Cerpen

Ephemeral

Karya: Choerul Bariyah

-15 Maret 2019-

Akan ku kenangkan padamu sebuah cerita

Di keramaian kota

Tentang ia yang menjelma puisi di sajak tak bernama

Aku adalah makhluk berkabut di arus waktu

Sebab rindu masih sering mengetuk pintu

Ini aku, yang mengagumimu

Ada kalanya hujan jatuh menyemai tetumbuhan

Ada kalanya cinta jatuh pada mereka yang tak diperkirakan Lalu kuputuskan untuk merangkup semuanya

Dalam satu kata

Bahwa aku sekedar punya rasa

Dia dan hujan adalah dua hal yang kini kucinta

Pertengahan Maret menyapa dengan sempurna. Purnama sedang cantik- cantiknya. Aku tengah menyusuri padatnya studi beserta tumpukan kegiatan organisasi. Namaku Ghadis Putri Maharani. Anak sulung yang memiliki mimpi paling tinggi, bahkan melampaui tingginya atap rumahku sendiri. Aku suka menulis, menulis apapun tanpa menyakiti siapapun. Terlahir menjadi pribadi yang ceria, mudah bergaul dan dewasa adalah anugrah paling indah yang aku syukuri. Tapi kadang, ketika orang lain berpikir kita sempurna justru kesempurnaan itu yang menjatuhkan kita.

Aku tengah menyusuri lorong sekolah. Sedikit tergesa karena diburu mendung dan waktu maghrib yang kian menderu di pelataran senja. Kala itu aku masih membenci hujan, waktu di mana aku harus berjalan tergesa, mendekap buku-buku di

dada dan berakhir demam esok paginya. Entah kenapa hujan adalah waktu paling menyebalkan. Aku menghela napas, menatap pasrah rintik yang luruh membasahi bumi.

“Yuk, pulang,” seru seorang lelaki mengagetkanku. “Astaga! Aduh kamu, Ghib. Masih hujan ini,” sahutku. “Kalau nunggu hujan, pulang besok kamu.”

“Terus, emang kamu bawa payung?” tanyaku. “Ndak” jawabnya tegas.

Aku semakin terheran. Ia menarik lenganku, seketika kami basah di bawah hujan. Sedikit kesal aku mencoba menepi, namun cekalan lengannya yang begitu kuat membuatku tak berkutik.

“Hujan itu indah, Dis. Kamu hanya perlu menikmatinya sebentar.” Ia menatapku dalam. “Ini bukan saatnya bercanda ya, kalau aku sakit atau bukuku kebasahan gimana?” Ia acuh, kemudian kembali meracau.

“Kamu tahu, betapa hujan memerlukan waktu untuk turun? Betapa panjang proses yang dilaluinya untuk menjadi hujan? Dan betapa hujan begitu dinantikan oleh sebagian orang?” Aku membisu, senyumnya mengembang. Kali ini senyumnya begitu manis, cukup untuk membuatku terpesona.

Dia mengajariku mencintai hujan. Sebab, katanya basah adalah anugerah dan setelah bising petir yang mengguncang semesta, ada pelangi indah menghiasi cakrawala.

Sudah 4 tahun sejak aku membenci hujan dan menyaksikan betapa mencintai begitu menyakitkan. Hari ini, tepat di bawah hujan, aku kembali jatuh cinta padanya dan pada rintik yang turun tergesa. Aku kini tidak lagi kaku pada padatnya studi, dia datang membawaku menyusuri ruang cinta terbaik. Di mana resahku selalu tertampik.

****

-22 Maret 2019-

Waktu bergulir tergesa pagi itu, menyulap gelap menjadi terang yang hadir terlampau awal. Mentari terlihat lebih cerah dari biasanya, lebih terik dari seharusnya. Angin berkelebat menyapu daun-daun yang bertebaran di jalan, menggiring langkah menuju sesaknya tuntutan keduniaan.

Aku merasakan hawa yang berbeda menerpa, dengan langkah ragu dan tubuh lemas kususuri trotoar kota. Kali ini perjalanannya sedikit berbeda, aku melangkah dalam remang mata membelah ujung kota yang sebenarnya sedang cantik-cantiknya. Sejak berbaur dengan hujan senja itu, tubuhku menjadi lebih ringkih, terhitung satu minggu aku terbaring di kasur. Selama itu juga Ghibran rutin menengokku dan memberi harapan baru padaku.

