Sunset di Ujung Hari
Karya : Nur Khalishah Luthfiyanti
“NAFISA!!! Nafisa kamu dengar ibu tidak? Pelajaran bukannya didengarkan dan dicatat malah ditinggal tidur. Tadi malam tidur jam berapa?” panggil guruku.
“Jam 2 bu, soalnya ngerjain tugas yang harus dikumpulkan hari ini” jawabku.
“Lain kali tugas itu dikerjakan waktu libur saja, biar tidak seperti ini kejadiannya. Kalo tidur di kelas kan kalian yang rugi. Dan Nafisa sana ke kamar mandi cuci muka dan kembali lagi ke kelas!” ucap bu susi
“Baik bu” jawabku.
Saat ini aku duduk di kelas 12 SMA. Salah satu SMA favorit di kotaku. Namaku Nafisa lebih lengkapnya Nafisa Fedrika. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Ayahku penjahit, tapi beliau lebih sering tidak menjahit. Maksudku begini, ayahku lebih sering melakukan kegitan di masyarakat seperti : mengajar TPQ, menjadi imam Mushola, dan menjadi ketua RT. Ibuku seorang pedagang nasi di rumah. Makanya aku bilang aku keluarga sederhana karena aku memang tidak kaya tapi aku tidak pernah kekurangan. Mungkin ini berkah karena ayahku lebih sering beramal dari pada bekerja.
Awal perjuanganku dimulai waktu SMA. Waktu itu aku merasa jadwal harianku sungguh padat. Pulang sekolah sudah hampir petang. Belum lagi habis maghrib aku harus mengaji di kampung sebelah. Itu saja belum cukup, pulang mengaji aku harus menyerut kelapa yang jumlahnya tidak sedikit. Biasanya selesai menyerut kelapa jam 10 malam. Setelah itu aku sudah sangat mengantuk, aku tidak sempat memikirkan PR yang belum kukerjakan.
Puncaknya waktu kelas 12 SMA, jam sekolah bertambah pulang sekolah langit sudah gelap. Ujian sekolah rasanya hampir setiap hari kulakukan. Belum lagi jadwal harianku bertambah. Pagi yang biasanya langsung berangkat sekolah menjadi pagi yang bangun lebih awal dari biasanya. Aku harus membantu ibuku mempersiapkan nasi yang akan dijual sebelum berangkat sekolah. Walau begitu aku tetap belajar mempersiapkan ujian masuk Universitas atau biasa disebut SBMPTN. Aku membuat jadwalku sendiri, pulang sekolah walaupun capek kusempatkan belajar materi SBMPTN. Sedangkan ujian sekolah aku belajar sehari sebelum materi itu diujikan. Seperti siswa lainnya kalau tidak ujian, aku tidak belajar.
Waktu liburku, kugunakan untuk mengikuti tryout bersama teman kelasku. Walau jaraknya jauh kami tetap bersemangat mengikuti tryout SBMPTN. Lebih semangat lagi waktu nilai tiap tryout-ku selalu paling bagus diantara temanku. Rasanya belajar rutinku tiap pulang sekolah tidak sia-sia.
Besok seharusnya aku mengikuti ujian SBMPTNku yang pertama. Sayangnnya hari ini tubuhku lemah sekali. Bangun untuk duduk saja rasanya aku lemas sekali. Walau begitu aku tetap meminta izin kepada ibu untuk pergi ke luar kota.
“Sa kamu masih sakit, kan masih bisa ikut ujian SBMPTN yang kedua. Daripada kamu sakit gini berangkat, nanti nyusahin temenmu” ucap ibuku sambil mengusap kepalaku. Aku tahu ibu khawatir, tidak ada ibu yang mau melepas anaknya pergi jauh waktu sedang sakit. Seperti keadaanku saat ini. Walau begitu aku tetap menangis.
Satu bulan kemudian aku mengikuti ujian SBMPTNku yang ke dua. Ujian berjalan lancar, namun sayang nilaiku tak mencapai target. Tipe soal ujian yang aku pelajari berubah pada tahun ini. Namun aku tetap optimis, nilaiku tidak begitu rendah aku masih punya kesempatan. Aku hanya harus pintar memilih mata kuliah yang cukup untuk nilaiku. Agar aku tidak terdepak dengan mudahnya. Semoga bisa diterima walau bukan di jurusan yang ku inginkan.
Satu minggu berlalu dengan cepatnya. Hari ini pengumuman SBMPTNku. Padahal masih nanti sore, tapi aku sudah deg degan dari subuh tadi. Sudah beberapa hari ini aku sholat hajat. Aku mencoba ikhtiar sebisaku. Semoga Allah memberikan yang terbaik untukku. Meskipun aku tetap berharap aku bisa diterima di Universitas yang ku pilih.
