Ilustrasi Penulis/Jawapos.com
Cerpen

Menjadi Penulis

Karya: Rahma Hidayah

Hari ini cuaca lumayan menarik. Matahari tidak terlalu nampak sepenuhnya. Awan tengah berselimut dibawah langit biru yang indah. Sesekali aku menampakkan senyum manis di bibirku. Menikmati suasana dengan tenang sambil memutar lagu dari handphone, duduk diam di halte menunggu angkutan umum lewat.

Oh ya, aku Zahira Bidhari, biasanya orang-orang yang telah lama kenal memanggilku Hira. Aku seorang mahasiswi semester 4.

“Ish, kok lama banget sih ini” gerutuku, lalu melirik sekitar ternyata banyak orang yang juga menunggu angkutan umum sepertiku.

Waktu kian berlalu, rupanya sudah 20 menit aku di halte ini. Hal yang membuatku di sini adalah adanya kuliah pagi, sengaja tidak menggunakan motor seperti biasanya karena masih di service. Tak lama angkutan umum berwarna biru datang, orang-orang langsung menyerobot masuk. Sedikit ngeri melihatnya, apalagi badanku kecil takut kejepit. Setelah dirasa aman aku pun buru-buru mengambil alih agar kebagian tempat duduk. Kemudian angkutan melaju membelah jalanan kota yang belum terlalu padat.

Sesampainya di kampus, aku bergegas duduk lalu membuka buku tebal yang selalu aku bawa beberapa hari ini. Setiap gesekan lembaran terdengar kala aku membukanya dari halaman ke halaman lain. Tidak peduli dengan keadaan sekitar, fokusku hanya tertuju pada buku yang sedang ada di tanganku sekarang ini.

Jujur aku memang suka membaca, tapi bacaan yang aku sukai ini ranahnya menjurus ke buku fiksi. Dari masa SMA, awal aku sudah menyukai buku-buku yang berbau ke fiksi, seperti novel. Setiap tulisanya membuatku tertarik untuk lebih memahaminya. Banyak makna dan pelajaran yang bisa diambil setelah selesai membacanya. Dari saat itu juga aku mempunyai impian, yaitu aku ingin menjadi penulis terkenal.

Menjadi penulis memang bukan perkara yang mudah. Ada proses panjang yang harus aku jalani.

“Impian itu masih ada hingga saat ini, aku harus bisa mewujudkannya.” Cicitku menerawang jauh di sana.

Senja telah berlalu, berganti malam yang senyap. Kini aku sedang berada di kamar. Sedari tadi aku berselancar di media sosial. Mencari lomba-lomba yang bisa untuk aku ikuti. Tidak ada salahnya kan jika aku mulai dari sini?. Walaupun sebenarnya aku sering membuat novel di aplikasi orange yang banyak diminati remaja-remaja perempuan. Pembaca ceritaku baru 1 ribuan dengan vote yang masih sedikit. Namun, karena kesibukkanku novel yang aku buat masih belum bisa aku selesaikan sampai sekarang. Dari saat itulah aku mulai ketagihan membuat cerita-cerita. Mulai dari novel, dan sekarang ingin mencoba menulis cerita pendek.

Menyusun dan merangkai kata-kata menjadi kalimat sesuai dengan apa yang menjadi ideku adalah sesuatu yang paling aku suka. Berimajinasi berdasarkan pengalaman pribadiku sendiri dan teman-temanku. Aku sangat suka menulis, menurutku dengan menulis bisa menyalurkan perasaan apa yang dirasakan. Lagi pula aku tipe orang yang pemalu jika harus banyak omong, karena itu dengan kebiasaanku ini yang suka menulis, menurutku sangat bermanfaat sekali untukku.

Aku mengakui skill menulisku masih jauh dari kata ahli. Terkadang, aku sering kesusahan mencari ide jika tiba-tiba pikiranku ini berhenti mendadak. Bisa dibilang aku penulis baru ditahap naskah. Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk sekarang ini.


Keesokan harinya, seperti biasa aku berangkat kuliah. Pagi ini aku begitu semangat dengan senyum yang lebar aku berjalan di karidor kampus. Jangan mengira aku ini gila karena tersenyum lebar sedari tadi. Padahal aku sedang membaca novel di aplikasi orange kegemaranku. Jujur saja dari membaca novel-novel seperti ini membuat pengetahuanku kian bertambah, banyak kosa kata baru yang aku dapatkan, dan tentunya semakin banyak referensi. Bisa sampai berjam-jam aku membaca novel agar sampai ending.

