Rasa yang Hilang
Karya : Sri Rochimatun
Hari ini, penerimaan raport di semester genap. Besok sudah masuk liburan semester, Rasa dan sahabatnya akan liburan di Pulau Pramuka. Rasa, sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu liburan di sana. Saat ini Rasa sedang menunggu Bopal dan Sasi di taman samping sekolah
“Hay Rasa”
“Halo Bopal”
“Loh Sasi mana?”
“Itu sedang jalan kesini” jawab Rasa sambil menunjuk Sasi yang sedang berjalan kearah kami.
“Hay my best friends” teriak Sasi dengan jarak 5 meter dari ku dan Bopal.
“Malu-maluin temen lo tuh” ujar Bopal sambil memutar bola matanya.
“Temen lo juga kali hahaha” sahut Rasa.
Sasi sampai di depan Rasa dan Bopal. Dia memeluk Rasa sebentar dan mencium pipi Bopal sekilas. Bopal menatap tajam Sasi dan aku yang tertawa. Tawa Sasi mereda lebih dulu, dia berdehem untuk menetralkan suasana.
“Sasi kangen kalian deh” ujar Sasi.
“Kangen? baru nggak ketemu berapa jam aja udah kangen, apalagi kalau kita pisah.” Sahut Bopal dengan tampang tak berdosa. Giliran Rasa dan dan Sasi yang menatap tajam Bopal. Dia menyadari kesalahannya.
“Ups sorry” disertai dengan cengiran khasnya serta tangannya yang membentuk pis.
“Enough, gimana persiapan kalian buat besok?” Tanya Rasa untuk mengalihkan pembicaraan tadi.
“Beres dong, Sasi udah bawa koper. Nanti malam Sasi nginep di rumah Rasa yah… biar berangkat dari rumah Rasa sekalian.” Jawab Sasi panjang kali lebar.
“Semangat amat loh Si, sampe udah packing. Kalau aku sih belum sepulang ini aja lah. Lah lo Sa udah packing?”
Bopal dan Sasi memandang kearahku dengan muka kepo mereka.
“Kepo” jawab Rasa sambil mengulurkan tangan kanannya membentuk kerucut.
“Ih Rasa gitu” ujar Sasi merajuk padaku.
“Iya nih kebiasaan lo, Sa.” sahut Bopal. Rasa hanya tertawa menanggapi mereka.
Rasa dan Sasi sudah sampai rumah, sekarang kami sedang di dalam kamarku. Sasi asik menonton drama korea di televisi yang ada di dalam kamarku. Rasa sedang packing, dia hanya membawa yang akan dibutuhkan di sana. Selesai, setelah berkutat dengan koper, pakaian dan segala macamnya, Rasa menarik koper ke samping meja rias. Menaruhnya di samping koper Sasi. Rasa melangkah ke sofa yang diduduki Sasi, belum sampai pantat Rasa mendarat mulus, suara ketukan pintu terdengar menggema. Rasa menghela nafas, berjalan menuju pintu, perlahan terbuka dan menampilkan sosok laki-laki jangkung dengan senyum lebar. Dia adalah Brian kakak Rasa.
“Kak Brian?” tanpa persetujuan Rasa, Brian mendorong pintu supaya terbuka lebih lebar. Dia masuk ke kamar Rasa, mengacak rambut Rasa saat tepat dihadapannya. Baru dua langkah di masuk, dia langsung berteriak senang.
“Wah ternyata ada Sasi?”
Sasi yang merasa namanya terpanggil menoleh ke sumber suara. Sasi yang melihat Brian langsung berdiri dan menghampiri Brian. Memeluk Brian dengan erat, Brian membalas pelukan Sasi sama eratnya. Rasa heran, sebenarnya siapa sih adiknya kenapa ketika dia pulang lebih sering menayakan Sasi atau lebih sering meluangkan waktunya dengan Sasi. Rasa menghela nafas antara jengah melihat pemandangan kangen-kangenan mereka dan lelah melihat kelakuan mereka berdua.
