Feature

Perbedaan Jatuhnya Bulan Suci Ramadan

PekalonganJurnalphona.com Bulan Ramadan menjadi bulan yang dinanti oleh setiap umat muslim, dimana pada bulan ini terdapat banyak ibadah yang dijadikan sebagai sumber pahala. Senin, (04/05)

Jatuhnya Bulan Ramadan tahun ini terjadi perbedaan pendapat, ada 2 versi yakni menganggap jatuhnya pada hari sabtu tanggal 2 april 2022 dan juga versi kedua yaitu jatuhnya bulan ramadhan pada hari ahad tanggal 3 april 2022. Menurut LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) memang sudah diprediksi adanya 2 versi di tahun ini.

Sebagai orang awam tentu saja perbedaan ini menjadi pertanyaan besar, bagaimana mungkin terjadinya tanggal 1 ramadan ini terjadi dua kali. Secara hakiki tanggal 1 hanya terjadi sekali saja. Namun mana yang benar dan mana yang salah itu kita tidak tahu. Maka, kebenaran sesungguhnya tidak dapat ditentukan, karena kebenaran hanya milik Allah. Dan kebenaran kita adalah kebenaran relatif. Hal ini selaras dengan Sam’ani Sya’roni selaku pembicara di acara kultum FUAD.

“Kita ambil kaidah ketika para ulama sudah berijtihad dan ijtihadnya benar, maka akan mendapatkan dua pahala. Tetapi jika ijtihadnya salah, maka akan mendapatkan satu pahala, berarti tidak ada yang dosa. Dan ketika terjadi dua perbedaan, sebetulnya ada yang salah dan ada yang benar, tetapi terkait yang benar dan yang salah siapa itu yang mengetahui hanya Allah SWT. Maka dengan bahasa lain tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar.”

Jatuhnya bulan Ramadan biasanya berdasarkan posisi hilal, yang mana hilal sendiri dapat diartikan sebagai bulan tsabit atau bulan baru yang terlihat hanya sebaris saja atau dalam bahasa Jawa disebut sak clirit. Dan kemarin menurut para ahli ilmu falak, hilal berada di bawah 2 derajat. Kecuali yang berada di pelabuhan ratu itu berada pada 2 derajat lebih sedikit.

Adapun 2 versi tersebut adalah yang pertama wujudul hilal yaitu penanggalan yang jika sudah ada wujudnya hilal, walaupun hanya terlihat 1 derajat saja maka sudah mulai bulan baru. Kemudian, versi yang kedua yaitu penanggalan berdasarkan ru’yatul hilal, yaitu penanggalan berdasarkan pada pengelihatan bulan atau dalam bahasa Jawa disebut dengan nginjen rembulan. Menurut peneliti LAPAN, Thomas Djamaluddin pada tahun ini tidak mungkin bulan bisa terlihat karena kalah dengan cerahnya syafaq. Syafaq sendiri artinya mega merah, Sementara kriteria posisi bulan terbaru dari MABIM (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura) yaitu bulan baru bisa dilihat minimal 3 derajat dengan elongasi 6,4. Maka dengan keadaan bulan yang hanya berada pada posisi 2 derajat kurang, belum bisa memasuki bulan baru atau bulan ramadan. Ketika ada yang mengaku melihat pun, kementerian agama punya alasan untuk menolak berdasarkan ilmu astronomi.

Sebetulnya rujukannya sama yaitu salah satu riwayat menyebutkan kalau mendung dan tidak tampak maka disuruh untuk menyempurnakan bulan Sya’ban yaitu 30 hari. Namun ada riwayat lain mengatakan seandainya tidak nampak maka disuruh untuk memperkirakan, nah maka dari itu sebagian ulama memutuskan untuk mengambil metode hisab. Ini merupakan faktor yang menjadikan perbedaan jatuhnya awal bulan ramadan.***

Penulis: Evi Alfa Rouziyah

Reporter: Salsa Sabila, Rahma Hidayah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.