Karena terlalu asik, aku sampai tidak sadar bahwa aku menabrak seseorang. Ku lihat siapa yang aku tabrak ternyata seorang cowok berperawakan tinggi. Tatapannya yang tajam membuat nyaliku ciut seketika. Aku melirik kearahnya secara diam-diam, tapi sialnya cowok itu tau kalau aku lihatin dia dari tadi.

“Kalau jalan itu yang bener! Jangan main handphone mulu.” Sarkasnya dengan mata yang masih tajam.

“Iya Mas. Saya minta maaf yah udah nabrak masnya” balasku karena merasa bersalah.

Tanpa menunggu lagi, dia langsung pergi. Aku pun langsung pergi juga. Takut mas-mas tadi datang lagi kan gak lucu.

Tak terasa sekarang sudah pukul sepuluh, harusnya aku sudah sampai di rumah seperti biasa. Tapi, karena temanku Bila, minta ditemani ke kantin jadinya di sinilah kita sekarang. Kantin kalau jam segini sangat ramai, tempat duduk hampir penuh semua membuatku pusing melihatnya. Untung Bila gercep, jadi kita bisa kebagian tempat duduk.

“Hir, perkembangan novel kamu yang waktu itu gimana?” tanya Bila tiba-tiba.
“Alhamdulillah aman Bil, sekarang aku mau ikut lomba online. Doain yah!” balasku pada Bila.

“Pasti itu mah, semoga kamu mendapatkan hasil yang baik ya Hir.” Ini yang aku suka berteman dengan Bila. Dia selalu positif vibes dan selalu mendukung.

Cukup lama kita berbincang-bincang, sampai akhirnya kita memutuskan untuk pulang. Kebetulan sudah tidak ada mata kuliah lagi, daripada di kampus luntang lantung gak jelas.


Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar, dan bergegas mandi. Cukup melelahkan rasanya dan aku ingin sekali tidur siang. Belum sempat aku merebahkan diri tiba-tiba pintu kamar terbuka. Terpampanglah anak kecil laki-laki yang sangat menggemaskan siapa lagi kalau bukan adikku. Kalau adikku sudah datang, pasti bakalan ngerusuh nih.

“Kakak, kakak” panggilan menggemaskan dari adikku, namanya Gibran.

“Kenapa?” tanyaku, aku mulai was-was, pasti ada maunnya nih bocil.

“Tayo kak, Gibran mau nonton tayo.” Tuhkan udah aku duga.

“Tapi nonton tayonya gak boleh lama-lama yah. Nanti dimarahin ibu loh kamu,” ujarku sambil mendudukannya dikasur dia pun mengangguk-anggukkan kepalanya lucu.

10 menit berlalu, aku pun langsung sadar bahwa aku harus membuat part ceritaku diaplikasi orange biar gak gantung, para pembaca ku udah pada tanya-tanya kapan dilanjut ditambah lagi ada tugas kuliah yang harus aku selesaikan segera.

“Gibran, udahan ya. Handphone kakak mau buat nugas dulu,” ujarku.

“Gak mau, mau tayo kak” katanya dengan mata yang masih fokus ke handphone. Lalu tanpa lama aku langsung menggendongnya, membawanya kepada ibuku.

“Bu, ini Gibran gangguin aku yang mau nugas. Mintanya tayo terus” aduku pada ibu. Kemudian ibuku langsung mengambil alih Gibran dan menggendongnya.

Hingga sore, aku masih berkutat didepan laptop. Aku membuka sebentar ponselku ternyata ada banyak chat dari grub dan Bila. Aku abaikan chat dari mereka, karena nyatanya fokusku sekarang tertuju pada notif novel di aplikasi orange yang kemarin aku baca. Aku langsung membacanya sebentar sebelum kembali melanjutkan tugas. Mataku dengan jeli membaca bait perbait cerita. Saat dipertengahan cerita, ada yang membuatku senyum-senyum sendiri membacanya lalu disusul ketawa ngakak karena ada bagian adegan yang menurutku lucu.

“Ibu, kakak aneh bu. Kaya orang gila” teriak Gibran.

Aku tidak dengar apa yang Gibran katakan, karena aku sangat fokus tidak mau diganggu.

“Bagusss, katanya ngerjain tugas kuliah, ini malah senyum-senyum terus ketawa-ketawa sendiri kaya orang gila. Pasti lagi chatan sama pacar kamu kan!” suara melengking dari ibuku membuat aku terlonjak kaget.

“Astagfirullah ibu, jangan teriak-teriak aku lagi fokus nih.”

