Aku Dengannya, Yang Tak Terlihat
Karya : Dwi Risqiani
Namanku Aleta, sejak kecil aku tinggal bersama orang tua yang sangat protektif kepadaku, akupun mempuanyai saudara perempuan yang bernama Alana, umur kita hanya selisih 3 tahun. Sejak kecil di lingkungan tempat kita tinggal jarang ditemui anak sebaya denganku. Setiap hari banyak hal konyol yang aku dan Kak Alana lakukan, seperti tempo kita ditinggal orang tua untuk bertugas keluar kota, lalu aku hanya bersama Kakaku di rumah dan ditemani pengasuh yang biasa kita panggil Mba Minuk. Mba Minuk, pengasuh sejak aku berusia 1 bulan, namun sekarang saat usiaku beranjak 5 tahun Mba Minuk ditugaskan pula oleh orang tuaku untuk menjaga Kakaku yang saat itu sudah menduduki bangku sekolah dasar.
Hari itupun bermula, saat Mba Minuk sedang akan pergi ke warung, aku dan Kakaku berpura-pura tidur agar kepergian Mba Minuk kewarung lancar tanpa kekhawatiran meninggalkan kita. Saat Mba Minuk pergi, kita mencoba untuk keluar dari rumah namun karena pintu rumah terkunci akhirnya kita berdua melewati jendela.
“Dek, cepetan jangan lelet jalanya, lari aja buruan!”.
“Hiyakkk bentar, eh kak ke sawah yuk! Kayaknya sawah padinya udah dipanen deh, kan biasanya kalo setelah panen banyak buah buahan tumbuh”.
Tempat kita tinggal memanglah berdekatan dengan sawah dan yang terjadi seperti itu, jika sawah panen pasti banyak sekali buah-buahan tumbuh karena jika hari panen tiba, sawah menjadi kering dan sering menjadi tempat bab warga sekitar pada zamanya. Hal itulah yang katanya menjadikan tanah subur. Namun entah dari mana buah-buahan itu tumbuh kita tak tahu.
“Ke kali aja cari telur keong nanti dibawa pulang, udah sekarang kamu cari plastik gih”.
“Ngapain cari telur keong di rumah kan ada telur ayam?”
“Banyak tanya, udah cepatan cari plastik nanti keburu kita ketahuan Mba Minuk”.
Di saat aku sedang mencari plastik yang akan dijadikan wadah barang hasil temuan kita hari itu, aku bertemu anak lelaki sebaya denganku di kebun yang ada didekat sungai itu.
“Hai, nama kamu siapa, mau enggk jadi teman aku?”.
“Namaku Aleta, bolehhhh dong.. eh kamu ngapain di sini? terus kamu sama siapa?”.
Sempat bingung dari mana anak itu muncul, tapi yasudahlah aku melanjutkan obrolan singkat itu bersamanya.
“Iya, aku memang suka main di tempat ini, aku sendiri tapi aku seneng deh akhirnya punya teman dan bisa bertemu kamu sekarang, nanti kita sering-sering main bareng ya!”.
Saat pembicaraanku dan teman baruku berlangsung, Kak Alana terus memanggilku untuk segera menghampirinya dan membawakan plastik yang sedari tadi dia tugaskan untuk aku carikan. Namun plastik itu tak kunjung aku dapatkan karena setiap plastik yang ku temui pasti rusak dan tak memungkinkan untuk dipakai.
“ Kamu cari ini? ni ambil saja”.
Dia yang bisa dibilang teman baruku ini tiba-tiba memegang barang yang sedari tadi aku cari, apalagi kalau bukan plastik? kemudian dia langsung menyodorkan dan memberikan plastik itu padaku.
“Plastikkkkk akhirnya dapet juga, eh tapi kok kamu tau aku lagi cari ini?”.
“Tau dong pastinya”.
“ Tapi ini makasii ya, eh iya nama kamu siapa?”.
“ Aletaaaaaaaaaaa”.
teriakan Kakak yang memanggilku dari kejauhan dan mencoba menghampiriku saat itu.
“ Eh nama kamu siapa nanti aku kenalin juga ya kamu sama Kakak aku”.
Entah kenapa dia, si teman baruku ini tak ingin menyebutkan namanya. Lalu saat Kakaku menghampiri, dia tiba-tiba lari begitu saja entah kemana tanpa aku tahu alasanya.