Pagi ini harusnya ia datang untuk menjemput. Tapi karna waktu sudah terlambat dari perjanjian, kuputuskan untuk menantinya sembari berjalan. Pandanganku semakin mengabur, kaki lunglai, dan dada sesak seperti tak ada ruang untuk menyesap napas. Aku menepi, menggapai-gapai gerbang sekolah. Sedikit lagi.

Bruk! Tubuhku tumbang di tengah kerumunan.

****

Kurasakan bau menyengat di antara hidung. Aku mengerjapkan mata mendapati wajah Ghibran. Kupijat kening, rasanya pusing sekali. Mungkin sedikit terbentur?

“Aku antar kamu pulang ya?” ucapnya lembut. “Tapi….”

“Aku udah izin sama Kepsek. Kamu sakit, istirahat dulu.” Aku mengangguk setuju.

Ghibran memapahku sampai ke mobilnya, ia berbincang sebentar dengan petugas sekolah lalu kembali menghampiriku. Yang perlu kalian tahu, Ghibran adalah kakak kelasku, ketua OSIS dan anak yang paling berprestasi di sekolah ini. Wajahnya yang tampan, pribadi yang ramah, dan berasal dari keluarga mapan menambah tingkat kesempurnaan. Aku masih mengagumi, belum mencintai. Akhir-akhir ini kami memang dekat mungkin karena satu project di event OSIS.

“Kita pulang sekarang ya.” ucapnya membuyarkan lamunanku. “Hmmm.”

Lama kita membisu, berkutat pada pikiran masing-masing. “Dis?”

“Ya.”

“Maafin aku ya, karna hujan-hujanan waktu itu kamu jadi gini.”

“Enggak kok,” balasku sembari mengembangkan senyum. “Cepet sembuh ya, aku sayang sama kamu.”

Deg! “Maksud kamu?”

“Aku mau jagain kamu, bukan cuma sebagai teman. Boleh kan?”

Aku masih tercenung, tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Entah perasaan macam apa yang bergejolak dalam dada. Aku seperti terkena syndrom gagal fokus. Netraku masih lekat memandang wajah Ghibran, tak tersirat sedikitpun keraguan ataupun raut canda.

“Gimana, Dhis?” tanyanya kembali memastikan. Aku tertunduk malu, lalu mengangguk tanda setuju.

Mobil melaju membelah jalan lengang pukul 10 pagi. Sepanjang jalan, yang kami lakukan hanya terdiam. Aku masih terfokus pada apa yang baru saja terjadi. Ghibran terus menggenggam tanganku menambah getaran dalam dada.

“Aku sayang sama kamu. Cepet sembuh, ya! Nanti kita liat hujan dari balik jendela dan aku bakal marahin dia karna udah bikin kamu jadi gini. Hujannya nggak adil, sukanya sama yang cantik,” paparnya dengan nada yang dibuat serius.

“Haha….” Aku terbahak.

Hari itu berakhir dengan aku yang kembali menatap plafon kamar. Ghibran kembali ke sekolah tepat setelah menyuapiku makan dan memastikan bahwa aku telah terlelap. Aku merasakan basah di pipinya: Ia mengusap lembut pucuk kepalaku lalu berjalan pelan meninggalkan dua kata.

“Cepet sembuh, ya….”

****

-25 Maret 2019-

Ruangan bercat putih itu begitu pekat. Aku duduk ditemani Ghibran dan Mama. Lagi-lagi, bisu adalah bagian dari keheningan. Mama menggenggam jemariku erat, Ghibran terus tersenyum mengisyaratkan agar aku tetap tenang. Aku menatap Ghibran lekat, betapa ia bisa mengobati rinduku pada Papa. Dulu, saat aku jatuh sakit dan menunggu seperti sekarang, aku suka memainkan jari-jarinya yang besar. Lalu, Papa mengacak rambutku. Selain Papa, hal yang begitu kuinginkan ketika ada di ruang ini adalah orang-orang berbaju putih lengkap dengan kalung yang tergantung di leher.

Tuk… tuk… tuk…

Suara heels mengetuk lantai. Mama spontan bangkit, menanti cemas di depan pintu. Seorang wanita cantik menyembulkan kepala, menyuruh kami masuk. Aku menggenggam tangan Ghibran erat, ia terus tersenyum. Wanita setengah baya itu duduk di depan kami, usianya mungkin hampir sama dengan Mama. Kami bertiga menatapnya. Ia melemparkan senyum. Dapat kulihat raut cemas di mukanya.