“Ngapain tadi senyum-senyum sendiri hah? Lagi pacaran kan? Ngaku kamu!”

“Enggak bu enggak!”

“Sini coba ponsel kamu ibu mau lihat”

“Et gak boleh ini rahasia.”

“Tuhkan kamu pasti pacaran. Kan, ibu udah bilang kamu gak boleh pacaran.”

“Ihhh siapa juga yang pacaran. Ibuku yang cantik jelita, emangnya kalau senyum senyum sendiri sambil liatin ponsel itu dikira punya pacar?” tanyaku pada ibu.

“Yaiyalah, gimana sih”

“Aduhhh sabar. Kata siapa sih itu? Konsep dari mana coba. Mana ada kaya gitu.” Langsung saja aku kasih ponselku ke ibuku daripada makin salah paham bisa makin gawat.

“Gimana bu percaya kan kalau aku gak pacaran? Aku tuh lagi baca novel tau”

“Iya iya ibu percaya. Ngomong-ngomong itu kamu bacanya dimana?”

“Emangnya ibu mau ngapain kok tanya-tanya?” Balasku penasaran.

“Ibu mau baca juga kaya kamu.”
Gemes aku sama ibu, aku diam memandang kearah ibuku sebenetar. Bisa-bisanya ibu ngira aku punya pacar padahal jomblo.

Aku luruskan yah, kalau ada manusia senyum-senyum sendiri sambil lihat ke arah ponsel bukan berarti punya pacar.


Ngomong-ngomong semalam aku membuat cerita pendek lagi, terus aku ikutkan lomba. Entah bagaimanapun nanti hasilnya aku pasti terima. Tidak ada salahnya aku mencoba lebih dulu. Perlahan aku mulai menaiki tangga menuju ke lantai atas, letak kelasku berada. Tidak sengaja dari arah depan aku melihat pemandangan dimana dua orang berbeda jenis sedang berbincang-bincang. Karena salah satunya temanku, akupun segera menghampirinya.

“Kamu lagi ngapain Bil?” tembakku langsung. Ini Bila, teman kuliahku dari semester dua
“Ini, aku lagi ngomongin organisasi bareng kak Dandi hehe” jawabnya sambil cengengesan dan terlihat gugup.

“Kalau gitu saya duluan, masih ada yang perlu diurus.”

Selepas cowok tadi pergi, aku dan Bila memasuki kelas yang sama. Sesekali aku tertawa ketika Bila menceritakan kejadian tadi. Aku jadi berpikir, cerita Bila ini bisa dijadikan imajinasiku untuk membuat cerita pendek ataupun novel berikutnya.

Mungkin saat ini selain kuliah aku juga akan sering membaca dan menulis .

“Hiraaa” tiba-tiba seseorang memanggilku.

“Iya, maaf kamu siapa yah?” tanyaku penasaran, karena belum mengenal perempuan yang ada didepanku ini.

“Katanya kamu mau ikut lomba cerpen, bener?”

“Iya aku mau ikut”

“Idih sok banget sih, bakal kalah juga, cerita kamu pasti nanti monoton”

“Kok, kamu tiba-tiba ngomongnya gitu ke aku? Padahal kita gak saling kenal.”

“Intinya kamu gak bakal bisa menang, karena aku yang bakal menangin lomba itu. Awas kamu macem-macem!”

“Aneh banget sih tuh orang.” Aku kembali masuk ke dalam kelas, karena dosen yang akan mengajar sudah terlihat berjalan menuju ke kelas.

Waktu istirahat pun tiba, aku yang sudah kelaparan dari tadi langsung bergegas mengandeng Bila menuju kantin.

“Bil, kayaknya aku gak jadi ikut lomba cerpen deh,” ucapku memecah obrolan.

“Loh kenapa?”

“Aku insecure, pasti banyak tulisan yang bagus-bagus. Tadi juga ada yang nyamperin aku, dia bilang katanya aku sok-sokan ikut lomba”

“Hira… ka_” tiba-tiba ada yang menyela pembicaran Bila dan aku.
“Ini cerita kamu yang buat?” tanyanya padaku dengan tiba-tiba sambil menunjukkan handponenya.

“Hmm, kenapa yah emangnya?” kataku.

“Gak papa sih aku cuma iseng-iseng baca aja tadi, ternyata masih bagus dan menarik ceritaku. Yang baca sama vote juga masih banyakan aku hahaha.” Tawanya seakan mengejekku.

