apakah mindset orang mengenai seks itu hanya melulu soal having sex?. Bahkan, orang tua seringkali enggan untuk sekedar mengenalkan mengenai pendidikan seks sekalipun itu adalah hal yang mendasar. Stigma buruk tersebut sejatinya membawa dampak kurang baik sekaligus memacu naiknya tingkat pelecehan dan penyimpangan seksual. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Tentu saja bisa. Misal ada remaja yang minim akan sex education cenderung akan bersikap ‘diam’ ketika mendengar pertanyaan ‘kenapa dia bisa hamil’ karena dianggap saru. Lalu, ketika masih banyak fenomena hamil diluar nikah apakah itu juga dampak kurangnya pendidikan seks? Hal itu tidak sepenuhnya benar. Tapi juga tidak salah. Pendidikan seks bisa dikenalkan kepada anak sedini mungkin. Membicarakan hal yang masih dianggap tabu itu harus bisa lebih digencarkan lagi. Stereotip seperti itu harus bisa segera dihilangkan. Karena berbicara mengenai seks tidak bisa dikatan sesuatu yang haram.
Dilansir melalui laman website economica.id bahwa berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo tahun 1994 tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani 184 negara, termasuk Indonesia diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja. Lalu, apakah pendidikan seks juga perlu dimasukkan ke dalam list parenting untuk sekarang?
Pengenalan gender untuk anak usia sekitar 2-3 tahun adalah hal mendasar mengenai seksualitas. Seperti menjelaskan misal anak A itu adalah laki-laki, dan anak B itu perempuan. Bahwa keduanya itu berbeda. Berbeda dalam artian mengenai bentuk tubuh secara fisik. Untuk usia 3-5 tahun baru menjelaskan mengenai bagian tubuh mana yang boleh dan tidak untuk dilihat apalagi disentuh orang lain. Hal tersebut bisa menjadi upaya untuk mengurangi potensi pelecehan seksual. Berikan pemahaman se-simple mungkin agar anak mudah mengerti.
Selanjutnya saat akan masuk sekolah dasar bisa dijelaskan mengenai perubahan bentuk tubuh saat pubertas baik laki-laki maupun perempuan itu apa saja. Hal mendasar seperti itu penting untuk anak-anak. Saat usia remaja, mereka akan tahu bagaimana reproduksi manusia itu seperti apa yang nantinya sudah dijelaskan secara sains dibangku sekolah. Misal saja ada seorang anak yang tiba-tiba menanyakan pada ibunya bagaimana adiknya itu bisa ada? Atau darimana adik lahir? Atau pertanyaan lain yang mengarah pada ranah reproduksi.
Orang tua harus bijak memberikan jawaban tanpa berbohong sedikitpun kepada anak. Anak tak akan mengerti mengenai fertilisasi terjadi, bagaimana bisa seorang manusia bisa lahir dengan proses bertemunya sel telur dan sel sperma. Berikan perumpamaan tanpa menghilangkan fakta bisa menjadi hal sulit saat pendidikan seks masih dianggap tabu. Maka dari itu, sedini mungkin perlu diajarkan dan ditanamkan mengenai pendidikan seks itu bukan dosa besar yang harus dihindari. Setidaknya anak sudah mendapat pondasi di rumah sebagai ranah pengenalan sebelum mereka melangkah lebih jauh lagi.
Pendidikan seks sejatinya membawa pengaruh besar terhadap moralitas. Pengetahuan akan hal itu bisa mengubah pola pikir untuk tak terjebak dalam pergaulan bebas. Apalagi saat ada mindset yang mengatakan bahwa selaput dara adalah tolak ukur suatu virginitas, apakah orang tersebut sudah pernah melakukan ‘hubungan’ atau belum. Rasanya kalimat tersebut terdengar seperti penghinaan. Karena pada kenyataannya kondisi fisik, psikologis bahkan secara biologis pun berbeda dari satu orang dengan yang lainnya. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah persepsi seperti itu juga akibat dari minimnya sex education? Paling tidak, dengan adanya gencaran pendidikan seks bisa mematahkan stigma buruk tentang seksualitas serta bisa mengubah mindset orang yang tadinya buntu bisa menemukan celah akan ketidaktahuan.