Sebuah Negeri Fana
Karya: Nazira Laela Nasta
Riang suara burung kutilang sudah bernyanyi-nyanyi ria mengganggu waktu tidurku, aku membuka mata pelan-pelan, diam-diam aku merasa sedang diamati seseorang dari jauh, seketika aku memutar otak berfikir ini tempat apa, ya benar ini bukan kamarku. “Apa ini?” Tanyaku kebingungan seorang diri. “Mengapa aku bisa sampai disini?, tidak ada bantal tidurku yang kupeluk lagi, bahkan selimut sutraku sudah berubah jadi rimbunan rumput, aku dimana?” Tanyaku lagi pada diriku sendiri. Saat aku hampir saja kehilangan jati diri, tiba-tiba saja dari balik sinar cahaya yang panas ini menyilaukan kedua mataku, dari kejauhan munculah sosok seorang perempuan tua dengan baju yang indah bagai ibu ratu istana. Semakin aku bertanya-tanya bingung, semakin derap langkahnya melaju cepat ke arahku.
“Ini padang rumput anakku.” Sapanya mengejutkanku.
“Bagaimana bisa aku sampai disini?” Aku bangun dari posisi ku yang tertidur.
“Ini duniamu! Kamu lupa?” Tanyanya dengan suara dingin.
“Tidak ini bukan duniaku, kembalikan aku pada duniaku. Aku mau pulang!” Aku merengek menahan tangis padanya.
“Kamu tidak bisa pulang sekarang anakku, kamu yang memilih untuk sampai ke dunia ini.” Tukasnya sambil berjalan santai yang entah aku tidak tahu kemana arahnya.
“Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu? Aku tidak pernah memilih untuk pergi ke sini!” Jawab aku tegas.
“Sudahlah anakku ayo kita pulang ke istana.”
Aku membulatkan mataku tak percaya, namun tanpa pikir panjang aku akhirnya mengikuti orang tua tersebut untuk menuju ke suatu tempat. Tidak lama setelah beberapa jam aku menyusuri padang rumput dengannya sampailah kami di sebuah tempat yang dipenuhi bunga-bunga cantik, dengan warnanya yang berupa-rupa. Mulai dari bunga tulip, bunga anggrek, bunga matahari, dan bahkan jenis bunga yang tidak pernah ku jumpai di dunia nyata, semuanya ada disini. Harum semerbaknya membuatku tidak henti untuk mencuri-curi nafas dengan jangka panjang, di tambah lagi aliran air sungai yang meliuk-liuk begitu deras di sepanjang jalan menuju tempat itu, benar-benar menjadi candu untuk dilihat kedua mata. Rombongan burung kutilang, burung pipit, burung cendrawasih rupanya bahkan jauh lebih banyak disini, mereka beterbangan di atas kaki langit yang sangat biru. Mereka bersiul-siul, saling bersautan satu sama lain, seolah sedang berbahagia menyambut kedatanganku kemari. Aku menatap setiap sudut, setiap jalanan yang ku lalui dengan perasaanku yang cukup kacau. Rasa takut, gugup, gemetar menjadi satu saat ini, meski tak bisa kupungkiri aku begitu takjub dengan keadaan disekitar sini yang sangat indah seperti sedang di nirwana.
“Tuan putri sudah kembali!!!” teriak suara seseorang dengan sangat keras. pakaiannya seperti orang pada jaman dahulu, mereka memakai kebaya kuno. Anehnya tidak ada satupun orang yang kukenali disini, aku semakin dibuat terheran-heran. Sebenarnya sedang dimana aku ini.
Sampailah aku disebuah tempat yang jauh lebih indah dari sebelumnya, ini terlihat seperti istana kerajaan. Terlihat sangat megah dan sangat besar. Bangunannya tinggi, terbuat dari emas mulia. Ukiran di setiap sudut pintu dan ruangannya berkilau dihiasi berlian. Karpet yang ku injak di atasnya ini bukan karpet sembarangan, melainkan ini terbuat dari sutera. Aku di sambut dengan banyak orang di dalam sana, mereka memberikan senyuman hangat padaku. Bahkan sebagian besar ada yang memelukku erat. Mereka bersuka cita menyambutku, lantas orang tua yang sedari tadi memanggilku anaknya kini sudah hilang entah kemana, batang hidungnya tiba-tiba saja sudah tidak terlihat lagi. “Oh orang tua itu, datang tak di undang, menghilang pun tak bilang-bilang.” Suaraku bergumam lirih sedikit sebal.
“Kemari tuan putri, hamba akan tunjukkan sebuah kamar padamu,” ucap seorang gadis cantik tersenyum padaku.
