Cerpen,  sastra

Takdir Takkan Melukai Part 1


FOTO: lakonhidup.com

Oleh : Fitri Indriana (Mahasiswa KPI Semeseter 1)

Matanya sendu, tak terlihat lagi kecerian di mata cantiknya. Begitu rapuh, dan pikirannya pun kosong. Ia hanya terdiam, menikmati semilir angin taman berteman kesendirian. Duduk, diam, tak bergerak sama sekali bagai patung. Hanya hidungnya yang bergerak untuk mengambil nafas. Ia, Marina. Seorang gadis desa periang yang lupa akan apa itu kasih sayang. Luka menghancurkan segalanya. Senyum, keceriaan, dan mimpinya yang besar.

Marina tahu, mungkin ini adalah cobaan, bukti jika Tuhan sangat menyayanginya. Tapi ia hanya sendirian,sebatang kara, tak ada lagi yang mau mengenalnya. Siapapun, tak ada yang mau.  Ia dikucilkan dari warga, bahkan keluarga sendiri. Ia difitnah membunuh kedua orang tuanya.

Saat adzan maghrib kesepuluh setelah kematian kedua orang tuanya,Marina mulai mencoba untuk pergi ke mushola dekat rumah. Berjalan dengan berteman tatapan para tetangga yang seperti ingin menikam, tidak membuat langkahnya kembali ke rumah, namun terus berjalan. Membiarkan mereka menatap sesinis apapun bagai singa seperti baru keluar kandang.

“Ngapain anak itu ke mushala. Memang dia masih ingat Tuhan?” kata segerombolan ibu yang menatap Marina tajam.

Marina terdiam, terus melangkah. Untuk apa mendengarkan ujaran mereka. Mereka bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Biarkan mereka berkata semaunya, karena Tuhan tahu, siapa yang perlu hukuman saat nanti di akhirat. Tuhan tak pernah ingkar, Dia tak pernah salah. Marina percaya itu.

Jika Marina tak percaya, ia tak akan mau berjalan dengan teman cemoohan, seringai, ataupun tatapan tajam. Namun lebih memilih untuk pulang, berdiam diri, menghabiskan nyawa dengan terjun di jembatan gantung belakang rumahnya, menusuk nadi dengan pisau yang biasa ibu pakai memotong daging untuk membuat gulai, atau bahkan berdiri di rel saat kereta melaju di samping rumah neneknya. Tak sesempit itu pikiranya. Masih ada Tuhan, yang mau mendengar, melindungi, dan membantunya. Hasbunallah Wani’na Waqil, cukup Allah menjadi penolong bagiku. Teringat kata ayahnya sebelum benar-benar meninggalkan dunia ini, selamanya.

“Kau tahu? Tuhan tak akan membiarkan hamba-Nya mendapatkan cobaan diluar kemampuan. Tapi sekarang, apa cobaan ini masih dibatas kemampuanmu?” suara itu menghentikan langkah Marina menuju rumah.

Marina menengok. Wajahnya menegang. “Kau … kau siapa?”

Lelaki itu tersenyum. “Namaku Umar. Maaf jika membuatmu kaget.” Umar kembali tersenyum, sedang Marina masih terlihat syok.

“Tenanglah. Aku tak akan berbuat jahat padamu,jelas Umar yang langsung ditanggapi kelegaan pada wajah Marina.

“Oh ya, maaf aku tak pernah melihat abang di sekitar kampung. Aku kira .…” Marina menundukan kepalanya. Merasa telah suudzon dengan orang yang baru ia kenal. Wajar, maghrib baru saja usai. Untuk apa laki-laki ini menggangunya, lebih tepatnya mengajak bicara di tempat sepi seperti ini.

“Kuajak kau ke mushala saja, bagaimana? Di sana ramai anak-anak mengaji. Biar tak jadi fitnah oleh warga,ajak Umar seperti tahu apa yang sedang dipikirkan Marina.

Marina mengangguk. Umar melangkah yang diikuti Marina dibelakangnya.

Mereka saling diam dalam perjalanan menuju mushala. Sebenarnya Marina ingin bertanya, tapi tak tahu harus mulai darimana.

“Sudah sampai. Silahkan duduk, Rin.”

Marina duduk agak menjauh dari Umar. Umar tersenyum. Allah mengajarkan kita untuk menjaga jarak dengan wanita bukan muhrimnya, batinnya.

Marina tersenyum, sambil menaikan kedua alis tanda tak mengerti maksud Umar mengajak Marina ke mushala.

“Biar nanti kamu berjalan tak merasa jauh karena dilihat warga seperti ingin menikammu.” Umar tertawa. Kemudian langsung menahan tawanya teringat sekarang mereka sedang berada di mushola.

Namun, Marina dengan wajah heran menatap Umar. Bagaimana Umar seperti menjawab apa yang ia pikirkan?

Umar tersenyum mengerti, tanpa disadari Marina.

“Sudahlah, Marina. Jangan menatapku seperti kau tak pernah melihat lelaki setampan aku,kata Umar menahan tawa.

Marina menatap Umar kesal. Apa-apaan dia! Mengajakku ke mushala hanya untuk menggodaku, gerutu Marina.

“Abang ini sebenarnya mau apa? Tiba-tiba saja mengajak ke mushala,tanya Marina kesal.

“Hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Kau jangan galak seperti itu. Membuat aku juga serasa akan ditikam olehmu,goda Umar.

Marina manatap Umar tajam. Aku lebih suka warga berkata tentang aku seenaknya, daripada mendengar abang-abang tidak jelas yang menggodaku ini. Gerutu Marina, lagi. Lalu Marina bangkit dari duduknya. Sebelum melangkah pergi, didahului dengan kalimat Umar yang membuatnya menengok dan tertegun.

“Aku ingin menjadi sandaranmu, setelah kedua orang tuamu pergi.”

“Maksud abang, bagaimana? Bahkan kita baru saling mengenal.” Marina tertunduk. Teringat kedua orang tuanya.

“Maaf, Marina. Aku tak bermaksud mengingatkanmu dengan kepergian mereka. Dan aku sudah … mengenalmu sejak lama. Hanya saja kau tak penah sekalipun melihatku.” Umar menjelaskan.

“Tak apa, bang. Tapi, sejak kapan abang mengenalku?”

“Sejak aku merasa kau jodohku.”

Bersambung …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.