Aku dan temanku memutuskan membuka hasil SBMPTN bersama. Dari habis dhuhur tadi kami berempat menonton film di rumah. Sebenarnya aku sudah tidak terlalu excited seperti tadi pagi. Tapi tetap saja waktu adzan asar bekumandang rasa itu kembali lagi.
“Sholat dulu yuk! Biar tenang kalo sedih kan jadi sudah sholat. Tapi semoga saja tidak sedih” ajakku.
“Ya udah, ayok!” jawab mereka.
Sholatku tidak seperti biasanya. Sumpah! Aku resah sekali. Maafkan aku ya Allah di dalam sholatku pikiranku terpecah belah. Kami membuka hasil itu bersama. Walau yang mengikuti SBMPTN Cuma dua orang tapi mereka ikut deg degan. Aku mencoba membuka situs webnya. Kumasukan nomer pesertaku tapi tidak bisa, tidak terdaftar katanya. Kucoba lagi semoga bisa. Lalu hasilnya muncul.
“Eh nggak keterima” ucapku. Semua mata langsung menatapku. Mereka langsung menghampiriku dengan serempak “Jangan bohong kamu Sa! Mana lihat!” ucap temanku
Aku beneran nggak diterima. Tulisan di sana hanya “TETAP SEMANGAT DAN JANGAN MENYERAH” aku nggak pernah lihat kata motivasi yang menyakitkan seperti ini. Sungguh aku ingin menangis. Entah kenapa di depan semua temanku air mataku sulit keluar. Aku malah dengan santainya bilang
“Nggak papa lah, ini seperti perkiraanku waktu SNMPTN, ZONG!” karena aku memang sudah ditolak DUA kali.
Malam ini aku berdoa kepada Allah, bukan lebih tepatnya mencurahkan semua isi hatiku.
Dalam sujudku tangisku pecah. Tangis yang sudah kutahan sejak sore tadi.
“Ya Allah aku memang meminta yang terbaik untukku. Tapi tetap saja ini menyakitiku. Aku sudah berusaha, belajar setiap hari, membantu orang tua, mengaji setiap hari. Bahkan akhir-akhir ini aku rajin beribadah kepadamu. Aku tahu usahaku kurang maksimal. Aku tidak mengerahkan kekuatanku. Tapi rasanya tetap sakit, waktu aku belajar sungguhsungguh namun yang diterima malah temanku yang belajar saja sambil main-main. Aku memang iri, aku akui itu. Lantas apa yang harus aku lakukan Ya Allah? Please help me!”
Malam yang suram, semua yang kupikirkan berbulan-bulan ini tercurah sudah. Aku memang picik jika ingin semua kejadian sesuai rencanaku. Aku bahkan berdoa semoga hasilnya nanti tidak membuatku berpaling dari-Nya. Ya aku memang sepicik itu mengancam Tuhanku dengan dalih taat kepada-Nya. Kumohon maafkan aku.
Beberapa hari setelahnya aku sudah mendapat banyak informasi mengenai ujian mandiri di tiap universitas. Tepat seperti dugaanku ujian mandiri tidak murah. Biayanya mahal namun ada yang bisa mendaftar dengan bidikmisi sepertiku. Aku tidak menyerah begitu saja ku coba mendaftar tiap universitas yang menerima bidikmisi. Semua dokumen sudah kusiapkan. Masalah kembali muncul. Aku tidak punya uang ntuk mambayar biaya pendaftaran. Bahkan ada salah satu universitas yang menerima bidikmisi dan kuotanya sudah penuh. Jika aku berfikir untuk mendaftar swasta, aku takutnya bidikmisiku tidak diterima. Tak usah memikirkan itu pun aku tahu masalahnya. Kendalaku Cuma satu, aku tidak bisa membayar semua uang pendaftaran baik itu negeri maupun swasta. Belum lagi aku memikirkan biaya hidup di kota besar nanti. Rasanya mimpiku pupus begitu saja.
Aku sudah membicarakannya dengan orang tuaku. Mereka tidak mampu kalau harus membayar uang gedung. Karena itu memang resiko mengikuti jalur mandiri. Mereka menyuruhku berhenti satu tahun dan mencoba lagi tahun depan. Entahlah apa yang harus kufikirkan, aku tidak berani meminta uang untuk biaya pendaftaran. Aku sudah tak punya nyali lagi.
Banyak merenung membuatku berfikir tiap detiknya. Aku tetap punya semangat kuliah kalau kalian mau tahu. Aku sudah berfikir matang kali ini, semoga aja pilihanku benar. Aku sudah bertanya kepada kakak sepupuku, mau ikut berkerja namun sayang masih tidak ada lowongan. Aku juga bertanya kepada teman kakakku, waktu ku lulus ada lowongan pekerjaan namun kali ini banyak karyawan yang baru masuk katanya.
