Takdir Takkan Melukai Part 2
FOTO: suhendrliali.wordpress.com |
Marina menatap heran. Ingin sekali pergi, tapi langkahnya serasa terkunci. Ingin marah, tapi tak tahu alasan untuk marah. Sebentar, kenapa perasaannya menjadi bimbang?
“Bang, kita baru saling mengenal. Aku bahkan tak pernah melihat wajah abang sebelum ini. Dan, sebentar lagi masuk waktu isya. Aku masuk mushala dulu, ya.” dengan langkah yang berat, Marina pergi meninggalkan Umar. Ia merasa ada sesuatu dengan laki-laki itu.
Umar menatap langkah Marina hingga sosoknya tak terlihat lagi, tertutupi oleh pembatas tempat wudhu wanita.
***
Gedoran keras pada pintu rumah Marina, seketika membuatnya terbangun, kemudian melangkah keluar kamar menuju pintu utama rumah, lantas membukanya.
“Ada apa, pakdhe?” tanya Marina dengan wajah menahan kantuk. Ini bahkan belum adzan shubuh.
“Kamu harus pergi. Sebelum adzan shubuh berkumandang,” ujar pakdhe dengan nada takut.
“Ada apa? Aku .…”
“Cepatlah … pakdhe tak mau kamu diapa-apakan oleh warga.” potong pakdhe cepat.
Marina masih bingung.
“Ini uang untuk kamu pergi. Semoga cukup. Maaf pakdhe hanya membantu segitu. Dan pergilah ke alamat ini. Bilang saja nama ayahmu, mereka pasti akan mengenalmu.” lanjut pakdhe yang membuat Marina semakin bingung.
Kemudian pakdhe langsung mendorong Marina untuk cepat-cepat pergi. Marina hanya menurut,menyiapkan baju seadanya dan uang simpanan yang seadanya pula.
Marina keluar rumah, dan pakdhe menunggu hingga langkah Marina tak terlihat lagi. Hingga langkah terhenti di jalan besar dekat kampung. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini baru pukul empat. Masih sangat pagi bagi Marina. Ada apa dengan adzan shubuh di kampung? Ada apa dengan warga? Marina mulai menitihkan air mata. Merasa kenapa seberat ini. Ia bahkan diminta untuk pergi dari kampung kelahirannya.
Mengapa semua orang menuduhnya membunuh kedua orang tuanya? Padahal jelas-jelas ada orang lain yang menusukan pisau itu diperut ibu dan ayah Marina. Jika pun iasalah,pasti akan dipenjara, bukan dibiarkan tetap tinggal di rumah. Bagaimana mereka mudah menyimpulkan kalau itu salahnya?
Gadis itumelanjutkan langkahnya menuju masjid dipinggir jalan raya, sembari menunggu adzan dan menunaikan sholat. Setelah selesai langsung menaiki angkutan kota menuju terminal. Menuruti kata pakdhenya untuk ke kota. Entah setelah sampai di kota ia akan bagaimana. Apa mereka akan menerimanya untuk tinggal di sana?
Semarang memamerkan sunset untuk pertama kali kepada Marina setelah 10 tahun lamanya. Dia membasuh wajahnya yang penuh keringat. Kota yang banyak penduduknya membuat Marina harus berdesak-desakan menaiki bus antar kota ini. Tubuhnya lengket, karenaseharian harus berada dalam perjalanan menuju kota,membuatnya benar-benar ingin mandi atau langsung terjun ke sungai di bawah jembatan yang berada di persis di depannya ini.
Setelah sampai di tempat tujuan, Marina melongo. Melihat rumah yang ada berada di depannya. Begitu besar, bahkan sangat besar, yang tidak ada apa-apanya dengan rumahnya di kampung. Tapi, apakah benar ini alamatnya? Tanpa menunggu lama,Marina langsung bertanya pada satpam, kemudian langsung dipersilakan untuk masuk. Sepertinya pakdhe sudah bilang kepada mereka, batin Marina.
Beberapa asisten rumah tangga tampak sibuk, Marina hanya menatap bingung. Tak ada siapapun yang menghampiri tempat duduknya. Semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sekitar 20 menit kemudian, seorang perempuan menghampiri dia.
“Kamu Marina?” tanya perempuan itu. Rambutnya sudah memutih, namun cantiknya masih sangat terlihat.
“Iya, bu. Saya Marina,” jawab Marina sambil tersenyum.
“Kamu cantik. Seperti yang diceritakan Uma. Bahkan kamu terlihat lebih cantik daripada di foto,” terangnya.
Marina menatap heran. Siapa Uma?
“Hehe … maaf ibu lupa. Kamu pasti tidak tahu Uma. Ibu namanya Ningsih, ibu dari Uma. Hm, nanti kamu akan tahu. Ayo masuk ke kamar. Bersihkan badanmu, dan kamu akan dirias oleh perias langganan ibu. Pasti akan sangat cantik.” sambil menggandeng Marina menuju lebih dalam rumah yang sangat luas ini.
“Memang ada acara apa, bu? Pakdhe hanya bilang aku untuk ke sini. Tidak bilang kalau akan ada acara atau bagaimana?” tanya Marina terheran-heran.
Bu Ningsih hanya tersenyum. Uma memang juara kalau untuk berpura-pura, batin bu Ningsih.
Mereka berjalan menuju kamar di bawah tangga. Sangat luas. Jauh sekali dengan ukuran rumah yang ditinggali Marina. Kemudian bu Ningsih menyuruhnya untuk mandi, di kamar mandi dalam kamar besar ini. Menyuruhnya untuk beristirahat,setelah itu ia akan dirias, untuk pertama kalinya.