Akupun mengikutinya, saat aku masuk kedalam kamar tersebut ada banyak sekali perhiasan yang ditawarkan padaku, bahkan juga ada banyak sekali pakaian mewah yang ditunjukan padaku.
“Mari biar hamba persiapkan segalanya untuk mu tuan putri…,” ucap gadis itu yang mungkin usianya hampir sama denganku.
“Tidak perlu repot-repot aku bisa sendiri!” Jawabku tegas.
“Tidak seperti itu tuan putri, mari biar hamba bantu pakaikan.” Gerakannya cepat mengambil pakaian mewah dan beberapa kebutuhan yang lain.
Aku hanya bisa pasrah saja saat ia sudah mulai merias wajahku dengan taburan bedak, blush on, lipstik dan alat make up yang lainnya. Anehnya alat make up disini tidak terlihat seperti diduniaku, tempat make upnya begitu unik tidak pernah kulihat sebelumnya.
“Sudah selesai tuan putri.” Ia berlari mengambilkan sebuah kotak di lemari dan diberikannya padaku. Ternyata ini adalah sepatu kaca yang sangat cantik dan sepertinya mahal.
Aku langsung memakainya dengan antusias saat ia membukanya tadi.
“Siapa namamu?” Tanyaku padanya.
“Kau yakin lupa padaku tuan putri?” Kali ini ia justru berbalik tanya padaku.
Aku memandanginya dengan tatapan datar, karena bingung harus menjawab apa.
“Em,,, maklum saja jika tuan putri lupa pada saya, selama berbulan-bulan lamanya pasti tuan putri mengalami banyak hal, hingga akhirnya lupa dengan saya.”
“Maaf tapi aku benar-benar tidak tahu siapa namamu, dan aku juga baru melihatmu saat ini,” ucapku mencoba meyakinkannya.
“Sudahlah tuan putri, tak apa jika kau lupa padaku. Perkenalkan namaku Mala.”
“Oh jadi namamu Mala, perkenalkan namaku Ag….,” belum sempat selesai aku menyebutkan namaku tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu kamar dengan keras.
TOK,,,TOK,,,TOK,,,
Mala dengan sigap langsung berlari membukakan pintu, sedangkan aku menatapnya dengan penasaran.
“Pangeran…,” Mala membusungkan badannya memberi hormat.
“Apa tuan putri Alesia sudah siap?” tanya nya sopan, dan masih bisa ku dengar suaranya dari kejauhan.
“Sebentar tuan, biar hamba panggilkan.” Mala bergegas lari ke arahku.
“Tuan putri sudah ditunggu pangeran, tuan putri harus segera keluar sekarang.” Ucap Mala padaku
Aku hanya menganggukkan kepala dan berjalan menuju pintu keluar. Saat ku dapati ia sedang berdiri menungguku. Kali ini kedua mata kami bersih tatap. Pakaiannya terlihat rapih, pantas saja ia dipanggil pangeran. Wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung. Baru kali ini aku menemukan makhluk hidup sesempurna ini, di dunia nyata rasanya tidak ada yang setampan ini.
“Lama tak berjumpa tuan putri.” Ia membusungkan badannya memberikan hormat padaku.
Aku gugup bukan main sekarang, aku terdiam dan tak bisa berkata apa-apa, aku hanya reflek membalas dengan membusungkan badanku memberikan hormat padanya pula.
“Rasanya senang sekali bisa melihatmu setelah sekian lama, apa selama ini kau baik-baik saja?” tanya nya padaku.
“Ya tentu, aku sangat baik-baik saja.” Jawabku padanya.
“Putri Alesia mari sepertinya kita sudah ditunggu oleh baginda raja.” Ucapnya kemudian berjalan meninggalkan depan tempat kamar mewah yang katanya miliku.
Aku mengikutinya sambil menarik nafas panjang, ia memanggilku Alesia, nama siapa lagi itu, aku tidak tahu, jelas-jelas nama yang di berikan bunda padaku di dunia nyata adalah Agnez. Aku hanya bisa pasrah saja dipanggil dengan sebutan Alesia yang entah siapa itu tidak ku kenal sama sekali. Aku masih berjalan mengikutinya di belakang, punggungnya terlihat sangat kokoh membuatku semakin jatuh hati padanya. Oh apakah ini yang di sebut cinta pandangan pertama.
