arti sebuah mimpi
Cerpen

Arti Sebuah Mimpi

Karya: Shinta Nuriyah

Pagi itu terdengar suara omelan Ibu yang mengganggu tidurku. Ritual itu sudah terbiasa dilakukan olehnya, ia seperti alarm saat pagi hari yang bertugas membangunkan seisi rumah. Seketika ia berteriak.

“Altaa…Witaaa… bangun! Sudah siang, katanya hari ini kalian berangkat kuliah. Ayo bangun!.” Teriak Ibu sambil menggedor pintu kamar. Membangunkan telah ia lakukan, waktunya ia merehatkan badannya yang lesuh disebabkan oleh pekerjaannya tadi malam sampai lupa waktu.

Mendengar teriakan Ibu, aku dan kakakku, Wita, segera beranjak dari kasur untuk mandi. Ternyata benar jam sudah menunjukkan pukul 07.00 sedangkan kuliah masuk pukul 07.50. Sebelum bangun tadi, aku bermimpi bahwa saat itu aku tengah buru-buru untuk berangkat kuliah diantarkan oleh ibuku, saat itu aku berangkat sekitar lima menit sebelum jam kuliah mulai. Setelah selesai mandi, kita berdua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku sibuk mencari outfit yang akan dipakai untuk pergi kuliah, kakakku sibuk dengan makeupnya, aku sudah selesai memakai baju dengan rapih dengan warna yang begitu segar. Wita belum juga selesai dengan makeupnya, ia masih saja memoles wajahnya dengan sangat berhati-hati agar tidak belepotan.

“Dari tadi belum selesai juga lu?!” Seruku sambil menyingkirkan badan Wita yang sedang berdiri tegak di depan cermin.

“Apaan sih lu, gua belum selesai! Minggir dulu! Bentar lagi gua kelar.” Sahutnya dengan sibuk membenarkan lipstik yang tadi ia poleskan di bibirnya.

Dengan perasaan kesal, aku mengalah dan memilih tidak memoles wajah dengan makeup karena aku tahu jika aku memikirkan wajahku, kita berdua akan telat masuk kuliah. Oiyah, perkenalkan namaku Alta, aku adalah cewek yang kurang suka dengan makeup, seringkali aku pergi kuliah tanpa makeup karena melakukan hal itu akan menyita waktu bagiku yang suka melakukan segala sesuatu dengan waktu yang mepet. Aku mahasiswi semester dua yang masih gencarnya mendapatkan suguhan tugas kuliah yang membludak, aku juga mengikuti salah satu organisasi dari kampus. Kesibukanku saat ini berkuliah dan menjalankan tugas organisasi yang aku ikuti.

Ibu sedang tertidur pulas karena tadi malam ia mengurus pekerjaannya hingga larut malam. Akhirnya terbangun dari tidurnya  mendengar kami ribut. Ia terlihat khawatir melihat kami berdua yang dari tadi sibuk dan ikut membantu  mengeluarkan motor ke teras rumah dengan wajah yang  tampak begitu lelah, matanya seperti menahan kantuk. Ibu merupakan sosok yang sangat peduli dengan sekitarnya, ia memiliki kepekaan yang luar biasa sehingga ia tahu apa yang dibutuhkan oleh kita berdua saat kesusahan menyiapkan semuanya. jarak kampus sekitar 40 menit dari rumah.

Aku bergegas mengambil helm lalu keluar untuk segera berangkat sambil menunggu Wita yang sedang sibuk dengan makeupnya.

“Woooyy, cepetan!. Gua tinggal lu yak, dah siang nih.” Teriakku memanggil Wita.
“Tunggu bentar…gua mau pake kacamata.” Sahutnya.

Setelah sekian lama menunggu Wita akhirnya ia keluar lari terbirit-birit mengibaskan roknya yang mekar, angin mengibarkan kerudungnya yang panjang, dan wangi yang masuk ke hidung membuatku risih.

“Buset dah wangi bener.” Ucapku sedikit mengejek.
“Jan banyak omong, lu! Cepet berangkat!.” Sahutnya dengan nada kesal.