Aku tidak berhenti begitu saja aku juga bertanya kepada teman-temanku dan mereka serempak menjawab tidak ada lowongan. Poor me! Aku sudah mencari di sekitar tempat tinggalku, aku mengatakan keinginanku kepada ibu ku dan beliau menjawab
“Kerja yang deket saja, motornya nggak ada dipakai kakakmu kuliah.”
“Bu mba ami kan kuliahnya deket bisa dianter jemput saja” mohonku.
“Aku tu mau PPL, bukan kuliah seperti biasa. Motor tak bawa akulah motorku juga” sela kakakku.
“Mbok nggak usah royal mau kerja dimana si?” ucap ibuku.
“Ya Allah paling mau kerja aja sulit begini” jawabku, mataku kali ini sudh berkaca-kaca. Entahlah apa yang aku lakukan selalu saja salah tidak ada yang berhasil.
“kalau mau kerja yang dekat rumah saja. Nggak ada motornya biar mudah” rayu ibuku. Aku hanya diam setelahnya bingung mau menjawab apa. Sudah terlanjur kesal.
Entah aku mendapat asupan semangat dari siapa. Jangka waktu move on ku cukup cepat. Tidak ada motor bukan halangan bagiku. Kenapa aku tidak mencari kerja yang jauh sekalian biar tidak butuh kendaraan. Kali ini aku tidak mau Cuma berfikir. Masalah izin bisa kurayu nanti yang penting aku sudah siap. Aku mulai mempersiapkan berkas-berkas yang harus kupunya untuk melamar kerja.
Sepertinya Allah mempermudah jalanku. Temanku pulang dan menawariku berkerja bersama. Langsung saja kuterima ajakan itu kerjanya juga diluar kota jadi tidak butuh kendaraan. Ibu dan ayah juga mengijinkan. Bulan pertama bekerja cukup mengharukan. Jauh dari orang tua, mendapat gaji pertama. Uang yang kuhasilkan sendiri dengan keringatku memang rasanya berbeda. Aku mencoba hemat semampuku. Gaji yang kuterima tidak banyak. Sebagian untuk makan sehari-hari. Sebagian lagi untuk orang tuaku dirumah. Dan sisanya ku tabung untuk mendaftar kuliah. Aku mengikuti bimbel tiap hari libur. Aku tidak akan menyianyiakan satu tahun ini untuk hal yang tak berguna. Mimpiku ada di depan mata.
Kali ini belajarku seperti orang yang haus ilmu. Kesalahanku tahun lalu tidak akan ku ulang kembali. Ujian masuk universitas sudah di depan mata. Kali ini aku harus berjuang semampuku atau tidak sama sekali. Jangan tanya bagaimana ibadahku setahun ini. Alhamdulillah sholat hajatku tetap istiqomah. Sekarang aku sedang belajar Sholat Dhuha. Aku mau ikhtiarku bukan hanya masalah dunia tapi juga akhiratku. Aku banyak belajar akibat kegagalanku tahun lalu.
Ujian sudah kulalukan. Sekarang tinggal menunggu hasilnya. Nilai ujianku lumayan tinggi. Aku juga memilih universitas ternama sebagai pilihan pertamaku. Aku nggak mau tanggung-tanggung sekalian saja agar gapyear-ku terbayar lunas. Walau begitu pilihan kedua aku cari aman dengan memilih universitas biasa.
Tubuhku sudah menegang sejak pagi. Sekarang adalah puncaknya, terlihat jelas bagaimana aku memasukan nomer pesertaku dengan jari bergetar. Kumohon kali ini jangan kalimat motivasi lagi. Waktu ku tekan tombol ‘enter’ layar laptop berubah putih semua. Menunggu loading saja rasanya sangat lama. Tiba-tiba tulisan itu muncul. “SELAMAT”. “ ALLAHUAKBAR!!, bu anakmu bisa kuliah” teriakku.
“Keterima dimana sa?” tanya kakaku matanya ikut berbinar senang.
“Nggak tau, liatin mba pokoknya aku keterima” jawabku cepat.
Ibu datang dan langsung memelukku, kakakku juga ikut memelukku. Senang rasanya perjuanganku tidak sia-sia. Dan lebih senangnya lagi waktu kakaku bilang kalau aku diterima di Universitas Indonesia. Universitas impianku. Tak peduli bagaimana kerasnya usahaku. Sekarang terbayar lunas. Salah satu impianku sudah kugenggam. Memang sunset di ujung hari yang paling membahagiakan.
Indah dan berkenang. Ibu, Ayah, kakak sayang kalian. Allah LOVE YOU.
2 Komentar
Stanford Speier
Not Bad
Jurnal Phona
Yeah