Cerpen,  sastra

Kesempatan Kedua Yang Tak Pernah Ada

Karya: Rizka Amalia

Aku pernah mendengar orang berkata, “Seseorang akan terasa berharga, jika kita sudah merasakan kehilangan seseorang tersebut.”

Aku tidak tahu, apakah itu suatu karma karena aku telah menyia-nyiakan seseorang yang hadir dalam hidupku, atau mungkin karena aku harus merasakan kehilangan lebih dulu, agar aku bisa menghargainya.

Apa pun  itu, aku sudah mendapatkan suatu pelajaran agar tidak menyia-nyiakan seseorang yang ada di sekitarku.

Beberapa kali aku menarik napas panjang karena memikirkan seseorang yang pergi dari hidupku. Aku merindukan keberadaannya, senyumannya, sikap anehnya, dan kata-kata absurdnya yang bisa membuatku tersenyum bahagia.

Aku terus melamun memikirkan dia dan kenangan bersamanya di masa putih abu-abu. Namun, tiba-tiba aku terkejut mendengar suara handphone berbunyi pertanda panggilan masuk. Ternyata, panggilan itu berasal dari Ana, salah satu sahabatku.

“Halo, assalamualaikum,” ucapku mengawali pembicaraan.

Waalaikumussalam. Lia, cepat ke sini. Teman-teman sudah menunggu,” ucap Ana langsung to the point.

Setelahnya, aku menutup panggilan tersebut, dan bergegas untuk menemui mereka. Setelah sampai di kafe yang kita janjikan, dari parkiran aku melihat sudah ada Hani, Anggun, dan Adi. Aku menghampirinya dan berkata.

“Assalamualaikum, maaf ya, kalau sudah menunggu lama.” Lalu mereka menjawab salam dengan kompak.

“Loh? Lama dari mananya coba? Kita aja baru datang.  Ya kan, Ni, Di,” ucap Anggun yang dibalas anggukan oleh Hani dan Anggun.

Aku menatap Ana tajam. Namun, Ana hanya cengengesan sambil memanggil pelayan.Ketika aku akan memarahi Ana, pelayan datang untuk menanyakan pesanan. Setelah pelayan itu pergi, mereka bertiga, mengobrol. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Karena aku hanya melamun lagi. Tanpa sadar, ternyata mereka tengah memperhatikanku.

“Kamu kenapa, Li? Kok tumben diam aja?” tanya Hani memecah keheningan.

“Hayolo, lagi ngelamunin apa? Atau jangan-jangan, Lia kesambet,” ujar Ana dengan panik.

“Ngawur kamu, Na. Enggak mungkin lah siang bolong gini ada orang kesambet,” ucap Anggun menyela dan langsung mengalihkan pandangannya kepadaku, lalu bertanya, “Kamu kenapa, Lia? Kalau ada apa-apa, cerita aja sama kita. Jangan dipendam, nanti malah jadi penyakit.”

Aku terkesiap, lalu melihat ke arah teman-temanku.

“Kalian kenapa? Kok ngeliatin aku gitu banget? Ada yang salah sama muka aku? Atau gimana?” tanyaku kebingungan.

bujegile,  Na. Kawan kau gimana, sih? Kudunya kita yang nanya dia kenapa. Eh, sekarang, dia yang malah tanya kita kenapa,” kesal Adi terhadap Ana.

“Heh! Kok malah keselnya ke aku? Terus nanya ke aku pula? Kan ada orangnya, tuh ngomong sendiri sana!” perintah Ana sambil menunjuk ke arahku.

Aku semakin bingung. Ketika aku hendak bertanya, pelayan datang membawakan pesanan kita. Setelah pelayan pergi, aku bertanya kepada Hani yang duduk di sebelahku.

“Hani, kenapa, sih? Ada apa?” tanya aku kepada Hani yang hanya dibalas dengan senyuman.

“Enggak apa-apa, Lia. Mending makan dulu aja. Habis itu, kita bahas,” kata Anggun menginterupsi.

Lalu, kita semua makan dengan tenang. Setelah makan selesai, Adi berkata, “Lia, ada apa dengan kamu ini. Tidak biasanya kamu melamun. Ada yang mengganggu pikiranmu? Cerita lah. Kalau kita bisa bantu, pasti kita bantu.”

Aku baru sadar. Ternyata, sedari tadi mereka memperhatikanku yang sedang melamun.

“Aku enggak apa-apa, kok,” jawabku dengan tersenyum.

“Eh. Kalian ingat dengan Syafeza, tidak? Teman SMA kita dulu?” tanyaku kepada mereka.

Lalu, mereka menjawab, “Ya, kenapa?” tanya mereka dengan kompak. Aku tersenyum mendengarnya.

“Kalian tahu kabar dia setelah lulus dari SMA?” tanyaku lagi.

“Bukannya dulu waktu kelas 12, kamu dekat dengan dia, ya?” tanya Hani memastikan.

“Nah iya. Harusnya, kamu yang lebih tahu tentang dia. Memang kalian enggak kontekan lagi?” tanya Ana dengan hati-hati.