Seperti biasa sebelum berangkat kita berpamitan pada kedua orang tua agar diberi keselamatan di manapun kita berada atas izin mereka. Waktu itu aku yang mengendalikan sepeda motor, waktu terus berjalan dengan cepat, dengan kecepatan diatas rata-rata aku mengandalkan kecepatan itu agar cepat sampai di kampus. Jalan yang halus hingga terjal ku terjang tak kuhiraukan, pandaganku saat berkendara tidak fokus. Mataku terus melirik detik jarum jam tangan keemasan yang kupakai di tangan kiriku, hingga menemui jembatan yang terbilang cukup tinggipun tanganku tetap memores setang hingga kecepatan 80 km/jam tanpa mencubit rem sedikitpun.

“Altaaa awaaasss, remmmmmmmm!!.” Teriak Wita cemas

Saat itu aku tidak sadar bahwa disana terdapat jembatan tinggi yang jika kita menambah kecepatan tanpa meng-rem badan kita akan terpental masuk kedalam jurang. Beruntung kita masih diberi keselamatan. Padahal kita sudah terbiasa melewati jembatan tersebut, tetapi karena yang ada dipikiranku hanya aku tidak boleh telat masuk kelas hingga aku lupa pentingnya keselamatan. Mendengar teriakan Wita, aku sangat kaget dan tanganku berusaha meraih rem yang ada di tangan kananku. Sontak kita berdua melontarkan kalimat istigfar lalu mengucap syukur masih diberi hidup.

Perjalanan dari jembatan maut itu masih sangat jauh, kita harus melewati terowongan jembatan yang gelap, menyusuri sawah yang mulai menguning, menerjang angin, dan melewati tikungan tajam. Karena jalan yang kita lewati merupakan jalur dalam bukan pantura. Otomatis jalan tersebut seukuran truk pembawa pasir yang jika kita hendak salip menyalip hanya bisa dilakukan oleh pengendara motor dengan motor saja. Ketika itu ada dua truk yang melewati jalan yang sama denganku, jalan ramai dipenuhi oleh pelajar yang hendak pergi ke sekolah. Mereka saling menyalip diantara yang lain tanpa memperdulikan sekitarnya. Dengan itu aku dan Wita yang terjebak diantara waktu dan ramainya jalan tidak bisa berkutik dan berpasrah semoga ada keajaiban datang, entah itu dosen masuk telat atau diberi kesempatan untuk dapat mengikuti pembelajaran.

Tiga puluh menit melewati segala rintangan yang sangat menegangkan. Sampailah kita di jalan raya menuju kampus, satu menit dari jalan penghubung desa dengan jalan raya atau pantura terdapat lampu merah yang berdekatan dengan pasar tradisional. Terbayang aktivitas masyarakat itu memadati jalan raya. Kita yang sedang terburu-buru terus dikejar waktu, sangat senang melihat lampu rambu lalu lintas yang semula berwarna merah berubah menjadi hijau. Aku langsung menambah kecepatan dan menyalip orang-orang dengan ceroboh, walaupun sudah sekencang kilat tetapi tetap saja, lampu rambu segera berubah warna menjadi kuning yang bertanda hati-hati karena lampu akan segera berubah menjadi warna merah yang bertanda kita harus berhenti. Lampu kuning masih menyala, kakakku, Wita menjetrit dan menepuk pundakku berkali-kali sembari mengatakan.

“Ayo cepet jalan, bentar lagi lampu berubah jadi merah!.”

Aku sekencang mungkin menacapkan gas agar tidak terjebak lampu merah, jika terjebak tentu kita akan terlambat. Dan tak lama setelah kita lewat lampu berubah menjadi merah, kita berdua pun merasa sedikit lebih lega. Perjalanan masih berlanjut, setelah melewati selama enam menit akhirnya kita sampai di kampus. Aku dan Wita langsung berpencar ke kelas masing-masing. Walaupun aku telat sepuluh menit, untungnya dosen masih memaklumi keterlambatanku.

Pembelajaran sudah selesai, Wita keluar dari kelas lebih dulu sedangkan aku masih menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan dosen pada saat itu juga.

WhatsAppku di penuhi chat dari Wita yang sudah lama menungguku keluar kelas, ia menunggu sekitar sembilan menit hinga aku keluar kelas wajahnya tampak muram yang dari tadi menungguku. Wita adalah anak pertama dari tiga bersaudara, ia mahasiswi semester tua yang masih sibuk menyiapkan skripsinya. Dia memiliki sifat cepat bosan dan mudah marah, ia sama denganku yang apabila hendak melakukan sesuatu waktunya harus mepet dulu baru dikerjakan.