Sekarang Marina terlihat lebih cantik, sangat cantik. Bagai bidadari turun ke bumi. Seperti tak ada kekurangan, melenggok dari kamar menuju ruang makan.
Namun, tiba-tiba seseorang menghentikan langkahnya. Seorang pemuda tersenyum, begitu gagah daripada saat ia temui beberapa hari yang lalu. Umar. Bukan hanya terlihat kaget melihat Umar ditengah-tengah mereka. Ada bu Ningsih, pak Ganjar sang suami, dan ada 2 pasangan yang entah mereka siapa dan satu anak kecil yang merupakan anak dari salah satu mereka.
Bu Ningsih bangkit dari duduknya. Menggandeng Marina yang masih lemah karena benar-benar kaget, dan Umar membukakan kursi di sampingnya. Marina membalas dengan senyum tipis, namun masih terlihat wajah bingungyang terlihat dari kerutan pada dahinya.
“Selamat datang Marina, di keluarga kita.” sambut Pak Ganjar yang ditimpali senyum oleh semua yang berada di meja makan tak terkecuali Marina.
“Saya Ganjar. Sahabat bapakmu dulu. Mungkin kamu sudah lupa dengan kami. Ada mbak Mitta anak pertama saya, mas Radit anak kedua saya dan Umar anak ketiga saya. Rayhan cucu pertama saya. Dan tentunya Ningsih istri pertama saya.” sambil memandang ibu Ningsih penuh cinta.
Marina hanya terus memperhatikan. Tak tahu harus bagaimana, bahkan ia tak mengerti mengapa ada acara makan malam seperti ini.
“Jadi, begini, sebelumnya gimana kalau kita makan dulu setelah itu lanjut mengobrol nanti.”
Pertanyaan pak Ganjar malah membuat Umar terlihat gelisah dan mendengus. Dibalas tawa oleh pak Ganjar yang makin membuat bingung Marina.
Mereka sibuk dengan piring masing-masing. Mbak Mitta juga sibuk dengan Reyhan yang tak bisa diam saat disuapi. Terlihat lucu dan menggemaskam. Setelah semua selesai,kini tinggal saat yang ditunggu oleh Umar.
“Jadi begini, kami, bapakmu dan saya ingin menjodohkan kamu dengan .…”
“Bang Umar?” Potong Marina yang membuat semua orang yang berada di meja memandangnya terkecuali Reyhan.
Pak Ganjar menghembuskan nafas. “Iya betul.”
Dan sekarang Umar yang memotong. “Biar aku yang menjelaskan,Pa,” katanya sambil tersenyum meyakinkan.
Pak Ganjar tersenyum, lantas menghembuskan nafas.
Umar mengarahkan duduknya menghadap Marina. Terlihat gugup dengan keringat yang mulai menetes pada dahinya. Marina tersenyum, menenangkan. Entah mengapa ia bagai menerima semuanya. Entah mengapa rasanya ia jatuh hati pada laki-laki dihadapannya sejak hari itu.
“Abang tahu, sangat tahu kalau kita tidak benar-benar saling mengenal, tapi abang sudah menjaga ini sejak sepuluh tahun lalu. Menunggumu hingga dewasa, melihat kamu tumbuh dewasa walau aku hanya melihat itu setahun sekali selama sepuluh tahun ini. Karena aku yakin, kamu jodohku sejak saat itu. Ya, memang itu saat di mana aku masih anak-anak dan belum mengerti apa arti cinta. Tapi setelah menjadidewasa seperti sekarang, aku sadar jika aku sudah jatuh cinta denganmu sejak lama.“
Marina menitihkan air mata. Ia tak tahu ada seseorang yang menunggunya selama ini. Sepuluh tahun itu sungguh sangat membosankan jika itu hanya untuk menunggu.
Semua orang yang berada di meja makan terlihat sangat antusias, takut-takut Umar gagal untuk melamar Marina, terkecuali Umar yang sedang berusaha mengendalikan detak jantungnya, Marina yang benar-benar tak tahu harus berekspresi bagaimana. Ia begitu bahagia namun terselip kesedihan karena tak ada orang tuanya yang hadir di sini.
Umar melanjutkan, sambil menatap Marina. Meyakinkan pada gadis di hadapannya kalau ia benar-benar mencintai dengan tulus. “Maukah kamu menjadikan aku sandaran kedua setelah ibu dan bapakmu pergi? Dan mendampingi aku hingga maut menjemput, menikmati hidup denganku bagaimana situasinya, menjadi istri yang akan mengingatkan aku jika salah dan menjadi istri untuk aku bimbing menuju surga-Nya? Maukah kamu menjadi pendamping hidupku, Marina?”
Marina tersenyum, melihatkan gigi ratanya yang rapih dan putih.
“Entah sejak kapan, tapi aku juga yakin abang jodohku.” terang Marina yang membuat lega Umar. Tak terkecuali kedua orang tua Umar yang menantikan hari ini. Kedua kakak kandung dan kakak iparnya tersenyum lega, melihat adik bungsunya menjaga hati dengan seseorang yang bahkan waktu itu tak mengenalnya.
Marina tak kalah bahagia, yang ia percayai kalau Tuhan tak akan ingkar. Menggantikan kesedihan dengan kebahagian yang bertubi-tubi. Memiliki calon pendamping yang gagah dan menawan. Orang tua baru yang tak kalah hangat dengan kedua orang tuanya dan kakak-kakak yang sangat ramah padanya. Tuhan tak akan menguji hamba-Nya diluar batas kemampuannya. Ia menggantikan kesabarannya, kesedihan, kegundahan, kehilangan dengan keluarga barunya yang sangat lengkap, ramah dan hangat.