Rasa dan Lara
Karya: Rismawati
Saya kira, kamu dan saya akan selalu bersama. Lama kita berdua saling mengenal dan ternyata datang juga kata ‘selamat tinggal’. Haha.
Hari itu kamu menemui saya dan meyakinkan saya bahwa hidup itu bukan tentang berhasil dan gagal. Bukan tentang selamat dan semangat. Bukan selalu tentang bahagia dan luka. Namun, hidup itu adalah cara kita bisa menerima apa yang terjadi pada diri kita. Bisa mengucap syukur meski diberi sebuah ‘kegagalan’, mungkin saja sesuatu yang kita anggap ‘kegagalan’ adalah sebuah keberhasilan menurut orang lain. Hidup itu adalah bagaimana cara kita menjalani sebuah permainan kehidupan dengan enjoy. Hidup itu sebuah cara kita dalam memanfaatkan sebuah luka menjadi kebahagiaan. Kita belum bisa hidup kalau kita belum bisa memaknai hidup seperti itu. Kita sudah mati, kalau kita berhenti memaknai hidup seperti hal itu.
Kamu janji akan mengajarkan kepada saya agar saya bisa memaknai hidup seperti yang kamu ucapkan. Kamu bilang, kamu akan selalu bersama dengan saya. Namun, malam itu kamu datang dan mengucap,
“Maaf, hari ini hari terakhir kita berjumpa. Selamat tinggal dan semangat untuk terus berjalan. Saya pamit untuk pergi.”
Hati saya hancur mendengar itu, saya tak bisa berkata-kata. Saya hanya tersenyum menahan tangis dan kamu tiba-tiba memeluk saya. Dengan tega kamu melepas pelukanmu dan berjalan bersama hujan yang melebur dengan air mata saya. Kamu tega membiarkan saya berjalan sendiri tanpa arah. Sejujurnya saat itu saya masih butuh kamu. Saya masih ingin kamu ada di sisi saya.
Dua tahun berlalu kamu tak ada kabar setelah kejadian itu. Apa kabar kamu? Saya rasa sekarang kamu sudah cukup lebih sabar ya dalam menjalani sebuah komitmen. Tidak seperti saat bersama saya, kamu pergi saat rasa penasaranmu sudah selesai, mungkin. Hehehe. Sekarang saya sudah lebih dewasa, lho. Sedikit-sedikit mulai bisa memaknai hidup seperti yang dulu kamu bilang. Luka yang kamu berikan kemarin itu, saya balik menjadi sebuah kebahagiaan bagi saya. Tahu kenapa? Ya, karena saya masih bisa mengucap syukur atas kembalinya kesadaran bahwa saya masih bernapas dengan baik. Tidak seperti dulu saat kamu menemani saya. Saya yang hampa, saya yang berpikir bahwa napas yang saya hembuskan hanyalah napas palsu yang tercipta karena hadirmu. Makanya saya kurang bersyukur dan kurang merasa bahagia.
Hah! Rasanya sangat aneh, hari itu baru saja saya memikirkanmu di depan teras. Kamu datang, kamu tersenyum menatapku, kamu…. Saya merasa saya sedang mimpi sekarang.
“Hai,” ucapmu.
Saya mendengar lagi suaramu. Saya tidak bermimpi, kamu membelai rambut saya, dan bertanya,
“Semua baik?”
Rasanya saya masih belum bisa sadar sepenuhnya.
“Saya kembali untuk menemuimu. Sepertinya semua berjalan dengan baik, benar?” Lanjutmu.
Saat itu, saya ingin menanyakan banyak hal mengenai kepergianmu saat itu. Namun, hanya kalimat,
“Semua berjalan dengan baik.” Yang sanggup saya katakan padamu.
Kamu menarik tangan saya untuk pergi bersamamu, entahlah kenapa saya menurut saja saat itu. Taman, ternyata kamu mengajakku ke taman yang dulu sering kita kunjungi. Saya amati, ternyata sekarang taman itu sangat sepi, hanya ada dua bangku dan rumput liar yang panjang serta beberapa pohon di sana. Tak ada mainan anak-anak, tak ada penjual makanan, tak ada penjual minuman, bagaikan taman yang tak hidup.
“Hei! Berhenti melamun, sekarang dengarkan penjelasanku.” Ucapnya sembari menghembuskan napas.
