Cerpen

Puncak Mahameru


Karya: Rizka Amalia

Terik matahari menyengat kulit para siswa yang sedang berdiri di lapangan. Mereka mengikuti upacara dengan setengah hati karena hawa panas yang mereka rasakan sejak berada di tempat lapang tanpa atap itu. Hampir sepuluh siswa di sekolah itu jatuh pingsan karena kurangnya daya tahan tubuh mereka. Hal itu juga terjadi pada gadis berpipi chubby dengan bando berwarna merah di kepalanya.

“Pusing pala gue. Gurunya enggak pengertian banget, sih. Udah panas-panas, disuruh upacara. Waktunya lama, lagi. Gimana kalo semua pingsan, apa mau dirawat di lapangan?” cerocos gadis itu di depan lelaki yang telaten menemaninya.

“Lo itu masih sakit. Akan tetapi, masih aja cerewet. Nih, minum dulu!” Lelaki bertopi abu putih itu menyerahkan segelas teh hangat yang ia bawa sejak si gadis itu sadar.

Gadis itu meneguk teh hangat yang diberikan padanya hingga tak tersisa, “Makasih ya, Yo. Gue udah sehat. Sekarang, gue laper, kita ke kantin, yuk!”

“Duduk!” perintah Aryo ketika gadis yang baru menghabiskan segelas teh hangat hendak berdiri.

“Gue laper ….” rengek gadis itu.

“Tunggu di sini. Gue yang beli, lo istirahat,” kata Aryo.

“Makasih.” Gadis cerewet itu tersenyum lebar kemudian kembali berbaring sambil memainkan ponselnya.

Tanpa menunggu lama, Aryo kembali membawa kantong plastik berisi sebungkus makanan di tangan kiri dan segelas teh hangat di tangan kanannya.

“Lo itu enggak nurut banget, sih. Dibilangin suruh istirahat, malah main ponsel,” tegur Aryo. Ia meletakkan segelas teh hangat dan kantong plastik yang ia bawa di meja dekat tempat gadis itu berbaring.

“Ponselnya gue sita!” gertak lelaki yang mengambil ponsel di tangan gadis itu secara paksa.

“Balikin, dong!” pinta gadis itu.

Aryo meletakkan ponsel milik gadis itu ke dalam saku celana, lalu menyiapkan makanan untuk sang gadis.

“Makan dulu!” suruh Aryo sambil menyodorkan sebungkus nasi yang ditempatkan di piring.

“Nggak mau!” tolak gadis itu sambil bersedekap dan memalingkan mukanya.

“Makan atau ponsel ini gue jual?” tanya Aryo. Gadis itu tetap pada posisinya.

“Nih, gue balikin. Tapi, harus makan dulu.” Gadis itu mengangguk.

“Mau gue suapin atau makan sendiri?” tawar Aryo.

“Aaaa” gadis itu membuka mulutnya lebar.

“Udah gede minta disuapin. Manja banget, sih!” komentar seorang gadis dari balik tirai.

“Ada apa, Lily?” tanya Reza.

“Gue mau liat aja kondisi cewek lemah, kaya Lia,” jawab gadis bernama Lily cuek.

“Enggaka usah cari gara-gara sama gue, deh. Gue enggak butuh ditengokin sama cewe sok kecakepan kaya lo!” seru Lia.

“Selalu, deh!” keluh Reza.

“Lia, dimakan sampai habis, ya. Gue ada urusan sama Lily sebentar. Tenang aja, gue balik lagi, kok.”

Lia membiarkan Aryo pergi dengan setengah hati bersama gadis yang selalu membuatnya risih. Makanan yang Aryo siapkan untuknya ia biarkan terbuka di meja.

Gadis itu bangkit dari tempat tidurnya lalu berjalan ke kelas sendirian.
“Kamu sendirian aja, Lia?”

“Iya, Put.”

“Aryo mana?”

“Pergi sama Lily.”

“Kenapa dibiarin?”

“Mau gimana lagi?” Lia mengangkat kedua bahunya lalu menundukkan kepalanya.

“Ya udah lah.”

Lia tertidur dalam posisi duduknya.

Putri hanya memandanginya kasihan.

“Udah tidur berapa lama?” tanya Aryo mengejutkan Putri.

“Baru aja tidur. Habis ngapain sama Lily?”

“Biasalah, urusan anak kebanggan sekolah. Hehehe”

“Sok banget sih jadi cowok,” komentar Putri.

Aryo menata posisinya hingga menempatkan Lia di pangkuannya.

“Gue punya rencana muncak. Mau ikut enggak?” tanya Aryo pada Lia yang baru saja membuka matanya karena merasa terganggu oleh kedatangan Aryo.

“Ngapain di sini?” ketus Lia.

“Gue ngajakin lo muncak. Mau enggak?” ulang Aryo.

Lia mengucak kedua matanya dan menegakkan posisi tubuhnya,
“Enggak mau,” tolak Lia.

“Besok lusa jam 4 pagi kita berangkat.” Aryo melangkah keluar kelas.

