Instagram @kemalpahlevi
Opini

Mahasiswa atau Mahasewa?

Oleh: Choerul Bariyah

Mahasiswa merupakan anak-anak bangsa yang biasa disebut sebagai Agent of Change, sehingga mahasiswa sangat diharapkan mampu mengemban amanah dan tanggung jawab untuk membawa bangsa ini menjadi lebih baik. Dunia mahasiswa adalah masa transisi yang paling vital dalam pencarian eksistensi jati diri mereka.


Mahasiswa seringkali dituntut untuk berpikir kritis, terbuka dan melebarkan cakrawala pengetahuannya. Secara hakikat semua itu bertujuan untuk menjadikan mahasiswa sebagai makhluk sosial yang peka terhadap permasalahan di sekitarnya, serta menemukan eksistensi dari jati diri mereka.


Namun, untuk mencapai tingkat eksistensi tentunya tidak serta merta. Banyak hal yang harus dilalui, misalnya tergabung dalam wadah yang disebut organisasi atau komunitas. Disanalah para mahasiswa akan terus menggali potensi, mengkaji diri dan menyelami kehidupan perkuliahan dari sudut pandang yang berbeda. Dalam pencarian jati diri ini, terkadang mahasiswa masih goyah, belum tetap pada pendirian. Masih mengedepankan idealisme, belum berfikir secara mendalam. Hal inilah yang sangat perlu diperhatikan oleh mahasiswa dalam proses pencarian jati diri.


Kalau kamu sendiri, apa pendapatmu tentang mahasiswa? Tukang demo? Pembela rakyat? Seleb Tik Tok? Atau orang dengan segudang prestasi?


Tukang demo? Mendengar kata demonstrasi mahasiswa, hal pertama yang langsung teringat adalah peristiwa 11 April 2022 kemarin. Ya benar sekali, baru-baru ini sekumpulan mahasiswa yang mengatasnamakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kembali melakukan aksi demonstrasi guna menyuarakan aspirasinya. Di Indonesia, gerakan mahasiswa sendiri sudah ada sejak 1908 hingga melebar di era reformasi. Aksi demonstrasi terbesar dilakukan oleh para mahasiswa pada 1998 saat menumbangkan rezim Soeharto. Pada waktu itu, demonstrasi adalah citra baik bagi mahasiswa. Mahasiswa dianggap sebagai pahlawan bagi masyarakat, yang pikirannya luas serta menjadi tameng besi yang melindungi.


Eitsss, tapi itu dulu. Saat ini, menurut beberapa pengamat, seperti Denny Siregar. Demonstrasi mahasiswa seringkali hanya sekedar gaungan orasi, tuntutannya lari kesana-kemari bahkan banyak dari mahasiswa yang tidak paham betul tujuan utama dari mereka melaksanakan aksi demonstrasi.


Demo 11 April kemarin dilakukan untuk menolak wacana penundaan pemilu 2024 juga menentang perpanjangan masa jabatan Presiden serta tuntutan lain seperti naiknya harga bahan pokok. Jika dilihat secara kasat mata, tujuan demonstrasi ini baik. Sayangnya beberapa perlakuan mereka menjadi sorotan karena dianggap tidak mencerminkan seseorang yang bergelar mahasiswa. Beberapa aspirasi mereka yang menjadi kontroversi karena dianggap vulgar.


Seperti aksi demonstrasi pada umumnya, mahasiswa menyuarakan aksinya selain melalui orasi juga dengan poster-poster dengan unsur satire bertujuan menyindir pihak yang dituju. Sayangnya, beberapa menarik perhatian dan jadi viral karena menganalogikan berbagai protes dengan sesuatu yang berbau seksual.


“Daripada BBM naik, mending ayang yang naik”


“Lebih baik bercinta 3 ronde daripada harus 3 periode”


“Stop peras duit rakyat, sesekali peras adek dong pak”


Sekilas dari pesan di atas, terlihat biasa saja seperti poster-poster satire yang sering ditemukan disaat demo. Namun kalimat dan diksi yang dibangun, merujuk pada hal-hal seksual. Tidak heran, komentar yang terbangun di media sosial menilai, pesan tersebut tidak mencerminkan seseorang yang berpendidikan. Alih-alih mengkritik melalui pesan satire, yang dipertanyakan justru etika dalam pesan tersebut. Esensi demo menjadi terkotori oleh hal-hal sepele seperti ini.


Salah seorang demonstran yang membuat poster itu memberikan penjelasan lewat akun media sosialnya. Mahasiswi tersebut mengaku memilih kata ‘ronde’ karena berasonansi dengan ‘periode’. Ia mengakui jika tulisan di posternya sedikit tabu dan bisa saja terdengar asing untuk orang-orang yang bukan anak sastra. Hal ini secara terang-terangan dibantah oleh @grangerzmn di akun tik tok nya. Ia membantah jika hal seperti ini disebut sebagai produk sastra mengapa kesannya seperti miskin diksi dan ide. Apakah memang tidak ada statement lain yang lebih representatif terhadap tuntutan demo yang juga mengandung asonansi?


Bahasa menggambarkan identitas penulisnya, seperti halnya pakaian memberikan kesan pada si pemakainya. Orang jadi bertanya-tanya, apakah seorang mahasiswa isi kepalanya hanya seks saja. Terlebih lagi yang memegang poster itu adalah seorang perempuan, terlepas ia atau bukan yang menulis itu. Imbas selanjutnya yaitu pada almamater. Dengan berpose menggunakan almamater, otomatis sedang membawa nama almamater dalam penyampaian pesan tersebut.


Pada akhirnya, citra mahasiswa menjadi kurang baik dimata masyarakat. Poster satire memang bagus digunakan untuk menyampaikan suatu pesan. Tetapi perlu diperhatikan juga kaidah etika agar esensi demo tidak terkotori oleh hal-hal seperti ini. Selain penyampaian pesan saat demonstrasi, kegiatan demo harus memiliki tujuan yang tegas dan jelas. Meruncing pada tuntutan yang dituju dan tidak mudah terprovokasi pihak luar. Demo bukanlah hal haram yang dilakukan oleh mahasiswa, namun perlu kajian lebih dalam mengenai hakikat mahasiswa yang sebenarnya.


“Jadi mahasiswa itu harus cerdas, harus punya sikap dan pendirian yang jelas, jangan mau diombang-ambing oleh mereka yang punya kepentingan”, begitu kata Denny Siregar. Dalam proses pencarian jati diri, carilah hal-hal yang arah tujuannya jauh lebih jelas. Berikan bukti bahwa kalian berhasil melakukan penelitian yang membanggakan negeri. Kalau pengen keren. Ikutlah perlombaan mahasiswa sedunia dengan membawa karya yang beken. Jangan sampai ada pertanyaan, anda ini mahasiswa atau mahasewa hanya karena mudah termakan fraksi dari sana-sini.


Gimana menurut kalian?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.