“Ghadis sekarang usianya berapa?” tanya wanita itu ramah. “16 tahun, dok.”

“Sudah besar, ya. Terakhir kamu ke sini ketika masih digendong Papa. Ingatkan? Ketika kamu takut disuntik lalu menarik kemeja Papa hingga sobek, jadilah Papamu pulang dengan baju compang-camping.”

“Haha….” Aku tertawa renyah begitu pun Mama dan Ghibran. “Dan ini siapa?” tanya dokter Dina sembari menunjuk Ghibran. Mama mengedipkan sebelah matanya, memberi isyarat.

“Ups!” spontan dokter Dina menutup mulut. Mama hanya mesem-mesem. Aku dan Ghibran bagai kucing tersiram air. Tak dapat berkutik. Hening sejenak. Dokter Dina membuka amplop coklat. Air muka Mama kembali tegang. Dokter Dina menatap Mama, ia menghela napas.

“Seperti yang dulu pernah saya tuturkan kepada almarhum pak Erkan. Ghadis menderita Von-Hippel-Lindau (VHL) atau yang lebih dikenal sebagai hemangiobalstomas. Sebuah penyakit aneh dan langka yang menyerang 1 dari 35 ribu orang di dunia. Penyakit ini semacam tumor jinak, yang meyerang hampir seluruh organ penting dari tubuh manusia, seperti otak, ginjal, saraf, dan beberapa area tubuh lainnya.”

Mama terkulai lemas, aku dapat merasakan itu. Ghibran makin erat menggenggam jemariku. Sejak 6 tahun lalu, aku telah mendengar istilah itu disebutkan oleh dokter Dina. Saat itu aku tidak tau apa itu hemangiobalstomas. Papa bilang itu karna aku terlalu banyak makan coklat dan enggan belajar. Terlalu jauh untukku mengerti bahwa aku sakit sedari dini.

Mama memelukku erat, aku tak kuat melihatnya menangis. Untuk segala keterkejutan dan rasa sakit, hampir sudah tak kurasakan lagi, beberapa tahun terakhir aku telah mencoba mengulik apa yang sebenarnya terjadi. Ghibran begitu terkejut, ia menyembunyikan embun di pelupuk mata.

Mama makin erat memeluk, isaknya begitu jelas di telinga. Aku ingin berkata, mama jangan menangis namun bibirpun tak kuasa. Jika boleh aku berkata, jika boleh aku bercerita, ingin kukatakan pada dunia, sejauh ini aku masih baik-baik saja.

Semilir angin di pelataran rumah sakit menyikap duka yang merana. Mama pulang diantar pak supir. Ghibran mengajakku duduk menikmati angin. Berulang kali ia menjatuhkan air mata, aku mengembangkan senyum sembari mengelus punggung tangannya. Aku bersandar di lengannya yang besar.

“Sejak kapan kamu tahu kamu sakit?”

“Beberapa tahun lalu.”

“Kenapa ndak terus terang?”

“Semenjak Papa pergi, aku memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Seminggu setelah Papa mengambil hasil lab-ku, beliau sakit dan akhirnya pergi. Beliau terlalu takut kehilanganku, terlalu banyak beban yang beliau emban. Belum sempat ia sampaikan pada Mama, Tuhan jauh lebih mencintainya. Bertahun-tahun aku dirundung duka, perihal kehilangan Papa, ditinggalkan sahabat yang merangkap pacarku, menyembunyikan kebenaran dari Mama. Perlu kelihaian untuk merangkup semuanya. Aku tahu itu salah. Tapi aku tidak ingn kehilangan untuk ke sekian kalinya. Itu saja.” tanpa terasa basah membanjiri netra.

Perih membayang semuanya dalam satu bingkai kecewa.

Ghibran memelukku erat, membiarkanku menumpahkan segala sesak dalam dada. “Cepet sembuh ya, aku sayang sama kamu.”

****

-1 Mei 2019-

Papa, aku dalam pelarian

Kutemukan bimbang dan resah dalam ketakutan

Terpuruk dalam bayang dan rintihan

Papa, aku sedang merupa doa untuk hal yang disebut harapan

Sudah sebulan segala proses kulalui. Ghibran setia mengantarku ke sana kemari termasuk menungguku ketika harus opname di rumah sakit. Aku semakin mencintainya. Kurasa, Ghibran adalah jawaban dari doa-doa yang kupanjatkan untuk menggantikan Papa.

