Resensi Buku,  sastra

Jemaah Sufi Itu Membawaku Menjadi Pelacur


FOTO: tokopedia.com

Judulnya ngeri ya? Tapi, sesungguhnya sayang sekali kalau tidak dibaca. Karya Muhidin ini sukses membuat pikiran dan hati saya terkoyak. Membaca sebuah cerita yang memang cukup tragis dan unik juga. Adalah Nidah Kirani, lakon utama dalam novel persenggamaan ini. Muhidin menempatkan Kiran, sapaan lakon utama itu sebagai seorang pelacur. Ya, pelacur!. Yang menarik bukan sekadar pelacurnya, tapi bagaimana perjalanan seorang Nidah Kirani yang sampai-sampai dia memutuskan untuk mantap memilih profesi sebagai seorang pelacur.
Kehidupan seorang pelacur memang kelam. Tapi, tidak buat Nidah Kirani. Menjadi pelacur adalah pilihan terbaik bagi seorang Kiran, daripada terus menerus dibekap dalam sebuah perkumpulan suci dengan segala ritus keagaaman yang sama sekali nggak jelas. Perkumpulan yang mengatasnamakan sufi ini yang berhasil mengantarkan seorang Nidah Kirani menjadi seorang pelacur.
Nidah Kirani mulanya hanya seorang mahasiswa di salah satu kampus, kalau tak salah Kampus Matahari Terbit, lebih jelasnya tengok di novel. Dia mahasiswi yang cerdas, santun, juga pintar menjaga aurat. Sekaligus suka berdiskusi. Hobinya berdiskusi dan keinginan mencari tahu bagaimana berislam secara kaffah membawanya bertemu sosok Dahiri. Lelaki yang berhasil menggandengnya masuk kesebuah perkumpulan, yang kerap dinamainya Jemaah. Mulanya, Kiran betah berada di Jemaah itu, setiap hari dia hanya sibuk dengan Al-Qur’an, Sholat, dan segala ritus keagamaan lainnya yang memang secara spekulasi mirip dengan kehidupan sosok seorang sufi.
Lambat laun, Kiran, bukan bosan, tapi keingintahuan dan sikap kritisnya yang sudah menyembul keluar kepala membuatnya tak tahan. Kiran ingin mencari tahu sebenarnya Jemaah yang ia ikuti itu seperti apa? Pusatnya dimana? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang  sempat menyumpal otak Kiran. Bagaimana tak begitu, dirasainya, Jemaah itu makin hari makin tidak karuan. Bukannya tambah kalau istilah jawanya sregep, ini malah mulai pada malas semua pengikutnya. Jangankan tuk mengaji, sholat pun, Kiran tak menjumpai rekannya di Jemaah itu rutin menjalankannya.
Hingga berakhir pelarian yang luar biasa. Kiran dan tiga orang lainnya yang sudah muak dengan tabiat para Jemaah yang tidak jelas itu memutuskan untuk minggat, pergi dari perkumpulan itu. Ketiga temannya sukses meringkuh kehidupan yang normal. Tapi, Kiran lain. Dia terjerembab di dunia yang antah berantah. Bukan negeri dongeng, melainkan sebuah caruk-cemaruk dunia luar yang sungguh memprihatinkan. Pertemuannya dengan Hudan membuat Kiran tak gubahnya sebagai wanita malam yang suka keluyuran di jalanan malam hari hingga pagi. Bersama Hudan, dia mengenal kehidupan malam, bahkan kantor lonte sudah ia kunjungi.
Parahnya, Kiran juga mulai mengonsumsi pil, yang jelas bukan obat penurun panas. Tapi, pil itulah yang pemasarannya sulit, harus melalui pihak pengamanan untuk mengedarkan pil itu. Katakan ekstasi! Narkoba! Tak sanggup saya bayangkan, perempuan yang dalam benak saya gambarkan sebagai sosok ideal seorang istri itu akrab dengan obat-obatan bangsat itu. Selepasnya, Kiran hidup melulu di jalanan, kehidupannya di kamar menyendiri pun sudah hilang entah kemana. Hingga suatu saat..
Kiran berjumpa dengan lelaki aktivis kiri. Daarul Rachim. Namanya terlihat islami. Tapi tidak kelakuannya. Lelaki itulah yang pertama kali mencicipi bibir perempuan muslimah itu. Oh, sungguh beruntung Rachim, andai aku di posisinya. Rachim mendekati Kiran dengan cara yang ciamik, membuat Kiran perlahan luluh. Hingga suatu saat Kiran sendirilah yang mengantarkan badannya ke kontrakan Daarul Rachim. Awalnya semua biasa saja, Rachim memberikan sebuah buku pada Kiran. Mengejutkan!. Kiran tiba-tiba meminta lelaki kampret itu memberikan rokok padanya. Gila!. Perempuan yang kukira berparas cantik itu ternyata perokok? Ah, tapi kukira wajar sih, banyak juga perempuan secantik Kiran itu perokok. Rachim tak memberikan rokoknya. Tapi, karena Kiran terus merengek, apa boleh buat, akhirnya Rachim memberikan rokok padanya.
