Karya : Siti Aisyah
Hidup di perantauan tidaklah semudah yang dibayangkan. Yang dibayangkan kita bisa melakukan apa saja tanpa ada yang melarang. Tapi kenyataanya tidaklah mudah seperti yang kita pikirkan. Sama halnya dengan ceritaku kali ini, ketika aku baru mulai merantau karena harus menempuh pendidikan di luar kota.
Akhir tahun lalu aku diboyong keluargaku ke luar kota guna menempati sebuah rumah kost. Awalnya aku merasa senang karena akhirnya aku dan keluargaku bisa jalan-jalan keluar kota lagi setelah sekian lama kami tidak pergi liburan bersama. Aku dan keluargaku mengunjungi sebuah taman rekreasi yang ada di kota tersebut. Kami sangat menikmatinya.
Matahari sudah menjelang petang, keluargaku mengantarkanku ke rumah kost. Di ruang tamu kost, Ibu dan Ayahku menitipkanku kepada Bapak kostku. Setelah itu, keluargaku pun pamit untuk pulang. Aku masih bisa tersenyum lebar dan mengantarkan keluargaku ke pintu gerbang untuk sekedar melambaikan tangan tanda perpisahan. Setelah mobil keluargaku berjalan, aku pun masuk ke kamar kostku. Disitulah aku langsung meneteskan air mata karena merasa sangat kesepian. Aku merasa bingung apa yang harus kulakukan. Tidak ada satu pun orang yang aku kenal di dalam rumah kost tersebut.
Hari demi hari kujalani hidup di perantauan. Benar-benar harus mandiri alias apa-apa sendiri. Makan harus menyiapkan sendiri, mencuci baju harus dilakukan sendiri, intinya apa-apa dilakukan sendiri.
Suatu ketika, aku pulang dari kampus larut malam karena harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Aku belum sempat membeli makanan untuk makan malam. Aku yang belum makan dari tadi siang merasa sangat lapar. Aku tidak tahu di mana rumah makan yang masih buka ketika sudah larut malam.
Aku pun hanya bisa meneteskan air mata lagi sembari dalam hati, “Ya Allah biasanya waktu aku pulang sekolah, Ibuku sudah menyiapkan makanan kesukaanku. Sekarang aku mau makan saja bingung. Memang aku termasuk anak yang manja, masih sering meminta bantuan Ibu jika melakukan sesuatu. Mendengar ada suara tangisan, teman kostku yang bernama Shinta pun mendatangi kamarku.
“Mbak, buka pintunya! Mbak kenapa?” kata Shinta, yang pada saat itu kami belum berkenalan.
“Oh iya Mbak, sini masuk,” jawabku sembari menghapus air mata yang menetes di pipi.
“Kenalin nama aku Shinta, nama kamu siapa?” tanya Shinta kepadaku.
“Oh iya, kenalin namaku Gina, jawabku sambil sesekali sesenggukan menahan tangis.
“Kamu sudah makan belum? tanya Shinta lagi.
“Be-be-belum Shin, jawabku sembari menangis lebih kencang.
“Aku pingin pulang saja, aku tidak betah hidup jauh dari orang tua, lanjutku.
“Hus! Jangan ngomong kaya gitu. Nggak boleh. Memang pertama kali kita jauh dari orang tua rasanya sakit, pedih kita harus tanggung sendiri. Tapi ini demi kebaikan kita, kita harus membuat orang tua bangga dan tersenyum melihat anaknya sukses, jawab Shinta.
“Ya sudah, ini aku ada sedikit makanan sama jajan. Kamu makan, ya,” lanjut Shinta.
“Iya, Shin. Terima kasih,” jawabku sembari melirihkan suara tangisanku.
“Dulu, waktu aku pertama kali ngekost juga tidak ada teman, tapi lama kelamaan banyak teman yang baik. Teman ini bisa juga menjadi pengganti keluarga. Kita harus saling menolong satu sama lain,” nasihat Shinta untukku.
“Iya, Shin. Terima kasih, kamu memang orang yang baik, sahutku.
Dari sini lah aku dan Shinta menjadi sahabat. Kami sering melakukan kegiatan secara bersama. Shinta sering mengajakku jalan-jalan keliling kota agar aku bisa lebih menikmati hidup di perantauan. Shinta juga yang sering menolongku ketika aku kesusahan.
Dari sini, aku belajar arti kemandirian. Orang tua mendidikku agar aku menjadi pribadi yang lebih mandiri dalam segala hal. Kemandirian sangat perlu diterapkan sejak dini demi kebaikan kedepannya. Seiring berjalannya waktu, aku bisa hidup lebih mandiri tanpa mengandalkan bantuan orang lain kecuali jika sangat diperlukan.