Feature

Potret Hidup Penari Jalanan : Kisah Inspiratif Untuk Bertahan Hidup dan Bersyukur

Pemalangjurnalphona.com Hidup merupakan hal yang perlu kita syukuri, baik itu dengan cara apapun. Sebagai manusia kita di tuntut untuk berjuang dan bertahan hidup. Salah satunya adalah seperti yg dilakukan para seniman jalanan. Para seniman jalanan biasanya memilih mengais rezeki dengan cara bekerja sebagai penari di jalanan. Potret hidup penari jalanan sering kali terlihat di tiap lampu merah. Dengan berbekal alat dan kostum seadanya para penari ini berjibaku dengan panasnya terik matahari, dan juga panasnya aspal. Hal ini bukan lagi menjadi halangan bagi mereka untuk mencari pundi-pundi rupiah. Seperti halnya yang dilakukan oleh Jangkrik.

Jangkrik, merupakan seorang penari jalanan yang berasal dari daerah Petarukan Kabupaten Pemalang. Ia bergabung dengan sebuah komunitas di Pekalongan yakni sanggar Adi Budaya. Ia sudah menekuni profesinya ini selama 2 tahun lebih menjadi penari jalanan. Dalam sehari kiranya ia bisa menghasilkan uang sekitar 60.000 hingga 80.000 Rupiah perharinya. Awalnya, sebelum jangkrik menjadi penari jalanan ia sudah bekerja sebagai penjahit, namun kemudian ia beralih profesi menjadi penari jalanan.

“Dulu mulanya saya itu penjahit tetapi penghasilannya tidak mencukupi kemudian ada teman saya yang mengajak untuk kerja menjadi penari jalanan. Disamping itu juga ada kebutuhan ekonomi, dari sinilah ide awal saya memutuskan menjadi penari jalanan,” ucap Jangkrik saat di temui di tepi jalanan.

Setiap harinya Jangkrik harus memoles wajahnya sendiri dengan make-up. Kemudian ia akan mangkal di beberapa lampu merah bersama 4 temannya. Ia berangkat mulai pukul 09.00 pagi dan pulang setelah penghasilan dari penari jalanan ini kiranya sudah memenuhi untuk membeli kebutuhan makan hari ini dan cukup untuk menabung.

Untuk menghibur para pengendara jalanan, Jangkrik harus mempertunjukkan kebolehannya dalam tarian dengan berjoget atau juga melakukan atraksi akrobat. Jangkrik menuturkan, bahwa ia biasanya menampilkan jogetan Reog meski pakaiannya terlihat seperti kuda lumping. Jangkrik mempelajari teknik jogetan ini melalui aplikasi youtube atau dari konten yang ia tonton. untuk pembelajaran akrobat sendiri ia sudah melakukan percobaan atau belajar kurang lebih 2 bulan.

“Waktu pertama kali belajar gerakan ini, saya pernah jatuh. Ini kan ada gerakan salto depan belakang, nah dulu kepala saya pernah bocor, waktu pertama belajar pegang pecut juga pernah kena badan saya sendiri. Intinya sih kita kalo mau belajar harus tau teknik-tekniknya dan tau kapan waktu akan jatuhnya,” ungkap Jangkrik.

Terlepas dari semua kelebihannya, tentunya disetiap pekerjaan memang memiliki kendala. Begitu juga yang dialami Jangkrik, beberapa kendala yang biasa Jangkrik dan teman-temanya alami yaitu ia harus berurusan dengan Satpol PP yang pada dasarnya tugasnya memang menertibkan jalanan. Selain itu, kendala lain yang dialami yaitu di mana terkadang ia harus berhadapan dengan beberapa preman yang meminta jatah atau memalak.

“Kendala yang saya alami ya ada Satpol PP yang sering menyita barang-barang kami. Dulu juga waktu mangkal di Pekalongan pakaian kami pernah disita, dari topeng yang harganya 850.000, pakaiannya 1.7 juta, pecutnya 330.000. Tapi Kalau di Pemalang sini topeng doang yang pernah disita,” tuturnya lagi.

Hampir setiap hari Jangkrik dan teman-temannya beraksi di lampu merah untuk memperoleh penghasilan walaupun mayoritas dari pengendara jalan kebanyakan hanya melihat tidak menyumbang. Lebih lanjut, selain Pemalang dan Pekalongan yang menjadi tempat tujuan mangkalnya mereka juga bisa sampai ke daerah Batang.

Penulis: Rahma Hidayah

Reporter: Nazira Laela Nasta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.