Monolog Cermin, Kisah Seorang Lelaki Jelang Hukuman Mati
Batang–Jurnalphona.com Senin malam, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Zenith IAIN Pekalongan, kembali menyuguhkan pementasan monolog bertajuk cermin di Balai Desa Jrakahpayung, Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang. Diperankan oleh Pena, wakil ketua umum Teater Zenith lakon “Cermin” menjadi semakin hidup dan penuh makna. Senin, (13/12).
Secara umum pengertian monolog sering digunakan untuk seni peran dialog yang tidak perlu dilakukan oleh banyak orang. Cukup hanya dilakukan sendiri pun bisa. Berasal dari kata “mono” yang artinya satu, monolog dapat diartikan sebagai pementasan tunggal atau pementasan yang hanya dilakukan oleh satu orang.
“Dalam teater itu ada perbedaanya seperti halnya cerpen dan cerbung. Teater itu ada dialog yaitu percakapan dua orang atau lebih, sedangkan monolog itu hanya satu orang yang memerankan,” tutur Pena, selaku Wakil Ketua Umum Teater Zenith sekaligus pemeran dalam pementasan kali ini.
Monolog cermin adalah karya teaterawan terkenal, Nano Riantiarno. Dalam naskah ini, pengarang hanya mempunyai satu tokoh yaitu seorang laki-laki. Ia bekerja ganda dengan mencerminkan kejadian-kejadian disekelilingnya, penggambaran masa lalu yang dialami tokoh laki-laki dan cerminan tokoh-tokoh lain yang telah ditemui dalam hidupnya. Dalam pementasan monolog cermin ke-4 ini, tokoh lelaki diperankan langsung oleh Wakil Ketua Umum Teater Zenith, Pena. Tampil di pentas seorang diri, Pena, telah melakukan persiapan sedari bulan Agustus guna menyuguhkan pertunjukan yang maksimal. Hal itu dapat terlihat dari totalitasnya mendalami peran, olah vokal yang mumpuni serta pesan yang tersampaikan kepada penonton.
Monolog lakon cermin ini mengangkat kisah seorang lelaki yang hendak menjalani hukuman mati. Hukuman itu ia dapatkan sebab perbuatan kejinya membunuh anggota keluarganya sendiri. Adegan pertama dimulai dengan deskripsi tokoh laki-laki yang sedang berada dalam kesepian dan kesendirian di tahanan. Melalui deskripsi yang dilakukan oleh tokoh laki-laki dimulaiah persoalan-persoalan terjadi. Cerita demi cerita ia lontarkan kepada teman satu selnya. Tentang bagaimana bisa ia menikahi seorang wanita mantan pelacur bernama Suni dan biasa dipanggil Su. Dengan dasar cinta dan keyakinan bahwa Su akan berubah, ia nekat menikahi wanita pelacur yang akhirnya menjadi petaka bagi keluarga dan juga dirinya.
Setelah menikah, Su terus melakukan aktivitasnya sebagai seorang pelacur dengan menjajakan diri ke berbagai lelaki. Hal itu ia lakukan langsung dihadapan suaminya sendiri, sang tokoh lelaki. Awalnya tokoh laki-laki memang menerima kenyataan yang dilakukan istrinya, bahwa ia tidak bisa membahagiakan sang istri. Ia hanya mampu memberikan anak, tak mampu berbuat lebih. Namun keraguan mulai muncul dalam benak tokoh laki-laki bahwa apa benar anak yang dilahirkan istrinya itu anaknya? Karena bukan hanya dia yang menanam benih pada rahim istrinya. Dan lagi, itu semua terlihat dengan perbedaan paras dan ciri-ciri fisik dari ketiga anaknya.
Puncak konflik dalam cerita ini terjadi ketika tokoh laki-laki merasa dirinya sudah tidak dihargai lagi dan tidak dianggap sebagai layaknya manusia oleh istrinya sendiri. Istrinya tidak mengerti dengan keadaan tokoh laki-laki. Akhirnya tokoh laki-laki geram dan memunculkan kemarahan. Berbagai bisikan ia dapatkan, ia bukan lelaki lemah.
“Jadilah laki-laki maka kau harus membunuh. Jadilah laki-laki maka kau berhak merusak apa saja. Jadilah laki-laki maka dirimu akan kau rubah menjadi empat dinding penjara setebal satu kaki tanpa jendela. Jadilah laki-laki maka sebetulnya kau meriam siap ditembakkan! Dan malam itu sudah kunobatkan diriku sendiri jadi laki-laki. Laki-laki dengan naluri hewani yang dibiarkan lepas ikatannya.” Kutipan salah satu dialog dalam naskah.
Akhir cerita, ia membunuh 6 orang dan melukai 3 orang. Bak pembunuh profesional berbagai luka tusukan dilayangkan dan puluhan tembakkan tak terelakkan di tubuh korban. Tokoh laki-laki merasa belum puas dengan apa yang sudah ia lakukan terhadap Su dan teman kencannya, sampai di rumah ia membakar rumah yang selama ini di tempati bersama Su dan ketiga anak-nya. Karena tertidur pulas, ketiga anak lelakinya pun ikut terbakar bersama bangunan tersebut. Tokoh laki-laki akhirnya menerima akibat dari apa yang ia lakukan. Cacian dan makian pun diperolehnya tanpa henti. Masyarakat sekitar termasuk teman-temannya menjauh. Tidak ada lagi yang peduli, tinggal sepi yang menemaninya, di penjara, ia hanya berbicara kepada dirinya sendiri melalui bercermin. Dengan bercermin, ia menceritakan semua isi hatinya, dan dengan bercermin ia dapat intropeksi diri bahwa yang ia lakukan adalah salah.
Pesan moral yang dapat dipetik dari monolog cermin ini adalah bahwa hidup harus realistis, bobot bibit bebet sangat penting dalam pernikahan, dan komitmen itu harus senantiasa dijaga. Selain itu keteguhan hati, kepedulian dan empati, serta tanggung jawab diajarkan dalam monolog cermin ini. (CB/SP)