Hari demi hari berlalu, rupanya sudah 1 bulan aku disini, menjalani kehidupan sebagai tuan putri nyatanya asik juga, aku bahagia sekali di sini. Pakaian mewah, perhiasan mewah, makanan enak, dan segalanya yang serba ada membuatku mabuk kepayang di dunia yang tak ku kenali ini. Surat undangan pernikahan sudah disebar ke seluruh penjuru di negeri ini, bulan depan adalah hari pernikahanku dengan pangeran tampan itu, yang nyaris sempurna tidak ada cacat. Namanya adalah Antonio pangeran mahkota dari kerajaan ternama di negeri ini. Katanya kami memang sudah dijodohkan sejak kecil, kami sudah terbiasa bermain bersama dari kecil, dan pernikahan kami serta merta juga untuk kebaikan seluruh negeri ini, dimana 2 kerajaan besar di negeri ini memang harus bersatu agar pertahanannya jauh lebih kuat. Aku sangat bahagia menikmati segalanya disini, aku merasa seperti tengah berada di alam surga.
Hari pernikahan tinggal menghitung hari lagi, semua persiapan sudah matang, dan seluruh insan tengah bahagia menyambut hari besar ini.
“Tuan putri, Apa kau bahagia?” Tanya Mala padaku sambil mempersiapkan pakaian yang akan kukenakan di hari pernikahan.
“Aku sangat bahagia Mala.” Aku tersenyum padanya.
Mala hanya diam tak berkomentar apa-apa.
“Em Mala, sudah lama sekali aku tak melihat orang tua itu yang membawaku kesini. Apa kau melihatnya?, dia selalu memanggilku dengan sebutan anaknya.” Tanyaku penasaran.
“Apa yang di maksudkan tuan putri ini adalah ibu ratu?” Mala memicingkan matanya bertanya menyelidik padaku.
“Ibu ratu? Jadi orang tua itu, ia ibu ratu?”
Mala tak menjawab, hanya menganggukan kepalanya membenarkan.
Hari pernikahan tiba, Mala sudah mendandani ku sangat cantik hari ini, sampai-sampai aku tak mengenali diriku sendiri.
“Tuan Putri saya tinggal dahulu ya.” Mala berpamitan padaku meninggalkan ku sendirian di kamar.
“Tunggu Mala,,, kamu mau kemana?” aku mencoba menanyakan pada Mala, namun dia sudah terlanjur berlari menutup ruang kamar. Aku berdiam diri beberapa detik, saat sinar cahaya yang sama dulu pernah ku alami sekarang datang dari arah cermin. Aku reflek menutup mataku dengan tangan sebelah kiriku.
Lagi dan lagi itu adalah orang yang sama, orang tua waktu itu muncul lagi dihadapanku setelah lama menghilang. Ini adalah ibu ratu yang Mala bilang tadi. Ibu ratu yang membawaku ke tempat ini. Dengan singkatnya secara tiba-tiba, lantas ia mengatakan padaku bahwa aku harus pergi ke suatu tempat.
Tibalah aku disini sekarang, di suatu tempat yang sangat gelap, yang baunya sangat anyir seperti bau darah yang tak sedap.
Aku menutup hidungku dengan tanganku.
“Untuk apa kau membawa ku kesini?” Tanyaku pada orang tua itu yang tak ku ketahui namanya.
“Lihat disana! Tulang! Darah! Itu adalah hukuman bagi insan yang durjana!” Ucapnya dengan bola mata hitamnya yang sangat mengerikan.
“Lantas aku harus apa?” Tanyaku sedikit takut.
“Tugasmu adalah mengingatkan mereka, kau adalah putri disini, namun tidak berarti di duniamu, ingatkan mereka untuk tidak meninggalkan kewajibannya! Sebelum akhirnya mereka akan berakhir disini!”
Aku terkejut bukan main dengan ucapannya, nafasku tersenggal-senggal tak bisa di atur. Aku rasa permainan ini sudah berakhir, Aku mencoba berlari untuk pulang ke istana, namun seketika itu, dengan cepatnya ada seseorang lelaki berjubah hitam yang mendorong ku masuk ke dalam sebuah lubang. Aku berteriak sekuat mungkin saat terjatuh ke dalam lubang yang dalam itu, lelaki berjubah itu lantas membuka tudungnya, aku sempat melihat wajahnya, dan itu adalah Antonio.
“Ahggggggrrrrrr!” suaraku mengeras.
“Agnezzz bangun…! Bangun Agnez! ” suara cemas seseorang membangunkanku.
Aku terkesiap lantas bangun sambil mengatur nafas yang terengah-engah hampir mati.
“Ahhhhhh bundaaa aku belum mati kan?” tanyaku dengan ketakutan.
“Kamu ndak baca doa ya waktu mau tidur?” bunda memberiku segelas air putih.
Aku mengambilnya dan sesegera mungkin menghabiskannya. Sambil mengucapkan syukur yang tak henti-henti.
“Ahhhh ternyata itu semua hanya mimpi.” Pekik aku kemudian melanjutkan tidurku yang kelabu.
Semuanya sudah berakhir, Dunia ini ternyata hanya fana belaka, tidak ada yang benar-benar nyata.