“Yok buruan pulang! Udah lama gua nunggu lu disini sampe karatan.” Ucap Wita melempar tatapan sinis ke arahku.

Aku dan Wita pun beranjak pergi meninggalkan halaman kampus. Matahari mulai ke barat untuk menyembunyikan dirinya, aku dan Wita memilih untuk langsung pulang ke rumah. Di jalan yang terjal dan ramai itu terlihat dua orang laki-laki berumur sekitar 40 tahun berboncengan menggunakan motor non matic berwarna biru tepat di sampingku, kebetulan waktu itu giliran Wita yang  mengendalikan motornya. Mereka terus mengikuti kita, hatiku merasa tidak aman di dekatnya. Mereka tampak memperhatikan laptop yang sejak tadi berada di tengah-tengah aku dan kita duduk. Dengan cemas aku memberi bisikan pada telinganya yang sedang tertutup dengan helm kesayangannya.

“Wit… orang di belakang kita mencuigakan dan dari tadi ngeliatin laptop ini terus.” Ujarku sembari menahan takut.

“lu ngomong apa woy! Gua kagak denger.” Sahutnya sambil membelakangkan kepalanya.
“Itu orang di belakang kita mencurigakan gasih? Dari tadi perhatiin laptop ini.”

Mendengar omongan tersebut, Wita langsung menambah kecepatan hampir dua kali lipat kecepatan biasanya, tetapi mereka para lelaki yang dari tadi mengikuti kita tetap mengejar kita. Kami pun seperti kucing dan tikus yang sedang merebutkan makanan. Dua laki-laki tersebut salah satunya berkata dengan mata melotot, wajahnya berubah menjadi garang. Hal ini membuat kami sangat ketakutan. Tetapi kami berusaha untuk tenang dan tidak menghiraukannya. Mereka tetap mengejar kita dengan perasaan yang marah karena kita tidak menghiraukan kata-kata mereka.

“Woy, serahkan laptopmu itu!!” Teriaknya.

Jalan yang terjal membuat  Wita kebingungan, saking banyaknya lubang jalan yang menghadang kita hampir tidak bisa memilih jalan yang halus sedikitpun tak kami dapatkan . Wita yang sedang dilanda kebingungan, ia memilih menerjang lubang-lubang yang tersaji di depan agar kita dapat meloloskan diri dari kejaran laki-laki tersebut. Keramaian jalan jug menambah kerisauan yang terlukis di wajah Wita.

“Ini gimana al, kita gak bisa milih jalan dan di sini juga macet banget. Apa laki-laki itu udah gak ngejar kita?.” Ucapnya dengan khawatir.
“gapapa jangan panik, kita lewat sebelah mobil itu aja disana ada sedikit cela.” Jawabku dengan sedikit tenang.

Setelah bersusah payah melewati beberapa mobil akhirnya kita sampai di cela mobil tersebut dan berhasil melewatinya dengan sangat berhati-hati agar motor kita tak menyenggol spion. Sejak tadi aku selalu memperhatikan ke belakang untuk memastikan laki-laki itu tidak mengejar kita. Jalur yang biasa kita lewati menuju rumah sudah di depan mata. Aku terus menengok kebelakang dan terus memastikan mereka berhenti mengikuti kita. Setelah berhasil melewati keramaian, kita berbelok di jalur pulang. Tampaknya mereka, laki-laki yang dari tadi mengejarku dan kakakku ini tiba-tiba hilang tertutup mobil-mobi dan kendaraan lain sehingga tidak bisa mengejar kita kembali. Aku dan Wita segera berseru mengucap syukur karena Allah telah menyelamatkan kami dari kejaran penjahat itu.

Hari itu adalah hari yang sangat menegangkan bagi kami. Melewati berbagai macam rintangan yang sebelumnya tak pernah kami bayangkan. Dari kejadian ini bahwa dimanapun dan kapanpun kita harus waspada dengan keadaan sekitar. Semua orang terlihat baik tapi belum tentu kebaikannya itu tulus. Tidak ada salahnya kita menanamkan waspada pada diri kita agar terhindar dari kejahatan. Jangan mudah percaya dengan orang lain, terkadang orang dapat dengan mudah mencelakai kita secara diam-diam atau bahkan secara terang-terangan.

-TAMAT-

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.