Cerpen

Musim Mimpi

Oleh: Lia Afiana

Kriiingg…. Ctak!

“Sial!” sudah kesekian kalinya gadis berwajah pucat itu dibangunkan oleh rasa sakit tertimpa alarm. Pagi harinya selalu di awali dengan rasa sakit yang membuat awal harinya penuh aduan. Matahari pagi ini bersembunyi di balik tirai mega, dengan sisa hujan tadi malam menari dan berjatuhan perlahan dari muka daun dan tubuh ranting. Musim hujan yang melelahkan bagi Sunyi, gadis dengan rambut panjang dan wajah pucat bermata sayu. Baginya, hujan memendam sejuta misteri dibaliknya, dinginnya, suara konstannya, gemuruh, dan petir seolah menyimpan misterinya masing-masing. Sunyi tau saat musim hujan tiba hidupnya kelabu, bukan karena tanpa warna, tapi karena banyak mata-mata yang selalu mengikutinya kemanapun dia berada. Suara yang tak ingin ia dengar, dan wajah-wajah yang tak ingin ia lihat malah dengan senang hati menampakkan eksistensinya. Seperti pagi ini, jam sudah menujukkan pukul tujuh, artinya dia terlambat sekolah, tapi cuaca masih remang. Matanya sempat mengerjap, saat tak sengaja menangkap sesosok Pria Tua Jangkung di luar jendela kamarnya. Ia terbangun menghembuskan napas gusar mengusap wajahnya dan tanpa memedulikan sosok tersebut ia beranjak mandi. Ah sepertinya ia tak sempat, jadi Sunyi hanya akan membasahi wajahnya dengan air dan menghilangkan aroma tidur dari mulutnya.

“Masa bodo dengan Bu Hiena, aku tak suka lama-lama memandang wajahnya saat pelajaran. Syukurlah terlambatku kali ini ada gunanya.” gumam Sunyi yang kini sudah berdiri di depan halte bus.

“Tapi kenapa halte ini terlihat sepi, tidak biasanya jam segini sudah lengang.” gumam Sunyi yang merasa aneh, halte yang seharusnya penuh dengan karyawan, ibu rumah tangga, dan anak-anak sekolah yang bernasib sama dengannya terlihat berbeda.

Lama ia menunggu bus, Sunyi sudah mulai tidak tahan dengan perasaan janggal yang ia rasakan. Ia memutuskan untuk bolos sekalian daripada lama menunggu bus, lagipula Sunyi memang malas berangkat sekolah. Namun belum sempat beranjak dari duduk, langit gelap menghitam, hujan turun dengan angin kencang menerpa tubuhnya. Sebagian seragam yang dikenakannya basah terkena hujan yang dibawa angin. Dari arah kanan halte bus, Sunyi melihat sosok Pria Tua yang sempat ia lihat di luar jendela kamarnya tadi. Namun gadis itu mencoba tenang, karena ia sudah biasa melihat atau mendengar hal serupa saat musim hujan tiba. Saat gadis berwajah pucat itu mencoba untuk tenang, ia justru dikejutkan dengan sesuatu.

“Astaga! Pria tua itu berjalan! Dan apa itu?” ucap Sunyi bertanya pada dirinya sendiri.

“Ya Tuhan! Pria tua gila, bagaimana mungkin dia mendekatiku dan membawa gergaji mesin seperti itu?” ucap sunyi pada dirinya sendiri yang masih kalap.

Ia seperti melihat ajalnya perlahan mendekati, Pria Tua Jangkung dengan pakaian serba hitan itu, berjalan mendekatinya dengan gergaji mesin di tangan kanannya. Sunyi menatap rantai gergaji mesin yang bergerak itu. Pria Tua Jangkung itu semakin dekat, suara gergaji mesin juga semakin keras terdengar.

“Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan! Kuharap bus segera datang membawaku pergi dari lubang kematian ini, laripun aku tak sanggup jauh sekali halte bus sampai ke rumah.” Ia mengutuk halte yang berada di tengah hutan kota, berjarak lima ratus meter dari pemukiman.

