Cerpen

Ruang Syukur dalam Semesta

Karya : Nazira Laela Nasta

Fajar sudah berkumandang sejak 5 menit yang lalu, saat udara dingin merasuk ke dalam tulang-tulangku, menghempaskan segala mimpiku, aku memilih untuk mengakhiri tidurku sebab suara panggilan dari Tuhan mengharuskanku untuk terbiasa bangun mandiri meski aku seorang diri. Aku melepas selimutku yang selembut sutra ini, kemudian aku lipat menjadi potongan seperti sekotak roti. Kemudian dengan sesegera mungkin aku beranjak ke belakang mengambil air wudhu untuk menunaikan ibadah Shalat Subuh pagi ini.

Semesta menciptakan aku dalam sebuah takdir yang sangat baik, setidaknya walaupun Ramadan kali ini aku berada di kota orang sendirian, namun hal ini tidak menyurutkan semangatku untuk melanjutkan hidup ditengah abad yang gemerlapan ini.

“Nak Sekar!” panggilnya padaku saat aku sedang berjalan seorang diri.

Aku sesegera mungkin untuk mencari sumber suara tersebut, saat ku lihat dari jauh dengan cahaya fajar ini yang sedikit remang-remang, kiranya masih terlihat jelas siapa seseorang yang memanggil ku itu.

“Eh bapak,” aku tersenyum padanya.

“Mau jama’ahan ya?,” tanya Pak Sukardi padaku.  Pak Sukardi merupakan tetangga kos ku, meski hidupnya bisa dikatakan sangat pas-pasan akan tetapi dia begitu sangat baik padaku, Pak Sukardi hanya seorang pedagang sayur keliling di sekitar kota tua ini. Namun, sifat dan perilakunya begitu sangat dermawan, bahkan aku sudah menganggapnya seperti bapakku di sini, sudah sejak 3 tahun yang lalu aku mengenalnya, dimana di hari itu aku berkelana dari desa kecil ku menuju Kota Tua ini untuk mencari pekerjaan. Ibuku dikampung sudah meninggal sejak aku duduk dibangku kelas 10 SMA, lantas 1 tahun kemudian ayahku pun ikut menyusul ibu pulang ke sisi Allah SWT.

Terlahir menjadi anak tunggal menjadikanku tidak memiliki adik maupun kakak kandung, selama ini aku hanya menyambung hidupku dengan bantuan dari bibi dan pamanku di desa. Namun Setelah lulus SMA aku merasa aku harus bisa mandiri bagaimana pun caranya aku tidak ingin merepotkan saudara ibu bapakku di desa, akhirnya dengan sedikit keberanian, aku memutuskan untuk merantau ke Kota Tua ini, berharap ada yang mau menampungku kerja meski aku hanya sekedar lulusan SMA.

Hari-hariku Nampak baik dan mulai berjalan dengan baik di kota tua ini, meski awalnya aku tak merasakan demikian sebab begitu banyak sekali cobaan yang kulalui, hingga tiba dimalam itu saat aku sedang berkelana mencari kos-kosan di kota tua ini, tanpa disengaja takdir mempertemukanku dengan Pak Sukardi yang dengan baiknya mau menolongku mencari kosan malam itu, dan di sinilah aku sekarang disebuah kosan yang sudah 3 tahun terakhir ini aku tinggali.

“Bagaimana nak Sekar sudah siap menyambut bulan suci Ramadan belum?” tanya Pak Sukardi padaku saat kami berjalan pulang dari masjid setelah melaksanakan sholat subuh.

“Bismillah InsyaAllah siap pak.” Aku tersenyum sumringah.

“Alhamdulillah kalau begitu, semisal nanti nak Sekar butuh apa-apa, ke rumah saja tidak apa-apa di sana juga ada bu Sarti sama Gendis, barangkali nak Sekar mau bantuin masak, atau mau main sama Gendis juga ndak papa, ndak usah sungkan ya.” Tawarnya padaku.

“Iya pak tenang saja, pasti nanti Sekar main kok.”

Bulan suci Ramadan sudah tiba, malam ini adalah malam dimana aku melaksanakan Shalat Tarawih berjama’ah di masjid dekat kosan ku. Setidaknya walaupun aku sebatang kara di sini akan tetapi aku tidak merasa demikian sebab keluarga pak Sukardi memang benar-benar menyambutku, aku merasa seperti terlahir kembali memiliki seorang bapak, seorang ibu, dan seorang adik.

