Ku Sebut Kau Helia
Karya : Salma Aulia
Waktu berjalan dengan cepat. Beradaptasi dengan diri sendiri yang tidak baik-baik saja, ketika keluar dari koper duniamu. Hari berganti menjadi tahun. Tidak terasa perasaan asing ini kembali mencairkan ruang sunyi yang mungkin sudah menjadi nadir bahkan seperti rumah yang tidak pernah dihuni lagi. Ya benar, hati yang kosong. Tiga tahun berlalu cukup mencekam, hingga kalimat “gaada dia aku gapapa kok” benar-benar terasa nyata.
Mendadak mengagumi seseorang yang banyak dikenal misterius oleh orang lain. Namun, aku memandangnya sempurna dari berbagai sudut pandang. Aku menyebutnya Batu. Keras dan dingin.
Namaku Noushafarina dikenal dengan nama Nousha, tetapi aku bukan tokoh kartun Nusa Rara. Sesuai dengan arti namaku, aku seorang perempuan yang selalu memiliki cara untuk membawa kegembiraan untuk orang lain. Aku anak yang tidak bisa diam dan ceria. Bahkan orang-orang bertanya kepadaku,
“Sha, kenapa hidupmu gembira terus sih? Engga punya masalah hidup ya?”
Aku pandai memakai topeng. Aku akan terlihat baik-baik saja di depan banyak orang, tetapi tidak ketika aku sedang sendiri. Salah satu masalah dalam hidupku adalah masalah perasaan, damn!. Menemukan sosok yang cocok dengan kita memanglah mudah tetapi tidak dengan perasaannya. Dalam menjalin suatu hubungan, perasaaan terlihat kecil tetapi melibatkan banyak hal dalam diri. Ibarat memasak soup akan terasa hambar ketika tidak diberi garam, dan akan lengkap jika ada tambahan garam. Partikel kecil tetapi sangat dibutuhkan dalam sebuah masakan.
Suatu hari di musim hujan, aku mulai memperhatikan sosok misterius yang biasa aku sebut dengan nama Batu. Sikapnya yang dingin dan sedikit bicara membuatku penasaran. Rasa ingin berkenalan dan mengobrol dengannya, tetapi semua itu terasa asing bagi seorang Noushafarina. Anehnya, aku bisa berbicara dengan semua orang di sekelilingku, namun tidak dengan Batu. Melihat dia dari kejauhan membuat bibirku terasa beku dan nyaliku menciut seketika. Aku selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, “Bagaimana bisa banyak perempuan yang mampu berbicara bahkan mampu membuat Batu mengulum senyuman saat sedang berbicara?”.
Sepertinya aku yang berbeda bahasa dengan dia. Rasa penasaran itu terus meluap ketika aku mengunjungi salah satu event jurusanku. Apalagi ketika aku dengan dia beberapa kali bermain eye contact. Oiya, aku mahasiswa semester 3 dan umurku sudah menginjak kepala dua. Sudah tua bukan? Tetapi sikap kekanak-kanakan masih melekat erat dalam diriku.
Dalam event itu, aku memperhatikan dia. Aku mulai terpanah ketika dia sosok yang pendiam namun banyak action dalam kinerjanya. Tanpa disadari, seorang sahabatku diam-diam memperhatikan tingkah lakuku yang mendadak berbeda. Dia bernama Zhifra, seorang perempuan receh yang bertahan dengan sikap randomku.
“Heh sha, kamu suka sama dia? Mau foto bareng?” (sambil menepuk pundak kanan ku). Sontak gelagapan, aku pun menjawab,
“Hah? Foto sama siapa?” Zhifra menertawakan ekspresiku, seketika merangkul dan berbisik manis di daun telingaku.
”Oh gamau cerita ni?, yauda yok tak anter ke anaknya aja!” Dengan wajah cemas, aku langsung mengalihkan pembicaraan dengan mengajaknya ke tempat yang jauh dari kerumunan. Tanpa basa-basi, aku langsung bertanya, “Kamu tau siapa anaknya? Perasaan aku ga bilang deh”
“Tanpa kamu bicara, matamu sudah menunjukan seakan-akan kamu menulis sinopsis perasaanmu saat ini”
Aku yang terkenal riang ini mendadak diam dan khawatir,
“Zhifra ini sebenernya manusia apa cenayang ya? Kalo dia aja tau aku suka sama Batu, apa dia juga bisa meramal bahwa jodohku Jungkook?”
(heran terhadap diri sendiri, cemas tapi tetap memilih halu dalam keadaan apapun adalah aku).