Perempuan itupun langsung beranjak pergi meninggalkan meja aku dan Bila.
Sebenarnya aku bingung, kenapa perempuan yang baru aku kenal ini mengatakan kata-kata yang menyakiti hatiku. Bahkan sudah ada dua orang yang tidak menyukaiku dan hasil karyaku. Padahal pembaca ceritaku yang lain pun tidak begitu. Mereka dengan senang menantikan aku update bagian part selanjutnya.

Aku termenung sekejap, menyeka air mata yang sempat turun tanpa aku sadari. “Kenapa sakit banget waktu ada orang yang meremehkanku,” ucapku lirih. “Kamu lihat kan Bil, ada dua orang yang meremehkan aku dan karya tulisku.”

“Dengerin aku Hira, kamu gak usah tanggepin apa yang perempuan tadi bilang. Kamu gak usah dengerin apa yang mereka omongin tentang kamu. Kamu punya karya tulis novel yang bagus di aplikasi orange kesukaanmu. Kamu punya cerpen yang menarik yang telah kamu buat untuk diikut lombakan. Kamu harus buktikan bahwa kamu bisa lebih dari apa yang mereka bilang. Jangan gara-gara omongan mereka kamu jadi nyerah buat wujudin apa yang kamu impikan selama ini.” kata Bila menggebu-gebu menasihatiku.

“Semangat Hira! Aku tau kamu bisa.”

“Emmm Bilaaa, makasih banget yah. Aku jadi terharu dengar nasihat kamu huaaa” aku langsung memeluk Bila dengan eratnya.

“Iya, sama-sama Hira, pokoknya kamu terbaik deh,” tutur Bila.

“Kamu tau gak sih Bil? Selama ini, aku pengen jadi penulis itu karena menulis itu menyenangkan tentunya. Aku juga bisa meluapkan perasaanku lewat rangkaian cerita yang aku buat, perasaan yang mungkin tidak bisa diungkapkan secara gamblang pada banyak orang. Aku berharap dengan menulis suatu saat nanti hasil karyaku dijadikan buku supaya bermanfaat bagi mereka yang suka membaca buku fiksi.” Ungkapku sambil menatap mata Bila.

“Bagus dong, kamu harus wujudin impian kamu yang pengen jadi penulis”

“Pasti Bil.” Kataku mantap dan sungguh-sungguh.

Aku dan Bila kembali berbincang random, aku bersyukur banget punya teman kaya Bila ini. Dia selalu ada buat aku, bisa dibilang kami akan saling melengkapi satu sama lain. Kan, gunanya teman emang sudah sewajarnya begitu, saling mendukung.

Aku baru ingat, waktu kemarin aku sempat mengirimkan karyaku ke situs online. Dan hari ini keputusannya. Segera, aku membuka handphone ku. Masuk ke email mencari pesan, terpampang pesan yang aku tunggu ada di bagian atas. ku buka dan baca dengan baik.

“Hir, Hira” tak ada sahutan dariku, ekspresiku saat ini sedang diam anatara kaget dan tidak menyangka. Salah satu cerita pendek yang waktu itu aku kirimkan buat lomba menang. Mendapatkan juara pertama. Dari sisini aku yakin, aku bisa ikut lomba cerpen diwaktu berikutnya.

“Kamu kenapa Hir?” Bila kembali bersuara. Aku yang bingung harus gimana, langsung saja kukasih handphone ku ini padanya.

“Aaaaaa cie cie cie Hira, selamat yah” aku gak tau kenapa suara Bila bisa melengking begini. Ah bodoamat yang penting sekarang aku lagi senang.

“Makasih banyak Bila” balasku sambil tersenyum merekah.

“Aku ngiranya gak bakal menang tau Bil. Eh ternyata menang, alhamdulillah ya Allah terimakasih banyak untuk semua ini”

“Aku ikut seneng kalau kamu juga seneng. Jadi, sekarang mending kita makan dan kamu harus traktir aku Hir! Gak mau tau pokoknya harus.” Eh apa-apaan Bila ini. Tapi gak papa deh sekali-kali.

“Iya-iya pesen yang kamu mau, tapi jangan banyak-banyak nanti uangku habis lagi hahaha.” Aku dan Bila pun tertawa bersama.

Perjalanan hidup setiap orang itu tidak pernah sama. Impian setiap orang juga berbeda-beda. Begitupun denganku. Aku yang dari dulu ingin menjadi penulis bisa ku wujudkan asalkan aku mau berusaha. Aku yakin usaha tidak akan pernah menghianati hasil.

TAMAT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.