“Kamu lama banget ngapain aja si buruan nanti dicari Mba Minuk, itu di sana Kakak udah ketemu telur keongnya”.
Kak Alana yang menghampiriku dengan raut wajah kesal karena lama menungguku.
“Yaa cari plastik kak ini baru ketemu jangan ngomel mulu untung juga aku ditolongin teman aku tadi”.
Saat aku ingin menjelaskan apa yang terjadi, namun Kakaku tidak menghiraukan pembicaraanku dan bergegas menuju sungai tempat dimana kita mengeksplor diri. Kami disungai tidak hanya mengambil telur keong namun kita juga mencari kecebong dan ikan untuk kita bawa pulang. Akhirnya keberadaan kita ditemukan oleh Mba Minuk yang terlihat seperti kelabakan dan tanpa sadar ia memakai sendal hanya sebelah saja dengan barang belanjaan yang masih ia pegang.
“Yaampunnn Alanaa Aletaa, kalian bikin Mba Minuk panik setengah mati, jangan begitu nak. Mba takut kalian hilang nah kalau kalian hilang Mba Minuk bingung mau ganti kalian pakai apa, ditoko juga ngk ada yang jual bentukan kayak kalian gini jadi lain kali jangan begitu lagi ya”. Dengan nada ngos ngosan Mba Minuk mencoba mengatur nafas untuk tetap berbicara agar dapat tersampaikan dengan baik oleh aku dan Kakaku.
Sesampainya di rumah, aku dan Kakaku melanjutkan aktifitas di hari itu, namun aku masih saja memikirkan anak lelaki yang menghampiriku dan mengingat ingat wajah anak tersebut. Namun rasa bertanyaku tetap bergejolak karena baru kali ini aku melihat anak tetangga yang seperti dia, antara aku yang memang jarang keluar rumah atau memang dia warga baru yang tinggal disini. Namun dibalik itu aku sangat senang sekali mendapati teman sebaya yang berada di area tempat tinggalku, karena nantinya aku akan bermain hinga puas denganya tanpa menunggu Kak Alana pulang atau libur sekolah.
Hari haripun berjalan seperti biasanya penuh dengan segudang kebosanan yang menyelimuti rumah, terlebih kedua orang tuaku yang kini telah pulang dari tugasnya sehingga aku tak bisa merasakan kebebasan yang aku rasakan sebelumnya.
“Sayang Ibu punya hadiah buat kamu, sini nak lihat”.
Terlihat kardus besar yang terpampang didepanku lalu aku berusaha membukanya dann jeng jeng jengggg.
“Sepedaaaaaaaaa, Ibu makasi banyak”.
Bahagia bukan maen tak perlu ditanya lagi. Karena kebetulan teras rumahku yang lumayan luas dan terdapat pohon mangga besar disitulah tempat aku memulai untuk belajar bersepeda walau hanya memutari pohon berulang kali.
“ Wah ini sepeda baru kamu ya”.
Dia anak lelaki yang waktu itu aku jumpai sekarang tiba-tiba berada di teras rumahku. Ya, memang aneh namun aku merasa senang karena ada teman untuk bermain disaat itu.
“Eh kamu kok tiba-tiba ada disini?”.
Jawabku dengan melihat sekitar, dari mana datangnya anak ini.
“Iya, aku boleh ikutan main?”.
Dengan raut wajah dan nada bicaranya yang datar menjadikanku sedikit bingung olehnya.
“Oh iya boleh kok”.
Tanpa pikir panjang, kemudian kita bermain bersama sepanjang waktu dan dihari-hari berikutnya. Banyak hal yang kita lakukan bersama. seperti bermain sepeda, walaupun dia hanya mengikuti dan berlari dibelakangku saat aku mengayuh sepeda. Kita juga banyak melakukan hal-hal lain bersama seperti manjat pohon, main petak umpet, kejar kejaran dan masih banyak lagi yang kita lakukan seperti umumnya anak seusia kami.
“ Kamu mau berjanji nggak sama aku?”.
Ucapnya saat kita sedang duduk bersender di pohon mangga.
“Berjanji untuk apa?”.
“Berjanji kalau kamu akan tetap menjadi temanku dan merahasiakan pertemanan kita terhadap siapapun”.