Sesudah masalah rokok berlalu. Kiran duduk termenung, sambil meratapi nasibnya yang beranjak mulai tak karuan itu. Sambil duduk, dia mengepulkan asap rokok dari bibir manis keperempuanannya. Rachim pun duduk, sampai akhirnya tengkurap memandangi Kiran merokok. Lama-lama, terbesit pikiran nakal Kiran untuk bersenggama dengan lelaki itu. Dan terjadi! Itulah kali pertama seorang Nidah Kirani melakukan praktek kepelacuran. Saling cium, saling raba, semua-mua itu telah dirasakan Kiran dan Rachim malam itu juga. Hingga pagi menjemput! Kiran luapkan semua kekecewaan, kekesalan, kepemberontakannya kepada Tuhan pada lelaki itu. “Oh, Tuhan Aku telah melanggar tabu-Mu untuk kesekian kalinya! Kalau kau marah, marahlah! Kutuklah aku!” begitu teriak Nidah Kirani yang berhasil memerjakai Rachim.
Itulah pengalaman bersenggama pertama yang dilakukan Nidah Kirani, yang mengantarkannya ke persenggamaan-senggamaan berikutnya. Pertemuannya dengan lelaki tak sampai disitu, begitupun dengan hasrat kepelacurannya itu. Rahmanida Sira, lelaki berikutnya yang dijumpai Kiran. Lelaki yang juga sama cerdasnya dengan Rachim. Midas, sapaannya itu juga termasuk lelaki yang aktif diorganisasi mahasiswa islam. Kebetulan seorganisasi dengan Kiran. Pertemuan Kiran dan Midas ini yang membawa mereka nekad menaiki gunung, tanpa bekal yang matang. Modal nekad, dan jelas mereka menantang maut. Dari pergulatan mereka dengan maut ini, justru dimanfaatkan Kiran dan Midas sekaligus.
Ketika keduanya sampai di sebuah losmen, seusai melewati sebuah badai, dan jembatan antara hidup dan mati. Justru di losmen itu, peristiwa bagi kita menjijikan itu terulang kembali. Midas dan Kiran bersetubuh!. Entah ini kali keberapa Kiran mencicipi selangkangan lelaki. Dan uniknya, kini Kiran yang membujuk Midas untuk melakukan kegiatan memuakkan itu. Semua baju dan kain yang menempel diseluruh lekuk tubuh Nidah Kirani, ia lucuti sendiri. Tidur diatas ranjang, dengan pose selayaknya bintang porno. Idih…
Begitulah kehidupan Nidah Kirani, berjumpaannya dengan bermacam lelaki membawanya menjadi serupa pelacur. Bahkan, saat dia berkonsultasi dengan dosen pembimbing skripsinya. Kiran justru mulai merayu sang dosen. Namanya Pak Tomo. Dia menawarkan untuk menjadi germo bagi Kiran yang memutuskan menjadi pelacur. Wah! Terkejut saya membacanya, dosen pun sebegitu bejatnya! Moral mana moral? Bangsatnya negara ini!
Tidak sampai disitu, perjalanan Kiran tak melulu bersafari seks. Tapi, ini sekaligus membuktikan kalau negara ini memang kotor, keji, biadab, bangsat, dan kata-kata lain mana lagi yang harus aku sebutkan! Aparat yang keparat pun terkemuka di novel karya Muhidin ini. Sampai sosok wakil rakyat, dari partai islam. Ya, ISLAM. Juga tak mau kalah mencicipi tubuh Kiran. Lelaki memang brengsek, Kiran yang mengatakan itu. Lelaki bagi Kiran adalah sosok yang lemah, biadab, dan sebagainya. Tampangnya saja yang bagus, tapi kelakuannya sama seperti hewan. Termasuk politikus islam tadi!
Banyak yang mencibir novel karya Muhidin ini. Juga resensi yang saya buat ini, tak menutup kemungkinan ada yang komplain. Silakan!. Tapi, bagi saya novel Gus Muh, sapaan Muhidin M. Dahlan ini memang memukau. Banyak peristiwa tak terduga menyertai kisah Nidah Kirani. Diksinya juga memukai, Muhidin pun memerhatikan kaedah kebahasaan dan kepenulisan. Salut dengan Gus Muh…

Judul Buku      : Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah
Penulis             : Muhidin M. Dahlan
Penerbit           : ScriPta Manent
Tahun Terbit    : 2016
Kota Terbit      : Yogyakarta
Cetakan           : 16
ISBN               : 979-99461-1-5
Peresensi : Muhammad Arsyad

 

  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.