“Terakhir sih aku dapat kabar kalo Syafeza itu pindah ke Yogyakarta. Namun enggak tahu bener enggaknya,” ujar Adi menambahi.

“Memang kenapa, Lia? Kok kamu tanya tentang dia?” tanya Anggun kepadaku.

“Ehehehe, enggak apa-apa. Enggak tahu kenapa, sekarang aku rindu dia. Jadi, dari tadi aku melamun karena ingat kisah kita dulu,” jawabku dengan mimik sendu.

“Udah coba cek sosial medianya?”

“Udah coba ngehubungi?”

“Udah disamperin ke rumahnya?”

Mereka bertanya dengan berturut-turut. Aku hanya membalas, “Udah, udah aku coba semua. Cuma ya gitu, aku enggak dapat kabar apa-apa,” jawabku dengan senyuman di akhir.

“Andai, dulu aku ngasih kesempatan ke dia agar kita bersama. Mungkin, aku tidak merasakan rindu semacam ini. Namun, dulu aku mementingkan gengsi yang tinggi. Jadi, aku menolaknya. Sekarang, justru aku yang menyesalinya,” ucapku dengan nada penuh penyesalan.

Mereka semua menatapku dengan iba. Lalu, mereka memelukku, terkecuali Adi. Ia hanya diam memperhatikan kami.

“Daripada sedih seperti ini, mending kita jalan aja yuk.  Kali aja ketemu yang bening-bening,” ucap Adi lalu disetujui oleh kami.

“Ke mana dulu nih jalannya? Kalau ke kuburan, enggak mau ah, ngeri,” ujar Ana sambil bergidik ngeri.

Bukan tanpa alasan Ana berkata seperti itu. Ana pernah cerita, dulu, ia pernah diajak jalan oleh seseorang. Namun, jalannya ke kuburan. Gimana enggak ngeri coba?

“Ke toko buku aja yuk. Aku mau cari referensi tugas nih,” ajak Anggun dan semuanya menyetujui.

Sesampainya di toko buku, kita berpencar. Mencari barang kebutuhan kita masing-masing. Saat aku sedang memilah buku, aku terkejut karena seseorang yang menabrakku.

“Maaf-maaf, enggak sengaja,” ucap dia sambil mengambil buku yang terjatuh.

“Enggak apa-apa, santai aja,” jawabku sambil membantunya.

Setelah berdiri, pandangan kita bertemu.

“Loh? Lia? Ini kamu? Enggak berubah ya. Masih inget aku enggak?” tanyanya beruntun.

“Eh, iya. Maaf, siapa ya?” tanyaku ragu.

“Masa lupa sih? Ini aku loh. Lulu, temen SMA kamu,” jawabnya dengan mimik wajah yang dibuat sedih.

“Ohalaaa, Lulu? Astagfirullah, maaf. Habisnya, kamu bikin pangling,” ujarku.

“Bagaimana kabarnya, Lia?” tanya Lulu basa-basi.

“Alhamdulillah, baik. Seperti yang kamu lihat sekarang,” jawabku sambil memutar badan.

“Oh iya, Lu. Mumpung ketemu, aku mau nanya sesuatu sama kamu. Boleh kan?” tanyaku memastikan.

“Enggak boleh. Pergi aja sana! Jangan dekat-dekat sama aku,” jawab Lulu sambil tertawa. “Canda, Lia. Kenapa? Mau tanya apa? Tanya aja, enggak apa-apa kok,” ujar Lulu sambil tersenyum.

“Kamu dulu kan tetangganya Syafeza. Sekarang, gimana kabar dia?” tanyaku to the point.

“Syafeza? Syafeza Ahmad Putra? Tetangga aku? Yang dulu Deket sama kamu itu?” tanya Lulu dan hanya dibalas anggukan olehku.

“Kamu belum tahu ya? Syafeza udah meninggal dunia sejak beberapa bulan lalu. Enggak tahu kabar pastinya. Yang aku tahu, dia meninggal dan dimakamkan di Lampung,” ujar Lulu sambil menatapku dengan iba.

Aku terkejut mendengar kabar itu.

Bagaimana mungkin?

Orang yang selalu ceria.

Orang yang selalu bahagia.

Orang yang pernah berjanji  untuk menikahiku.

Sekarang, sudah tiada.

Aku menyesalinya.

Andai, dulu aku memberi kesempatan untuk dia. Agar kejadiannya tidak seperti ini. Namun, aku malah memberikan kesempatan kedua untuknya  jika dia benar serius, maka temukan aku saat kita sudah sama-sama dewasa.

Namun, aku justru berharap dengan kesempatan kedua itu. Sekarang, kesempatan kedua itu sudah lenyap. Tidak mungkin ada, tidak mungkin bisa kembali.

Aku menyesali semuanya.

“Lia, kamu enggak apa-apa?” tanya Lulu dengan khawatir.

“Innalilahi wa innailaihi rajiun,” ucapku dipelukan Lulu sambil menangis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.