“Mbak Sekar besok ngabuburit yuk.” Ajak Gendis padaku.

“Mau ngabuburit kemana emangnya Ndis?” Tanyaku.

“Kemana aja boleh deh mbak, ke taman juga boleh, terserah mbak Sekar aja deh, Gendis ngikut aja pokoknya.” Ucap Gendis sambil merangkul tanganku.

Tibalah sore ini di mana aku harus menuruti keinginan Gendis yang masih duduk dibangku SMA itu. Aku dan Gendis berjalan-jalan sore sambil menikmati udara yang sebenarnya sudah tidak sesejuk fajar, namanya juga kota metropolitan sudah sangat biasa jika udaranya sudah tercampur polusi. Saat kami sedang asik menikmati jalanan di samping taman, tiba-tiba saja tanpa disengaja mataku menangkap seseorang dikursi roda yang sedang menjajakn takjil disore menjelang magrib ini.

“Gendis beli takjil yuk.” Ajakku pada Gendis

“Wah mbak sekar mau traktir Gendis nih?’

“Iya deh iya, yuk ah.” Dengan sesegera mungkin aku menarik tangan Gendis untuk berjalan mengikutiku.

Ku perhatikan seseoarang ini dengan mata telanjangku, aku amati lekat-lekat, ia menjual berbagai macam takjil seperti kolak, jajanan pasar yang manis-manis, dan es cincau. Namun bukan hal itu yang membuat ku tertarik ke sini, akan tetapi keadaan bapak tersebut yang sudah sepuh dan duduk di kursi roda menarik perasaan ku untuk mendatanginya, betapa begitu sangat hebatnya ia, meski fisiknya terbatas akan tetapi semangatnya menjalani hidup benar-benar dapat kulihat dari sorot matanya, dari tutur katanya yang menyambut pembeli dengan sangat ramah.

“Monggo mbak, mau beli apa?” Tanyanya pada aku dan Gendis saat kami sudah berada tepat di depannya.

“Saya mau beli takjil pak.” Dengan cekatan bapak tersebut langsung mengambil sekantong plastik hitam sebagai wadah, kemudian aku dan gendis segera memilih beberapa takjil yang menjadi incaran kami.

“Bapak asli orang sini pak?” Tanyaku padanya di sela-sela aku memilih takjil.

“Kebetulan bukan mbak, saya orang Solo.” Tukasnya lembut.

“Oalah begitu ya Pak, ini bapak cuma jualan seorang diri?” Tanyaku penasaran.

“Iya ndok, istri saya sudah meninggal, anak-anak saya sudah berkeluarga masing-masing.”

“Kenapa bapak memilih berjualan? kok ndak istirahat saja di rumah? “Tanyaku lagi.

“Saya suka berjualan, dari sini saya juga bisa mendapatkan uang, bagaimana pun keadaannya ya saya menikmati perkerjaan saya mbak.” Jawabnya sambil tersenyum padaku begitu lembut.

Aku seraya mengangguk dan paham, sesaat setelah aku dan Gendis sudah selesai memilih takjil, kami pun segera membayarnya, dan berlalu pergi sambil mengucapkan terimakasih kepada bapak tersebut.

Hidup ini mengajarkan aku untuk selalu bersyukur, sekalipun aku merasa kesulitan setidaknya aku masih merasa beruntung karena masih ada beberapa orang yang baik, tulus dan memberi ruang kasih sayangnya padaku. setidaknya hari ini memberikan pelajaran besar padaku bahwasannya entah bagaimana pun keadannya, pada dasarnya manusia tidak diwajibkan untuk menyerah, akan tetapi justru kita diwajibkan untuk selalu berusaha keras meski badai-badai terjal didepan sana mungkin akan datang menerpa kita, akan tetapi  sekali lagi kita harus ingat bahwa tuhan memberikan hidup untuk dijalani dengan penuh suka cita. Aku menarik nafas panjang beberapa detik, dan benar dunia begitu sangat hebat untuk orang-orang yang hebat. Senja sore kemerahan sudah menghilang saat sinarnya telah habis tenggelam dikaki langit, lantas aku dan Gendis segera mempercepat langkah kaki untuk menuju pulang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.