Keesokan paginya…
Matahari belum keluar dari peraduannya, tetapi suasana ramai sudah terdengar dari sebuah rumah berlantai dua bercat hijau yang terdapat di ujung salah satu komplek kawasan menengah keatas yang ada di pusat kota. Kalian pasti bisa menebak rumah itu milik siapa? yah betul rumah berlantai dua itu, rumah keluarga Damian.
Rasa dan Sasi sudah siap untuk berangkat, mereka sedang menunggu Bopal yang katanya sedang packing. Itulah yang membuat Rasa dan Sasi dari tadi kesal bukan main kepada Bopal bahkan berteriak sebal. Papa Rasa, yang kebetulan baru turun melihat kegaduhan yang dibuat putri bungsunya dan sahabatnya.
“Ada apa sih, Ras? pagi-pagi udah bikin gaduh aja.” Ujar Papa sambil menghampiri mereka yang ada di ruang tamu dengan koper yang ada didepan pintu utama.
“Si Bopal, Pa. Udah tau mau pergi malah baru packing,” jawab Rasa dengan muka sebal.
“What? Emang mau kemana kalian?” Ujar seseorang yang baru turun dari lantai dua.
Dasar kakak rese, udah tau muka adiknya lagi badmood malah teriak-teriak.
“Kok kalian nggak ngajak aku sih, tunggu jangan otw dulu, aku mau siap-siap.” Ujarnya dan kembali naik ke lantai atas.
“Loh loh enak aja main ikut aja” sahut Rasa yang sudah badmood bertambah badmood karena kelakuan kakaknya yang seenak sendiri.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
“Selamat pagi Om Bian, Rasa, Sasi. Ayo berangkat,” Bopal menyapa kami, tanpa dosa dia langsung mengajak berangkat tanpa bilang maaf. Dasar Bopal sekali bar-bar tetap aja.
“Bilang maaf gitu sama Sasi dan Rasa, main ngajak berangkat aja.” Ujar Sasi dengan bersungut-sungut. Bopal menampilkan senyum tiga jarinya..
“Maaf yah Sasi sama Rasa. Aku tadi malam ketiduran jadi baru tadi subuh deh packingnya.” Bopal memohon maaf dengan menyangkupkan tangannya sambil tersenyum lebar.
“Oke kita maafin.” Jawab Sasi, aku menatap tajam kearah Sasi.
“Nggak bisa dong Sasi ku sayang, gara-gara Bopal kita jadi nunggu lama dan ikut kapal yang siang,” ujar Rasa.
Mama Rasa yang baru datang dari dapur hanya memperhatikan tiga serangkai itu sambil menaikkan alisnya mencoba bertanya pada papa Rasa. Papa Rasa hanya menjawab dengan helaan nafas dan mengangkat bahunya acuh.
“Ada apa sih?” Tanya Mama Rasa menyadarkan ketiganya dari debat tak berkualitas itu.
“Gini loh, Ma….” belum selesai Rasa menjelaskan tiba-tiba terdengar suara.
Kruyuk kruyuk
Serentak semua menoleh kesumber suara. tatapan merekaa jatuh ke Bopal. Selang beberapa detik mereka semua tertawa. Bopal tersenyum canggung dan menggaruk tengkuknya.
“Hahaha yaudah kita sarapan dulu yuk.” Ajak Mama Rasa kepada semuanya.
Sasi, Papa dan Mama Rasa lagsung beranjak ke meja makan. Rasa masih mengeluarkan aura intimidasinya pada Bopal.
“Huu ku kira lo lama tuh sekalian sarapan dulu, ternyata eh cuma packing doang.” Sindir Rasa sambil menyenggol tangan Bopal. Bopal yang merasa disindir hanya menyengir kuda.
Beberapa jam kemudian…
Rasa, Sasi, Bopal dan Brian sudah sampai di dermaga Pulau Pramuka. Liburan kali ini mereka memilih di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau yang biasa dikenal dengan Pulau Pramuka
Kalian pasti bertanya gimana Brian bisa ikut, Brian memaksa ikut liburan tiga serangkai itu dengan alasan. Brian juga butuh refresing dan supaya tiga serangkai ada yang mendampingi selama liburan ini. Padahal tanpa Brianpun tiga serangkai bisa karena liburan seperti ini, sering mereka lakukan saat libur semester atau kenaikan kelas.
