Arman Bersama Rasa Sepinya
Sudah tiga puluh menit Marie menikmati dinginnya sungai di belakang rumahnya. Tak ada tatapan bahagia, kagum ataupun sedih dengan yang dinikmatinya. Namun ia terlihat begitu menikmati. Matanya menatap lekat air, namun tangannya terus memegangi perutnya. Entah apa yang sedang dinikmati hingga terlihat menikmati, namun tak ada ekspresi apapun diwajahnya. Ia pintar menutupi segalanya.
Derasnya aliran sungai tak mengusik matanya untuk berpaling menatap pemandangan lain. Ia terus menatap kakinya yang terendam di sungai. Tak ada satu halpun yang bisa mengalihkan mata sipitnya. Walaupun terkadang matanya terpejam.
Tidak ada yang tahu apa yang ditutupinya. Lebih tepatnya tidak ada yang tahu sedang ada yang ditutupi. Ia pandai. Sangat pandai dalam hal apapun. Hingga tidak ada yang tahu kalau ia sedang sangat rapuh. Menopang tubuh dan segala beban pada dirinya sendirian.
Bukan ia tidak suka berbagi apa yang sedang dikeluhkan. Hanya saja ia selalu berpikir bahwa semuanya tidak akan ada yang mengerti apa yang dikeluhkan. Semuanya hanya meng-iya-kan saja saat setiap kalimat terlontar dari mulut Marie tanpa rasa simpati sedikitpun.
“Kau harus pandai-pandai menutupinya. Abang akan pulang saat sudah dapat segepok uang.” Kata Arman padaararie.
“Kau kira mudah mendapatkan uang sebanyak itu?”
Bukan semangat yang keluar dari mulut Marie membuat Arman mendengus kesal.
“Sudahlah. Abang akan pergi.”
Marie hanya menatap kepergian Arman tanpa kata. Hingga tubuh besar dan tinggi Arman tak terlihat lagi, Marie melanjutkan pekerjaan menjahitnya.
Marie tak henti-hentinya memegang perutnya saat melamun. Ia tahu itu salah. Namun ucapan Arman membuatnya gila. Ia tahu Arman salah, ucapannya sekarang malah seperti meracuninya.
Tidak ada lagi pekerjaan yang perlu diselesaikannya sore ini. Tubuhnya yang serasa lengket memaksanya untuk lekas mandi. Walaupun biasanya ia memilih hanya untuk membersihkan wajahnya yang secerah masa depan Arman. Padahal Arman terlihat tak memiliki masa depan yang baik.
“Mar, abang pulang.” Teriak Arman dari luar pintu.
Marie mendecak kesal sambil berjalan menuju pintu. Tak ada sambutan apapun yang diberikan Marie saat kepulangan Arman.
“Aku maklumi kau begini, Mer.” Kata Arman mendesah pasrah.
“Kau mau minum apa?”Arman tersenyum.
“Apapun. Yang penting kau yang membuatnya.” Senyum Arman semakin lebar.
“Mau kau kubuatkan air garam?” Jawab Marie kesal.
“Lihat kau saja sudah manis.” Marie mendengarnya geli.
Tak ada kegiatan lain saat malam seperti kali ini. Mereka hanya saling adu mulut. Arman menggobal sedang Marie mendecak geli. Seperti pasangan pada umumnya. Arman berusaha membuat hubungan mereka selazim mungkin.
Walaupun tetlihat Marie tak pernah merespon lebih sikap yang dilihatkan Arman padanya. Arman tak pernah berputus asa untuk mendapatkan perhatian Marie. Ia terus mencari celah agar Marie mau melihatkan kalau ia sebenarnya juga tertarik dengan Arman.
Arman selalu berusaha membuat Marie nyaman dekat dengannya. Terkadang Arman juga menyerahkan segala tenaganya agar Marie tak terlalu lelah dengan pekerjaannya.
Marie hanya mengangguk mengiyakan jika Arman meminta yang menurutnya terlalu aneh. Menyuruhnya untuk tidak terlalu lelah. Atau untuk tidur lebih awal. Itu membuatnya malah tidak nyaman.
Menghabiskan setiap hari dengan tindakan aneh Arman yang seperti memperlaku dirinya bak putri. Dan Arman hanya budaknya. Arman terlihat sangat kesepian membuat Marie masih mau untuk tinggal bersamanya.
Arman terus-terusan mengganggunya saat Marie mencuci. Lagi-lagi, nanti jika Marie lelah semuanya akan membuat Arman khawatir.
“Sudahlah. Kau istirahat saja Marie. Aku takut kandunganmu kenapa-napa.” Arman mencoba meraih tangan Marie. Namun Marie lebih dulu mundur keheranan.
“Kau yang harusnya berhenti. Aku tidak hamil. Aku ini bukan Marie wanitamu. Aku Marinto, Man. Gila saja kau. Aku laki-laki.”
THE END
oleh : Fitri Indriana