Cerpen

Dua Jam Terakhir Kita

PUKUL 19.00
Bak mandi dihadapanku kini sudah terisi penuh. Namun tanganku tak sedikitpun berminat untuk menciduk air kemudian mengguyurkan pada tubuhku. Akhir-akhir ini entah mengapa berdiri melamun sambil bertelanjang di kamar mandi menjadi sebuah keharusan setelah lelah dengan aktivitasku seharian. Lebih tepatnya merenungkan beberapa kali aku membuat kesalahan dalam pekerjaan karena seseorang mengganggu pikiranku.
Genta, satu-satunya lelaki yang membuatku jatuh cinta setelah ayahku, bahkan seharusnya dia memberiku kabar sejak dua minggu lalu. Kalau dia akan datang menemui kedua orangtuaku untuk sebuah restu. Nyatanya ia menghilang bagai tertelan bumi. Tidak ada sebuah pesan, panggilan, bahkan temu yang menunjukkan kalau ia akan datang.
Ia memang sedikit pelupa. Pernah saat lima bulan pertama hubungan kita, ia janji akan menjemputku saat aku sedang bekerja di luar kota yang kebetulan kepulanganku tepat sebelum weekend. Ia merencanakan untuk menjemputku kemudian pergi berlibur. Namun ia lupa, aku bahkan seharian menunggunya sendirian di kota orang. Malamnya ia datang dengan tertawa terbahak, dan aku? Entah ia memiliki pelet apa, aku bahkan tidak bisa untuk marah padanya.
Kulanjutkan mandiku setelah puas melamun membuat telapak kakiku terasa nyeri. Hingga sebuah ketukan di pintu kamar mandi menghentikan cidukan airku. Aku menyelesaikan mandiku dan langsung keluar melangkah mencari seseorang yang mengetuk pintu yang kupikir jika itu ibu, karena ayah bahkan tidak tahu kata sandi apartementku ini.
Langkahku seketika terhenti. Kulihat di sudut sofa, senyumnya mengambang sempurna saat melihatku muncul dari balik lemari yang menghalangi antara sofa dan kamar tidurku. Ia menatapku lekat dan kakiku melangkah mendekatinya seperti ada sesuatu yang menarik kakiku.
Kita hanya sama-sama terdiam setelah kududukan bokongku di sebelahnya. Ia tidak mencoba mengajakku berbicara. Kulihat ia hanya terus tersenyum tanpa merasa pegal. Kemudian aku bangkit, membuatkan kopi Americano kesukaannya untuk mencairkan suasana.
Kududukan lagi bokongku disampingnya setelah meletakkan dua gelas Americano di meja. Aku teringat tentang janjinya akan menemui kedua orangtuaku. Ia tak mencoba untuk membuka mulutnya dan menjelaskan tentang maksudnya yang datang seperti ini tanpa memberiku kabar sebelumnya.
“Kamu ingat janjimu? It’s okay, kalau kamu baru datang sekarang.” Suaraku terdengar sangat keras. Bahkan deru nafasku cukup terdengar.
Ia masih saja diam. Kali ini senyumnya hanya segaris. Mulutnya masih terkatup, tidak kulihat tanda-tanda jika ia akan mengucapkan sesuatu. Aku mendesah pelan, kemudian menyesap Americanoku perlahan.
Aku juga memilih untuk diam. Mungkin ia hanya ingin menikmati kesunyian di apartementku yang biasanya terdengar berisik dengan mulut bawelku atau tawanya yang nyaring.
Kita tak pernah saling diam jika bertemu. Dua tahun ia selalu mau mendengar mulutku yang selalu bicara yang tak penting. Ia masih selalu mengeluarakan jokes garingnya dan tertawa nyaring kemudian aku ikut tertawa.
Apartement ini tidak pernah kehilangan suara kita sekalipun. Ada saja bahan obrolan yang tidak pernah membosankan. Atau tawa renyahnya yang lebih sering ku dengar saat ia bercerita. Harinya seperti tidak ada yang ia tertawakan.