Tanpa pikir panjang aku hanya meresponnya dengan anggukan karena banyak sekali hal aneh yang dia lakukan seperti perihal nama, setiap aku bertanya kepadanya dia tak mau menjawabnya dan akhirnya sikap aneh dan mencurigakan itu menjadi hal biasa untuku.
Hingga akhirnya kejadian itu bermula, kebetulan orang rumah dihari itu sedang menjalankan aktifitasya masing masing seperti Kakaku yang pergi bersekolah beserta Mba Minuk yang mengantarkanya. Kemudian disusul kedua orang tuaku yang hari itu benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanya karena ada hal penting yang harus mereka atasi.
Aku hanya sendiri dirumah dengan syarat yang diperintahkan kedua orang tuaku agar aku tetap tinggal dirumah dan tidak boleh pergi sampai Kak Alana dan Mba minuk pulang dari sekolah. Aku hanya mengiyakan perintah itu, namun karena lama menunggu kepulangan Mba Minuk dan Kak Alana dari sekolah akhirnya rasa bosan terus menyelimuti walaupun sudah berusaha ku alihkan seperti menonton tv atau hal lain semacamnya namun tetap saja itu membuat rasa bosan yang memuncak hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar rumah dan bermain sepeda diteras rumah.
“Aleta”.
Suara panggilan itu tak asing dan benar saja itu dia, entah dari mana datangnya akupun tak tahu. Dia temanku satu satunya dan sampai saat itu aku tak tahu siapa namanya.
“Eh kamu, yuk sini main sepeda bareng tapi kamu tunggu disini dulu ya”.
Tanpa mendengarkan jawabannya terlebih dahulu, aku terus melajukan sepedaku dengan kencang dan dengan tiba-tiba dia berada didepanku persis, karena laju sepedaku kencang akhirnya tanpa senjaga aku menabraknya sampai dia terjatuh. Dia hanya menangis tanpa sepatah katapun dan tiba-tiba lari meninggalkanku.
Waktu yang bersamaan, pulanglah Kak Alana beserta Mba Minuk lalu kemudian aku masuk untuk melanjutkan aktifitas bermainku di rumah. Pada malam hari itu kaki ku terasa sakit sampai susah untuk sekedar digerakan dan pada akhirnya kelumpuhan terjadi padaku selama kurang lebih 1 bulan. Kejadian tersebut sangat membuat kedua orang tuaku terpukul karena semua hasil periksaan dari Dokter mengatakan tak ada penyakit yang menyebabkan aku mengalami kelumpuhan tersebut dan dari beberapa hasil rotgen pun tak ada tanda kerusakan tulang dikakiku. Semua hal medis sudah orang tuaku lakukan tapi tak ada hasil apapun.
“Ibuu usir orang itu, sakittttt bu kaki Aleta”.
Ya, hanya itu kata-kata yang setiap malam aku ucapkan. Orang tuaku hanya mencoba memahami setiap apa yang terlontar dari mulutku, hal tersebut terjadi sampai hari-hari berikutnya. Hingga akhirnya orang tuaku memutuskan membawaku ke sesepuh kampung yang dapat mengetahui hal yang terjadi diluar medis.
Semuanya terungkap bahwa anak lelaki yang selama ini aku anggap teman adalah dia yang berbeda denganku, baik berbeda keadaan maupun berbeda alam. Selama ini hanya aku yang dapat melihat dan berkomunikasi denganya. Setiap malam diwaktu kelumpuhanku hanyalah rasa sakit dari cambukan di kakiku yang dilakukan seorang lelaki bertubuh besar dengan raut wajah menyeramkan yang tak terima anaknya disakiti olehku.
Tersakiti disini adalah kejadian saat aku dan teman satu satunya yg aku kenal sedang bermain dan tak sengaja aku menabraknya hingga akhirnya dia mengadu kepada orang tuanya dan mereka tak terima anaknya diperlakukan tidak baik olehku. Akhirnya mereka berbalas dendam kepadaku dengan penyiksaan yang hanya terlihat olehku.
“Kita berangkat sekarang ya”.
Ayahku memutuskan untuk sekeluarga pindah rumah demi kesembuhanku. Setelah kepindahan kita hal-hal anehpun tak terjadi lagi hingga akhirnya aku sembuh dari kelumpuhanku dan dapat berjalan seperti orang pada umumnya hingga sampai saat ini.