Pernah suatu hari ia tertidur di ruang tamu di mana buku berserakan. Bulan ini ia ujian kelulusan. Sering kutekankan bahwa ia fokus saja pada ujian biarkan aku melaluinya bersama Mama. Ia bersikeras, katanya tidak ada yang lebih penting dari kabar kesembuhanku. Ia bahkan berencana melamarku setelah ia lolos ujian Sekolah Tinggi Negara. Mama juga dekat dengannya, bahkan beliau tak cemas lagi jika aku bersamanya. Kita semua sama-sama tahu, aku mencintainya dan Ghibran mencintaiku.

Menjelang kelulusan, aku mengajak Ghibran menyusuri perbukitan. Sekedar melepas penat dari padatnya soal dan obat-obatan. Beberapa bulan kami menjalani hubungan yang baik-baik saja tergolong menyenangkan, justru aku merasa hidup kembali. Beberapa hari terakhir Ghibran tidak banyak bicara. Kukira ia sedang cemas perihal pengumuman kelulusan dan ujian masuk STN. Kuputuskan mengajaknya keluar, meski awalnya disertai penolakan dengan dalih aku tidak boleh kecapekan.

Kami duduk berhadapan. Kutatap wajahnya dalam. Ada yang aneh. Kehangatan seperti tak terpancar lagi dari sorot matanya. Rasanya mungkin masih ada, tapi tak seutuh dulu. Aku tak ingin menduga. Beberapa bulan terakhir meyakinkan hati bahwa ia adalah yang terbaik bukan hal yang mudah, terlebih melawan gejolak emosi yang mengaratkan esensi. Hangat yang tampaknya kekal, tak jarang ubahnya dusta yang terpenggal.

“Ghib?” tanyaku lirih sembari bersandar di bahunya. Ia masih asyik bermain ponsel. “Hmm.”

“Kamu gak papa, kan?”

“Iya.”

“Rencana kamu soal mau bilang Mama-”

“Jangan bahas itu dulu, aku gak mau ngomongin itu. Lagian aku belum tentu masuk STN.” potongnya ketus.

“Tapi…”

“Kalau aku bilang gak mau bahas berarti stop dong! Aku tuh capek Dhis, bukannya selama ini aku selalu jadi apa yang kamu mau? Ada pas kamu butuh. Apa itu masih kurang?” ucapnya bertambah ketus disertai penekanan di setiap katanya. Aku menatap lekat wajahnya, “Tapi, Ghib.”

“Kalau kamu cuma mau bahas gak penting mending kita pulang.” lagi-lagi dia memotong. Aku tertegun, masih mencoba mencerna setiap kata yang ia ucap.

Sepuluh tahun lalu, saat usiaku menginjak 6 tahun, tepat di bawah hujan, bermandi air mata dan berselimut kesedihan. Aku berjumpa dengannya. Seseorang yang menjadi pelangi setelah hujan. Namun, 4 tahun setelahnya ia menyusul Papa, ia menghembuskan napas terakhir dalam pelukanku, ia mati karenaku, karena menyelamatkanku. Masih tercium bau anyir di kemeja putih, hembusan napas di pipiku serta kata terakhir di daun telinga.

“Aku mencintaimu.”

Setahun berkabung dalam zona kehilangan, aku menemukan Ghibran. Seseorang yang lagi-lagi membuatku jatuh cinta pada hujan. Sebulan waktu yang cukup singkat untuk menyemai cinta. Kukira aku benar-benar mencintainya. Embun membasahi mata.

“Maksud kamu apa? Aku gak penting? Kamu capek ngurusin aku? Kamu bosen?” sanggahku sedikit tersulut emosi. “Ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin hubungan kita Dhis, aku masih harus bahagiain kelurga, kamu juga harus terus berobat meski nggak tau sembuh atau nggak.”

Deg!

Aku capek, Dhis. Aku capek! kalau gini, mending kita udahan. Kamu gak pernah ngertiin aku.” Ghibran berlalu, meninggalkanku yang terisak di sudut sendu. Aku menatap punggungnya menghilang di balik tikungan. Langit berubah mendung, meluruhkan rintik yang menitik.