Ia bahkan tidak menyentuh Americanonya sama sekali. Padahal buatanku adalah salah satu favoritnya. Mungkin ia memang hanya ingin diam, dengan segaris senyum dan terus menatap lurus ke arahku. Padahal mulutku gatal ingin meneriakinya mengapa datang hanya untuk diam saja bagai patung.
PUKUL 20.00
Aku bangkit lagi. Melangkah menuju dapur. Mungkin sesuatu yang manis bisa meningkatkan moodnya. Atau apapun asal ia tidak hanya diam di sudut sofa.
Kusiapkan bahan untuk membuat puding caramel di pantry. Sebenarnya itu makanan kesukaanku. Aku tidak tahu harus membuat apa. Karena puding caramel  adalah satu-satunya buatanku yang terbaik. Aku pikir rasa manis bisa membuatnya lebih baik.
Ia selalu suka apapun yang aku buat. Namun hanya beberapa saja yang menjadi favoritnya. Ia sudah menghindari makanan manis setahun terakhir dan aku baru berhasil membuat puding caramel terbaikku tepat saat ia bilang kalau berhenti memakan sesuatu yang manisnya berlebihan. Mungkin kali ini kesempatanku untuk bisa membuatkan puding caramel yang sudah lama aku impikan bisa dirasakan olehnya.
Aku menengok sofa yang ia duduki tadi. Tidak ada sosoknya di sana. Aku mengalihkan pandanganku ke meja makan. Kulihat ia ternyata sudah duduk manis dengan senyum segarisnya sambil menatapku lekat. Aku tersenyum simpul padanya.
Aku melanjutkan aktivitas memasakku kembali. Kuaduk semua bahan yang perlu diaduk untuk membuat puding. Sesekali aku melihat kearahnya. Ia tak pernah berhenti tersenyum. Bahkan tatapannya masih lurus kearahku. Aku juga sesekali tersenyum padanya. Entah apa yang membuat aku juga hanya sama-sama terdiam. Beberapa kali ingin mengatakan sesuatu, selalu seperti ada yang menahanku untuk berbicara.
PUKUL 19.15
Puding caramelku sudah siap untuk di makan. Kuletakan piring dihadapannya. Matanya masih terus menatapku lekat. Ia bahkan tak melirik sedikitpun puding yang sudah kuhidangkan dihadapannya. Matanya bahkan tak pernah terlihat berkedip. Ia hanya terus menatapku dengan segaris senyum.
Aku memilih untuk menatap matanya. Mungkin di sana aku bisa mendapatkan sesuatu. Entah ia lelah dengan pekerjaannya atau bimbang dengan keputusan untuk menemui kedua orangtuaku. Namun nihil. Tatapan matanya kosong, bahkan aku tak melihat diriku pada bola mata hitamnya.
PUKUL 21.00
Dering dari ponselku menyadarkanku dari keguasaran pada matanya terdengar cukup nyaring dari balik pintu kamar tidurku. Kulangkahkan kaki meninggalkannya yang masih saja terus menatapku tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Bahkan suara deru nafasnya tidak terdengar sama sekali dengan kesunyian apartementku ini.
Kulihat nomor yang tidak ku kenal pada layar ponselku. Kugeser layar ponselku ke kiri untuk mengangkatnya.
“Halo? Dengan saudari Jemima?” Suara tegas lelaki terdengar pada ponselku.
“Ya, saya sendiri pak. Bagaimana ya, pak?”
“Saya dari kepolisian. Kami menemukan mayat pak Genta setelah sekitar dua minggu…” suara polisi itu sudah tak terdengar jelas lagi. Tubuhku ambruk perlahan. Bahkan tanganku tak mampu untuk menggegam ponselku. Tangisku pecah seketika.

Oleh ~ Fitri Indriana ~

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.