“Badanku capek banget, sampai di penginapan aku mau langsung tidur.” Ujar Brian.
“Siapa suruh ikut liburan kita, biasanya kalau ditawarin pasti nolak.” Sahut Rasa dengan muka masam, dia masih dalam mode badmood.
“Yah kan aku mau refersing sekalian jaga kalian. Dan kenapa naik kapal kan kita bisa naik pesawat?” Tanya kak Brian
“Kakak Brianku sayang, disini nggak ada bandara, Cuma ada dermaga.” Jawab Rasa dengan senyuman lebar.
“Yuk guys Vila kita 250 meter dari sini, kita jalan aja yah deket kok.” Ujar Bopal, Brian yang sedang debat dengan Rasa mengalihkan perhatian ke Bopal.
“Eh yang bener aja kita jalan kaki, naik ojol atau apa gitu?” Usul Brian.
“Dari pada nunggu ojol lama, mending jalan kaki paling 3 menit sampai. Yuk yang mau jalan sama aku let’s go”
“Kok aku ditinggalin sih, ras. Woy tunggu kakak ganteng mu ini loh.”
Rasa tak menghiraukan Brian, dia memimpin jalan menuju ke vila selama mereka di sini.
Mereka telah sampai di depan vila. Ada seorang bapak-bapak yang mendatangi mereka.
“Assalamu’alikum”
“Wa’alaikumsalam”
“Perkenalkan bapak Supri penjaga vila ini, ini pasti neng Rasa, sebelah kanannya neng Sasi dan Den Bopal.” Ujar bapak itu .
“Kenapa aku ditinggalin sih” muncul sebuah suara dari arah pantai.
“Loh aden siapa?” Tanya bapak Supri. Brian yang baru sampai dihadapan mereka langsung memperkenalkan diri.
“Perkenalkan, pak saya Brian kakaknya Rasa.”
“Oh kakaknya neng Rasa. Bapak kira pacarnya, maaf ini kunci vilanya neng.”
Pak Supri meyerahkan kunci vila kepada Rasa.
“Udah bapak bersihin neng, isi kulkas juga udah diisi penuh.” Jelas Pak Supri
“Makasih yah pak Supri”
“Sama-sama neng, kalau gitu bapak permisi dulu, mari semuanya.”
Pak Supri berlalu dari tempat itu. Rasa melangkah ke depan pintu utama vila, dengan sedikit usaha dorongan pintu itu terbuka. Tak tanggung-tanggung Rasa membuka dua daun pintu sekaligus.
“Welcome to vila Pulau Pramuka.”
Brian langsung masuk dengan menyeret kopernya. Diikuti Sasi dan Bopal dibelakangnya. Sampai di ruang tamu Brian bertanya kepada mereka mengenai pembagian kamar. Terdapat empat kamar di vila itu, dua dilantai satu dan sisanya dilantai dua. Sasi dan Rasa memilih kamar dilantai dua, sedangkan Brian dan Bopal di lantai satu. Mereka menuju kamar masing-masing, dan sepakat untuk berkumpul di ruang tamu jam 16.00.
Sasi, Brian dan Bopal sudah berkumpul di ruang tamu sesuai dengan kesepakatan tadi. Mereka menunggu Rasa yang belum juga datang padahal jarum jam sudah menunjukkan waktu 16.30. Brian merasa ada yang tidak beres dengan adiknyapun segera menghampiri ke kamar Rasa. Sudah berulang kali Brian mengetuk pintu dan memanggil Rasa, tetapi belum ada sahutan dari dalam. Brian langsung membuka knop pintu, dia membuka dengan lebar mengamati keadaan sekitar. Sepi kata itulah yang tergambar dari ruang kamar Rasa. Brian masuk mengecek di kamar mandi yang ternyata kosong. Koper Rasa belum dibongkar oleh sang pemilik. Begitupun tas kecil serta hape Rasa yang tergeletak di meja rias. Brian mengambil hape Rasa dan keluar kamar. Dia menuruni tangga dengan terburu-buru.
