Ilustrasi pedagang/infopublik.id
Feature

Kisah Pedagang Ayam Potong Keliling: Sepeda Tua Menjadi Saksi Perjuangannya

Pekalonganjurnalphona.com Hidup di zaman modern seperti sekarang ini, kita dituntut untuk berani menerjang kerasnya kehidupan. Walaupun zona nyaman membuat kita menjadi malas untuk ke luar, tetapi kita akan lebih merasa sengsara jika kita hanya mengandalkan zona nyaman dan enggan bergerak melewati berbagai rintangan, karena kita tidak akan pernah mengenal sukses sebelum melewati rintangan tersebut.

Seperti kisah pedagang  ayam potong keliling yang rela mengayuh sepeda tuanya untuk menjajakan dagangannya. Ia biasanya berkeliling di sekitar Desa Gejlig. Meskipun dengan peralatan dagang yang sudah mulai rapuh, tetapi hal ini tidak menjadi alasan ibu paruh baya ini untuk mengais rezeki.

Sumarni adalah seorang penjual ayam potong keliling yang berasal dari Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. Ia berjualan daging sejak 16 tahun silam. Setiap hari, ia membawa 20 kg daging ayam dengan penghasilan Rp 40.000 perharinya. Sebelumnya, Sumarni pernah berprofesi sebagai pedagang sayur di daerah Jakarta sewaktu ia muda. Kemudian, setelah menikah ia memilih untuk tinggal di Pekalongan agar dapat dekat dengan orang tua dan setelah itu ia beralih menjadi pedagang ayam potong keliling.


“Waktu muda dulu, saya pernah berjualan sayur di Jakarta, kemudian setelah saya menikah dan hamil, saya memutuskan tinggal di kampung lalu melanjutkan untuk berjualan ayam potong di sini. Karena sudah tua juga jadi pengen tinggal di kampung.”

Setiap pagi, Sumarni berjualan mulai pukul 08.00-11.00 WIB, berkeliling dari Desa Sambiroto sampai ke Desa Gejlig. Namun apabila jualannya tidak habis, terpaksa harus dibawa pulang untuk dijual keesokan harinya karena ia sudah tak sanggup lagi berkeliling mengayuh sepedanya.

Dengan beban bawaan sebanyak itu, wanita paruh baya ini tak jarang mengeluhkan kakinya yang sering sakit karena pengaruh usianya yang tak lagi muda. Hujan, rem blong, dan ban bocor menjadi kendala saat ia berdagang, tetapi ia tak putus asa demi menghidupi anak-anaknya.

Jatuh di jalanan karena sebuah kelalaian,  pernah dialami oleh Sumarni. Namun, itu tidak membuatnya trauma. Ia tetap berdagang dengan penuh semangatnya.


“Saya pernah jatuh pas di jalan yang menurun, karena remnya lupa belum  dibenerin. Tak hanya itu, ban yang dipakai pun sudah melembung, tapi tetap saya pakai karena saya waktu itu belum tahu dan paham apa akibatnya. Setelah kejadian itu, saya tidak trauma. Namun, saya masih tetap bersemangat karena jika saya tidak berjualan, anak-anak saya nanti tidak bisa makan dan jajan.”

Jika musim hujan melanda, Sumarni tetap berdagang seperti biasanya. Namun saat hujan turun, ia memilih untuk berteduh sampai hujan mulai reda dan melanjutkan perjalanan dagangnya menggunakan jas hujan plastik.
“Kalo hujan, biasanya saya neduh dulu kalo sekiranya udah berhenti saya langsung jalan lagi pakai jas ujan plastik.”

Meskipun banyak rintangan yang di hadapi, ia tetap bersyukur dan terus berusaha untuk bertahan hidup mencukupi kebutuhan sehari-hari. Lelah tentu ia rasakan setiap harinya. Namun ia tidak pernah menyerah begitu saja. Sosoknya begitu tangguh dalam menghadapi segala cobaan. Ia berharap agar usahanya sukses, berjalan lancar dan dicukupkan rezekinya agar dapat membiayai anak-anaknya sekolah.
“Saya pengennya dagangannya laris terus, lancar biar bisa membiayai anak saya sekolah.”

Reporter: Rizka Amalia, Shinta Nuriyah

Penulis: Shinta Nuriyah

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.