Sekeliling halte hanya ada pepohonan rindang yang sengaja dibuat untuk menjadi tameng banjir. Tubuhnya mulai gemetar, tinggal lima belas langkah lagi gergaji itu sampai pada lehernya, terlihat jelas Pria Tua Jangkung itu tersenyum lebar melihat wajah gadis di depannya yang semakin pucat. Sunyi terus berharap sebuah bus berhenti tepat di depannya, ia berdoa dan menutup matanya rapat, kedua tangannya mengepal erat. “Tuhan, kumohon tolong aku!” Ajaib! Sebuah suara mesin kendaraan terdengar mendekat. Sunyi membuka matanya, ia menghela napas dengan payah sekaligus lega. Sebuah bus telah berhenti di depannya, ia sempat melihat Pria Tua Jangkung tadi, tapi justru terkejut.

“Kemana Pria Tua itu pergi? Apa ia tidak jadi membunuhku?” sekarang itu tidak penting, Sunyi hanya peduli bahwa ia harus segera pergi dari tempat itu.

Gadis itu berjalan memasuki bus kuning di depannya dan segera mendudukkan diri di kursi paling belakang. Namun, masalah tidak berhenti sampai di situ saja. Saat sudah berada di dalam bus, ia merasa orang-orang yang berada di sekitarnya hanya diam tanpa berbicara atau sekadar memainkan ponsel mereka. Mereka bahkan hanya menatap kosong kedepan tidak peduli sekitar, dan … wajah mereka terlihat pucat. Sunyi berusaha menghempaskan pikiran buruknya. Ia memilih tidur sebentar, setelah tadi sempat ketakutan hebat yang membuatnya lelah. Toh butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke sekolahnya.

Sayup-sayup mata itu terbuka. sunyi merasa dibangunkan oleh sesuatu yang bising, semakin sadar ia dari tidur semakin nyaring suara itu. Genap kedua matanya terbuka, gadis itu menjerit histeris. “Aaaa!!! Ya Tuhan, apa yang kau mau dariku Pak Tua?!” Pria Tua Jangkung itu, bagaimana ia bisa berada dalam bus yang sama dengannya setelah ia sempat menghilang tadi? Sunyi menatap sekitar bus yang mendadak kosong tanpa penumpang, hanya menyisakan ia dan pria tua jangkung membawa gergaji mesin. Ia melihat sopir di depan. Ia sadar, sopir bus adalah Pria Tua Jangkung ini, dan seluruh penumpang tadi? Sudah pasti bukan manusia! Pria tua Jangkung itu mengeluarkan tawa kerasnya matanya melotot ke arah Sunyi, seolah puas bisa berada sedekat ini di depan mangsanya. Ia mengayunkan gergaji dengan kedua tanganya kearah Sunyi. Gadis itu hanya pasrah dan berteriak memejamkan mata, ia mencengkeram keras kursi bus.

Semua menghitam, tanpa warna. “Sunyi, Sunyi, Sunyi. Nak bangun! Kau terlambat lagi.” Gadis itu membuka matanya napasnya menderu kencang jantungnya berdegup tidak karuan, peluh menetes di mana-mana. Ia melihat ibunya membangunkan di samping ranjang. Sunyi menatap sekitar sudah musim panas, matahari menyembur wajahnya lewat jendela yang terbuka.

“Astaga! Kau ini sudah ibu bilang jangan terlalu lama menonton acara horror, kau jadi semakin penakut dan malas seperti ini. Cepat mandi dan ganti bajumu!” kepergian sang Ibu menyisakan lega dan syukur pada Sunyi. Ia beranjak bangun dan mulai mengutuk diri sendiri yang terlalu banyak menonton horror.

“Sudah cukup aku bertemu dan mendengar hantu-hantu gila di dunia ini. Jangan sampai aku harus bertemu pria tua gila seperti mimpiku tadi.”

Selesai mandi gadis itu baru sadar, dalam mimpinya ia juga terlambat sekolah, bagaimana kalau saat menunggu di halte ia kembali bertemu pria tua aneh tadi? Ah, tidak mungkin, toh sekarang sudah musim panas, batin gadis pucat itu sambil berlalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.