“Pemaksa!”

“Sabar, Lia!” ucap Putri. Lia hanya mengangguk.

Siang harinya, ada pemberitahuan bahwa kelas 12 diliburkan sementara waktu karena ujian sudah selesai.

“Lia, liburan kemana?” tanya Putri.

“Ikut muncak Aryo,” ujar Lia nampak senang.

“Aku pulang dulu ya. Sampai jumpa lagi, Lia!” ucap Putri sambil membenarkan posisi tas punggungnya.

“Oke!”

Sepeninggal Putri, Aryo datang dengan riangnya. Ia duduk disamping Lia yang sedang memainkan ponselnya.

“Lo punya pacar? Dari tadi gue perhatiin, lo sering banget pegang ponsel,” komentar Aryo sambil melihat ke arah layar ponsel Lia, si gadis menutupinya.

“Kepo!” ketus Lia.

“Lo masih marah gue pergi sama Lilly?”

“Ngapain gue marah?”

“Pulang aja, yuk! Udah hampir sore, nih,” ajak Aryo sambil menarik pergelangan tangan Lia.

“Enggak mau!” Lia bersikeras tidak mau pulang. Namun, Aryo menariknya secara paksa.

“Jadi cowok kok pemaksa!”

“Harus dong! Bukannya cewek sukanya dipaksa, ya?” goda Aryo ketika ia sedang memasangkan helm di kepala Lia.

“Langsung pulang aja. Gue udah laper. Kangen masakan bunda,” ujar Lia.

“Siap, bu bos!” sahut Aryo sambil mengendarai motornya. Lia tersenyum di sepanjang perjalanan pulang. Tanganya melingkar di pinggang cowok yang menyayangi tulus apa adanya dia.

“Terimakasih, Yo,” kata Lia ketika menyerahkan helm kepada Aryo.
Cowok yang ada di motor hanya membalasnya dengan senyuman lebar lalu berpamitan. Lia melambaikan tangannya ke arah Aryo lalu masuk ke dalam rumahnya.

Selama satu hari satu malam Aryo tidak menghubungi Lia sehingga menyebabkan si cewek merasa curiga dan berprasangka buruk kepadanya.

Pada hari dan waktu yang telah dijanjikan, Aryo datang menemui Lia dan mengajaknya ke tempat yang sudah ia rencanakan.

“Kita mau kemana, sih? Pake acara naik kereta segala,” tanya Lia di dalam kereta.

“Tunggu aja. Aku janji enggak bakal aneh-aneh, kok,” ujar Aryo

“Mau?” Lia menyodorkan satu biskuit yang ada di genggaman tangannya.

“Aaaa” Aryo melahap satu biskuit dari Lia lalu melakukan apa yang cewek disampingnya telah lakukan.

“Oh iya, gue ngajak Lily juga,” terang Aryo santai sambil mengambil minuman bersoda dari tasnya.

“Lily?” Lia terkejut mendengar pernyataan Aryo.

“Iya, dia ada di gerbong belakang sama anak-anak lain. Jadi, kemarin itu gue belinya setelah nganterin lo sedangkan yang lainnya udah pesen jauh-jauh hari,” jelas Aryo.

“Anak-anak lain? Siapa aja?”

“Liat aja pas kita udah sampe stasiun. Sekarang lo tidur, ya.” Aryo mengambil alih bungkus makanan yang ada di tangan Lia lalu meletakkan kepala cewek itu di pundak kirinya.

“Tidur yang nyenyak ya, cantik.” Aryo terus mengelus-elus rambut Lia hingga ia juga ikut terlelap.

“Woy, bangun!” seru segerombolan anak remaja seumuran Lia dan Aryo.

Mereka membawa tas ransel di punggung mereka beserta jaket yang sudah melekat di tubuh mereka. Aryo mengucak kedua matanya lalu membangunkan Lia dengan perlahan.

“Udah nyampe?” tanya Lia.

“Udah. Yuk!” ajak Lily

Sekelompok anak itu menuju tempat tujuan mereka menggunakan mobil yang sudah mereka pesan hari sebelumnya.

Lia dibuat takjub dengan pemandangan di sekitarnya begitupun yang lainnya.

Aryo nampak puas dengan rencana yang telah ia susun dengan anak-anak yang lain.
Sebelum menuju puncak mereka mengambil beberapa foto dengan suasana di kaki gunung. Aryo asyik mengambil potret Lia secara diam-diam dengan kameranya.

“Yuk naik!” ajak Ridho

“Ayo!” seru yang lainnya.

Selama di perjalanan, Lily selalu berada di belakang Aryo sedangkan Lia ada di depan mereka. Ketika di tengah perjalanan Lia merasa lelah dan payah. Ridho dan yang lain juga memutuskan untuk beristirahat sejenak.

“Lemah banget jadi cewek!” komentar Lily. Lia masih mengatur nafasnya dibantu oleh Aryo. Anggota kelompok lainnya sibuk mengambil potret dengan kamera yang mereka bawa.

“Jalan lagi, yuk!” ajak Ridho yang disetujui oleh yang lainnya.