Perihal hujan

Yang mendistrik pertemuan dan kehilangan

Antara aku, kamu, dan harapan-harapan

Demikian rintik mengirim bisu Pecah diruang sendu

Lebur bersama ragu

Percayalah sekuat-kuatnya aku, adalah jiwa lemah di hadapan-Mu

****

-29 Desember 2019-

Menjelang pergantian tahun, aku mulai terbiasa menyikapi rasa. Beberapa waktu setelah Ghibran memutuskan. Sempat aku terpuruk, kesehatan semakin buruk, harapan hidup menjadi pengutuk. Masa-masa sulit kulewati berdua bersama Mama, rutin bertemu dokter Dina, olahraga, bimbel, hingga persiapan ujian. Perlahan kunikmati sembari mengubur segala kecewa.

Mimpi-mimpi yang dulu sempat kandas, menyembul kembali di permukaan ambisi. Aku kembali bangkit, meski harus berjuang melawan sakit. 29 Desember 2019, aku kembali terbaring di ranjang rumah sakit.

Malam itu, aku berjumpa Papa. Dibalut kerinduan, kupeluk erat beliau. Kukira langkah ini terhenti, berganti jalur beriringan bersama Papa. Siapa yang tahu Tuhan punya rencana yang jauh lebih bermakna. Kudengar bisik lembut takbir di telinga. Mama. Matanya berembun, namun jelas bibir itu mengembangkan senyum.

“Kamu sembuh Nak. Operasimu berhasil.” Kami tenggelam dalam kebahagiaan. Ribuan syukur dipanjatkan.

****

Hujan malam ini mengantarku pada kenangan bulan Maret. Tentang ia yang mengajariku mencintai hujan. Dia, Ghibran Ananta pembawa cinta sekaligus kecewa. Apapun itu, aku pernah mencintainya. Pernah menjadi pelipur lara dan alasan mengapa aku harus bangkit meski tak lagi bersama. Ucapan terima kasih terindah untuk dia dan kekasih barunya. Aku meraba dingin di kaca jendela, menerawang mesra kota.

Dan malam ini menyusut di antara sisa dialog kita. Kopi kian tertinggal ampas bersama kenangannya. Suatu hari, kita dan udara pernah menghangat tuk berbagi cerita. Dan bagiku, bersamamu adalah nyala api tentang rindu yang sederhana. Sebentar lagi nyala pagi berkuasa. Titipkan saja segala cerita pada ruang atma. Atau pada kerlip bintang di penghujung malam buta. Mungkin esok ketika kota kita tak lagi dihiasi mendung dan tak ada lagi tentang kita. Biarlah pahit membanjiri sepi. Agar kita memahami, bahwa cinta tak selamanya memiliki.

****

-28 Agustus 2020-

Burung-burung selalu bisa pulang ke rumah. Mereka menyimpan jejak di udara, menandainya dengan bait cinta, dan kembali dengan hasil yang dinanti buah cinta. Manusia selalu bisa kembali lewat ingatan, di mana kesadaran seutuhnya menjadi patokan. Jejak itu tersimpan di kepala, dijalankan nurani sebagai indra. Sejauh apapun, ia akan menemukan rumah yang menantinya pulang.

Hari ini sebuah berita kembali menghidupkan harapan. Aku diterima di Universitas ternama setelah lika-liku rasa, mimpiku satu per satu menampakkan titik terangnya. Perihal sakit, hal yang patut aku syukuri kepada yang Maha Kuasa. Aku sembuh. Benar-benar sembuh seperti sedia kala. Bergelut dengan aktivitas baru, orang-orang baru, cerita baru, mimpi-mimpi baru. Sejatuh apapun kamu, percayalah Tuhan selalu punya tujuan terbaik dibalik rasa sakit yang dititipkan-Nya. Kuatlah dan selalu berjuang.

Kita bukanlah apa-apa. Sebatas gerak menuju kata tiada. Nanti, bila tua telah dirasa. Yang dirindukan bukan genang bahagia di ufuk senja. Tapi jalan berliku disertai pilu, sahabat karibmu, dan mimpi-mimpi yang menggagasimu.

Pada akhirnya, kita akan tahu betapa menariknya hidup ini. Bukan perkara eksistensi atau dulu-duluan menyelesaikan studi. Kesadaran dengan tegas mengatakan, kita bukanlah cahaya pada gulita, tapi meremang di antara gelapnya. Berkelana menyusuri batas putih, redup tapi tetap hidup. Untuk kita si perajut harapan, jangan berhenti. Meski hari-hari hanya rangkaian dari kalkulasi, namun bukan berarti hidup tak punya arti.

NB: Efemeral adalah keadaan yang berlangsung sebentar saja atau tidak kekal. Dalam konteks sederhana efemeral adalah sebuah kefanaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.