“Rasa hilang, nggak ada dikamar.” Ujar Brian yang masih di ujung tangga. Sontak suara Brian mengalihkan atensi Sasi dan Bopal yang masih sibuk dengan hape masing-masing.
“Udah cari dibelakang?” Tanya Bopal.
“Belum” jawab Brian.
“Biar aku yang cari kak,” ujar Sasi dengan sigap berlalu ke belakang lebih tepatnya ke dapur dan meja makan. Baru dua menit, Sasi menjerit membuat Bopal dan Brian menghampiri Sasi.
“Ada apa?”
“I… itu… darah,” ujar Sasi terbata-bata. Bopal dan Brian mengalihkan perhatian. Benar di sudut lemari itu terdapat darah. Brian menghampirinya, menyetuh, mencium dan mengamati. Dia menatap ke sekeliling ruangan dan berhenti di Sasi dan Bopal.
“Ada yang nggak beres, mungkin Rasa udah turun duluan terus dia ke dapur buat masak, buktinya itu ada wajan dan bahan makanan berserakan.”
“Benar, lalu dimana Rasa?” Tanya Bopal
“Mungkin dia keluar vila.” Ujar Sasi
“Nggak mungkin, Rasa tuh kemana-mana mesti bawa hape tapi ini enggak.” Sanggah Brian
Akhirnya Brian memutuskan untuk mereka berpencar mencari Rasa. Bopal dan Sasi di sekitar vila sedangkan Brian di seluruh kota. Matahari perlahan kembali ke peraduan, digantikan rembulan yang menyinari bumi. Sasi dan Bopal menunggu Brian dengan harap-harap cemas. Pasalnya mereka tidak menemukan Rasa disekitar rumah. Brian juga mewanti-wanti jika sampai 1×24 jam Rasa belum ditemukan, maka akan lapor polisi. Saat sedang hanyut dengan pikiran masing-masing, ada suara langkah kaki mendekati mereka. Tak lama muncul Brian yang sudah dengan penampilan kucelnya. Sasi dan Bopal memandang Brian seolah bertanya lewat tatapan. Muka sayu Brian seakan menjawab pertanyaan tak terucap mereka.
“Assalamu’alaikum” dari arah luar terdengar suara salam, tak lama muncul Rasa dengan seorang anak kecil.
“Wa’alaikumsalam,” jawab semuanya serentak dan menatap horor ke arah Rasa. Yang ditatap merasa tidak nyaman dan melihat mereka dengan alis yang naik keatas seakan bertanya “kenapa?”
“Dari mana?” tanya Brian
“Dari Rumah sakit nganter Cicil periksa.” Jawab Rasa.
“Kok nggak bilang?” tanya Brian lagi.
“Kaliannya lagi tidur,” jawab Rasa. Sasi menatap tajam Brian, mengisaratkan Rasa dan Cicil untuk duduk.
“Ceritanya gimana? kita nyariin kamu dari tadi sore.” Ujar Sasi. Rasa menghembuskan nafas dan memandang orang yang ada disana satu persatu.
“Jadi gini… waktu aku mau masak buat makan malam. Tiba-tiba ada yang ngetuk pintu belakang. Pas aku buka ternyata itu Cicil, Cicil ke sini minta tolong karena tanggannya berdarah waktu main di belakang vila. Kebetulan Vila ini milik orang tuanya Cicil. Aku yang lihat darah di tangan Cicil langsung ngasih pertolongan, tapi darahnya nggak mau berhenti. Akhirnya aku bawa Cicil ke rumah sakit. Aku mau ijin sama kalian, tapi masih pada tidur dan takutnya jadi kelamaan. Aku sama Cicil langsung ke rumah sakit deh. Di sana Cicil langsung ditanganin dokter, kami nunggu lama di sana karena nunggu obat dulu.” Cerita Rasa panjang lebar.
Semua yang ada disana menghela nafas lega mendengar Rasa yang ternyata mengantar Cicil bukan menghilang.
“Alhamdulillah” ucap Brian, Sisil dan Bopal secara bersamaan.
Tamat