Event meriah yang dihadiri banyak mahasiswa jurusan ku dapat dibilang berjalan dengan lancar. Aku yang masih menyimpan rasa penasaran, terus mencari informasi soal Batu. Terdengar risih bukan? Biar aku perjelas, aku tidak memaksa untuk memiliki tetapi aku hanya mengagumi dan bisa berbicara dengan dia adalah suatu obat penasaran dalam diriku. Aku fikir, setelah event itu selesai, aku dan Batu akan jarang ketemu. Namun, alam semesta yang indah ini berkata lain. Suatu hari, aku datang ke kampus karena ada hal yang harus diselesaikan. Tidak lain tidak bukan adalah rapat divisi organisasi dijurusanku.
Aku yang datang pada hari itu dengan pakaian seperti gembel tidak mengharapkan akan bertemu Batu di kampus. Namun, semua perkiraanku itu salah. Setelah rapat selesai, aku dan beberapa teman divisiku melanjutkan cerita di gazebo kampus dengan pesan secuil makanan. Kami bercerita, bercanda, dan tiba di satu waktu si Batu ikutan gabung dengan aku dan teman-temanku, damn!. Perasaan campur aduk yang aku rasakan diwaktu itu, antara kepala mau pecah, detak jantung yang tidak stabil, hingga komuk yang tidak terkontrol.
“Ahh sudahlah ini pasti pipiku merah banget,” batinku dengan mengalihkan penglihatan ke arah yang berbeda.
Kami mengobrol dan bercanda bersama, hingga lupa akan waktu bahwa datang ke kampus ketika matahari tepat di atas kepala, hingga langit menjadi gelap. Pertanda bahwa waktunya pulang. Walaupun tidak ada yang mencari, namun ingat bahwa rumah satu-satunya saat ini adalah keluarga. Karena yang kau sebut sebagai crush belum tentu menjadi rumah tetapmu.
Hari itu terasa menyenangkan dan membawa mimpi indah dalam tidurku. Tanpa disadari, bahwa hari itu juga hari terakhir aku bertemu dengan Batu. Melamun di teras rumah sambil menyeruput secangkir kopi, aku bertanya pada diriku sendiri,
“Ngerasa aneh ga si Sha? Setelah tiga tahun kamu nutup hati, sekalinya buka hati buat orang yang susah untuk dikenal, kenapa sih kagum sama cowok yang jelas-jelas cuma tau namanya, engga punya nomor whatsappnya, engga pernah ngobrol berdua, dan berharap bisa masuk dalam kehidupannya? Gabisa Sha.”
Kalimat itu menjadi tamparan untuk diriku sendiri, antara maju tapi aku seorang cewe yang kodratnya gengsi dan maunya dikejar, atau mundur tapi masih penasaran banget orangnya sekeras apa. Ketika udah ngerasa,
“Kayaknya emang gabisa deh Sha,” tapi justru banyak hal yang didekatkan, tentunya berhubungan dengan Batu. Mendadak save-savean nomor WA, mendadak chatan walaupun berakhir dengan chat di read, dan nonton story dia jadi hobi baru aku setiap harinya. Hingga suatu ketika story Batu memberi petunjuk, Noushafarina harus gimana sih?.
Hari dimana sejuta pertanyaanku terjawab, “Batu udah punya someone special belom ya,” pertanyaan klasik itu terjawab dengan story WA yang dibuat oleh Batu. Yaa intinya isi dalam story tersebut “When I have a problem, My queen is solution because she is always in my corner right there when I want her.” Damn!, saatnya bilang,
“Holy shiiit, ini aku harus mundur” wkwk lucu sih tapi ngerasa sedih banget sama diri sendiri.
Sejak liat snap itu, aku memutuskan untuk perlahan-lahan mundur dan bersikap biasa saja ketika ada informasi soal Batu. Ternyata suka diam-diam dengan seseorang itu bisa sesakit itu padahal engga ngeluarin effort banyak. Mau ngeluh, mau sedih, mau galau tapi balik lagi sama poin satu, “KAMU SIAPA?” Diam-diam mengagumi, diam-diam sakit sendiri.
Mengungkapkan perasaan (confess) ke lawan jenis itu ga selalu buruk kok, justru itu hebat karena berani bicara. Tapi semua itu bakalan hancur ketika tidak dapat berdamai dengan suatu penolakan. Pesanku hanya satu.
”Selalu bahagia ya, walaupun pundakmu berat dan kantong matamu semakin menghitam. Mungkin aku engga bisa jadi indomie karena aku bukan seleramu. Tapi aku bisa jadi seperti Tokopedia. Ketika kamu butuh teman cerita, aku bakalan selalu ada dan selalu bisa. See you soon, I hope your life is full of gratitude and happiness.”
Aku menyebutmu Helia karena seolah-olah kamu seperti matahari dibutuhkan banyak orang, karena kerjakerasmu dunia ini menjadi terang.