“Lia, lo masih kuat kan?” tanya Aryo memastikan Lia yang terlihat kurang sehat.

“Cewek lemah gitu diajak. Jadi lama kan nyampenya!” Lily kembali melontarkan komentar pedasnya. Lagi-lagi Lia menarik nafas panjang karena komentar dari Lily.

“Gue bantu bawa tasnya, ya?” tawar Aryo pada Lia.

“Enggak usah. Makasih, gue ga selemah kelihatannya kok,” ujar Lia

“Kalo lemah ya lemah aja, enggak usah sok kuat!” ketus LiLy lalu berjalan mendahului kedua remaja di depannya, secara otomatis Aryo berpindah posisi dengan Lia karena takut keduanya akan beradu mulut lagi.

Ketika di sebuah jalan yang menanjak Lily berpegangan pada Aryo dan membuat Lia hilang fokus sehingga menyebabkannya hampir terpeleset, Ridho menangkapnya lalu membantu Lia bangkit.

“Lia, lo enggak apa-apa?” tanya Ridho.

“Enggak apa-apa kok. Makasih, ya,” ucap Lia berbohong.

Sesampainya di sebuah post di mana mereka harus bermalam dan meninggalkan barang bawaan tidak penting, Lia selalu menetap di dalam tenda tanpa berniat keluar mengikuti kegiatan api unggun seperti para pendaki lainnya.

Selera makannya hilang, ia hanya ingin memejamkan mata dan tidur nyenyak sambil melupakan kejadian tadi siang ketika Aryo lebih memilih memegang tangan Lily daripada menolongnya.

Ketika ia hendak menutup mata, pintu tendanya terbuka. Lily masuk ke dalam tenda yang sama dengannya lalu mengambil barangnya dan segera keluar lagi tanpa menghiraukannya yang sedang dilanda cemburu karena ulah Lily.

Beberapa menit kemudian, cewek yang sedang meringkuk sendirian di dalam tenda mendengar sayup-sayup suara Aryo yang tertawa lepas bersama para pendaki lainnya termasuk Lily.

Pukul dua dinihari, mereka melanjutkan perjalanan. Lia terlihat semakin pucat dan ia tidak berniat bicara dengan siapapun, termasuk Aryo. Melihat perubahan sikap Lia, Aryo kemudian selalu berjalan mengiringi langkah Lia hingga sampai di puncak.

Setelah acara menancapkan bendera merah putih di Puncak Mahameru. Aryo berdiri di belakang Lia. Semua teman sekolahnya berjongkok mengelilingi Lia sambil menyodorkan sekuntum mawar merah di tangan mereka.

“Lia, Te Amo,” ucap Aryo sambil menekuk lututnya di hadapan Lia.

Cewek itu tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Lily mengabadikan kejadian itu dengan kamera milik Aryo diiringi senyum yang tulus dari dalam hatinya.

“Lia, maukah kamu menikah denganku?” tanya Aryo dengan cincin yang ia ajukan kepada Lia.

“Mau! mau! mau!” seru seluruh teman yang ada di kelilingnya.

Lia mengangguk mantap lalu memberikan telapak tangannya untuk dipasangkan cincin oleh Aryo.

“Terimakasih, Yo!” Lia memeluk erat tubuh cowok yang menerima dirinya apa adanya meskipun tahu bahwa ia tidak akan lama hidup di dunia karena kanker yang dideritanya.

“Gue ingin lo semangat hidup buat orang tua dan masa depan kita. Gue janji bakal ada buat lo di keadaan buruk sekalipun. Dan lo harus janji bakal nemenin gue sampai akhir hayat gue,” bisik Aryo di telinga Lia ketika mereka berpelukan.

“Gue janji akan berusaha semampu gue.”

Pada menit berikutnya, hidung Lia mengeluarkan darah hingga ia jatuh pingsan dan membuat para pendaki turut membantu Lia turun hingga di post selanjutnya. Sesampainya di kaki gunung, Lia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Setelah melalui pemeriksaan dokter, ternyata Lia mengidap penyakit yang mampu mengakhiri dirinya dalam waktu tak lama. Aryo yang mendengar pernyataan dokter merasa sangat iba dan kasihan dengan Lia. Selain itu, ia juga merasakan kesedihan dalam diri Lia.

“Tenang aja, Ya. Gue masih mau sama lo, kok!” jelas Aryo setelah dokter keluar dari ruangan Lia. Gadis yang terbaring lemah dihadapan Aryo tersenyum kemudian matanya menutup pelan lalu terbuka lagi.

“Terimakasih, Yo.” Ungkapan terakhir yang didengar Aryo dari mulut Lia sebelum gadis yang ia cintai menutup mata untuk selamanya.

“Gue akan jadikan Puncak Mahameru sebagai kenangan terindah sepanjang hidup gue, Ya. Semoga lo tenang di sana. Te Amo, Lia” Aryo mengelus rambut Lia pelan lalu mengecup kening gadis itu untuk yang terakhir kalinya.

TAMAT

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.