Perahu Layar
Oleh
Marchella Dika Aristawidya
Deburan ombak dan semilir angin di tepi pantai berhasil membuat suasana tenang. Terlihat seorang gadis berjilbab biru muda sedang berdiri sambil memejamkan matanya. Di sekitar, banyak anak-anak berlarian sembari mengumpulkan kerang. Tak lupa, mereka juga membentuk istana pasir dan boneka pasir. Orang tua mereka mengawasi mereka dari jauh, ada juga yang ikut bermain, beberapa orang tua juga meminta anaknya agar tidak berlarian.
Langit turut berwarna biru cerah, burung-burung pun ikut bernyanyi. Seolah-olah siap menemani anak-anak bermain. Gadis itu terlalu fokus menikmati pemandangan di sekitarnya. Hingga tak sadar ada seseorang yang datang.
“Sendirian aja, Nes?”
“Ehh, kamu kok di sini?” Nesya bertanya dengan dahi berkerut.
“Iya, aku kesini sama keluargaku, terus liat kamu sendirian di sini, ya udah aku samperin,” Aksa berterus terang.
Nesya menanggapi dengan senyuman.
“Cantik ya.”
“Ehh, apanya?”
“Langitnya, cantik banget warna biru.”
“Aku juga pake jilbab biru muda, berarti aku cantik dong?” Nesya menggenggam kedua pipinya dan membuat wajah imut.
Kemudian mereka tertawa bersama. Meskipun tak menjawab, dalam hatinya Aksa menyetujui pernyataan Nesya.
Aksa dan Nesya pun duduk di atas pasir, menikmati kembali ciptaan Tuhan yang luar biasa indahnya. Terlihat dari kejauhan ada sebuah perahu yang sedang berlayar. Terombang-ambing di tengah lautan yang luar biasa luasnya.
“Sa, kamu liat kapal itu?” Aksa memperhatikan.
“Kok mereka ga takut tenggelam ya berlayar di lautan seperti itu?”
Aksa tersenyum.
“Karena mereka yang tinggal di lautan percaya dengan nahkoda mereka. Karena percaya, mereka bisa sampai tujuan dengan tenang.”
Aksa menghela napas sejenak,
“Begitu pula dengan kehidupan, Nes. Kita tak perlu takut tujuan dan mimpi kita tak tercapai, karena ada Allah yang akan menahkodai kehidupan kita kemanapun kita berlayar. Dengan kita terlahir di dunia, dengan kita melepas jangkar kapal, kita harus sudah siap dengan apa-apa yang terjadi.”
“Lalu, bagaimana jika badai datang dan kapal kita terombang-ambing?”
Lagi-lagi, Aksa tersenyum.
“Seperti yang tadi aku bilang di awal, Nes. Percaya dan tenang, berdoa, sambil berusaha memikirkan bagaimana solusinya. Karena setiap ada masalah, pasti ada solusi. Badai pasti berlalu. Karena Allah sudah berjanji sesudah kesulitan akan ada kemudahan, dan Allah tidak akan membebani hambanya di luar kesanggupannya.”
“Wow, ngga nyangka ya kamu bijak gini. Perasaan kalau di kampus tidur mulu. Makasih banget atas penjelasanmu.”
“Gini-gini aku juga teman kampusmu yang paling puitis kan, Nes?”
Mereka pun tertawa bersama. Di sela-sela tawa, adik Aksa datang dan mengajaknya bermain bola di air. Aksa pun pamit dan Nesya menyetujuinya. Dalam kepalanya yang berisik, Nesya merenungi kata-kata Aksa tadi. Dia masih memikirkan ayahnya yang dua tahun ini berlayar dan belum ada tanda-tanda berlabuh.
Dalam hidup, kita pasti pernah khawatir. Mengkhawatirkan masa depan, mengkhawatirkan orang-orang yang kita sayang, mengkhawatirkan hal-hal buruk yang akan terjadi. Namun, kita tidak ingin kekhawatiran tersebut terjadi bukan? Maka, kita harus mengisi pikiran kita dengan hal yang positif. Berharap, hal itu sekaligus menjadi doa dan kemudian dikabulkan oleh yang Maha Kuasa.