“Aku tahu kamu pasti ingin meminta penjelasan mengenai kepergianku dulu, tapi tak bisa karena egomu menghalangi untuk bertanya. Hahaha. Sifat burukmu itu ternyata belum hilang,” lanjutnya.
Saya hanya menatap wajahnya sembari tersenyum kecil, ternyata dia masih ingat tentangku.
“Saya ingin berkata jujur padamu. Saya pergi meninggalkanmu bukan karena saya tak suka di sampingmu.” Jelasnya.
“Lalu kenapa? Oh saya tahu, pasti karena rasa penasaranmu sudah terobati. Makanya kamu pergi saat itu? Kamu jahat, kamu benar-benar sangat jahat.” Kataku yang sudah tak kuat menahan tangis.
“Maaf. Tolong maafkan saya meski saya tahu, mungkin kata maaf tak akan pernah bisa mengobati rasa sakit yang pernah kamu rasakan.” Katanya.
Aku diam menunggu dia melanjutkan semua kalimatnya.
“Saya gay.”
Aku terkejut, sangat terkejut. Laki-laki yang selama ini saya banggakan dan saya anggap sebagai laki-laki paling gentleman ternyata gay.
Dia melanjutkan kalimatnya,
“Saya tidak bisa mencintaimu saat itu, saya tahu kamu cinta saya. Saya takut kalau saat itu kamu tahu, kamu akan jijik pada saya. Sekarang saya sadar, saya harus bisa menerima segala konsekuensi atas segala sesuatu yang ada pada diri saya. Saat itu, saya menjalin hubungan dengan teman satu apartemen saya. Hubungan kami sudah cukup lama, jauh sebelum saya mengenalmu.” Dia menghela napasnya dan tersenyum menatap saya.
“Ekhem, lalu sekarang bagaimana?” Tanya saya.
“Sekarang kami sudah kembali ke jalan yang benar, dia sudah menikah dengan wanita yang dia cintai dua bulan yang lalu. Saya pun sudah mulai sedikit demi sedikit bisa menyukai perempuan.”
Saya meraih tangannya, saya usap lembut.
“Saya yakin kamu bisa berubah. Maaf karena saya sempat berpikiran negatif tentang kepergianmu.” Ucap saya.
Dia tersenyum sangat manis, senyum yang sangat jarang dia munculkan.
Hari demi hari berlalu semua berjalan dengan sangat baik. Saya dan dia sudah bertunangan. Saya akhirnya membuka pintu hati untuknya dan dia mulai bisa mencintai saya. Dua minggu lagi kami memutuskan untuk menikah, ini adalah hari sibuk kami untuk mempersiapkannya. Dia pergi berbelanja perabotan rumah dan saya memilih cincin pernikahan kami. Saat asyik memilih tiba-tiba ada seorang wanita datang dan mengatakan bahwa dia adalah pacar dari Andre, ya nama dia adalah Andre. Saya terkejut dan tidak percaya tapi dia menunjukkan semua bukti-buktinya. Ternyata benar, Andre punya hubungan dengan perempuan itu. Saya menelepon Andre supaya dia datang ke tempat kami. Benar saja, raut wajahnya panik.
Saya hancur untuk yang kedua kalinya. Saya marah, kecewa, sedih, tak mau lagi percaya pada dia. Lama kami bertiga berdebat di toko perhiasan, saya pikir Andre akan memilih saya, nyatanya tidak. Dia malah memilih perempuan itu dan meninggalkan saya sendiri. Saya sudah lelah, rasanya hidup benar-benar tak berguna. Saya lari ke luar toko, berlari dengan air mata yang tak bisa saya hentikan.
Tanpa arah. Saya tak tahu harus ke mana. Haruskah saya pergi ke rumah? Bahkan segala yang saya anggap rumah justru selalu menjadi luka bagi saya. Saya tak punya siapa pun, apa pun, semua saya berikan pada lelaki bajingan itu. Bodoh. Saya hanya bisa mencaci diri sendiri. Tanpa arah saya berlari dengan segala runtuh yang ada pada diri saya dan bahkan langit pun merasakan tangis saya. Hujan tiba-tiba datang seakan-akan memeluk saya.
Semenjak itu, akhirnya saya tahu bahwa tak semua rencana akan terlaksana dengan baik, semua harapan tak selalu terealisasi. Segala rasa lara yang pernah saya alami membuat saya semakin kuat dalam menjalani hidup dan memaknai hidup dengan baik.