Karya : Ghisya Sauqina Rosyada (Juara I Lomba Short Story KPI’s Day 2020)
“Upe, Emak tidak punya biaya untuk melanjutkanmu sekolah, kecuali kalau kamu lolos di sekolah negeri.” Ucapan Emak masih terngiang-ngiang di telinga Upe beberapa hari terakhir ini.
Remaja berpostur kurus itu tengah melambungkan harapan untuk sekolah. Dengan langkah tegap ia membawa beberapa berkas pendaftaran yang diletakkan dalam map biru. Hasil yang tidak terlalu membanggakan. Pak Umair, wali kelasnya selalu mengatakan bahwa prestasinya hanya rata-rata angin. Namun, beliau lupa satu hal. Tidak pernah tercantum proses dalam piagam kelulusan itu. Pihak sekolah sefavorit mana pun tidak bisa memilah mana siswa yang benar-benar layak untuk diajar. Kondisi yang sangat menyedihkan, apalagi untuk anak-anak yang terjerat dalam kondisi ekonomi di bawah garis kemiskinan sepertinya.
Tanpa harus diterka-terka lulus atau tidak, raut wajah Upe sudah terlukis garis-garis suram. Ia berada di tempat yang tidak menguntungkan tersebut.
Tubuhnya melunglai tempo melihat papan pengumuman di SMK negeri satu-satunya di Kabupaten tempat dia tinggal. Namanya tidak tercantum dalam daftar remaja seusianya yang beruntung mengenyam pendidikan di sekolah harapan semata wayangnya itu.
Ia pun melangkah gontai saat memasuki gubuk tua di bawah pohon mangga.
Tidak ada ucapan salam. Bukan hanya lidah yang kelu, pandangannya pun ikut- ikutan buta. Seolah-olah gubuk itu sepi, dilemparnya map, tas ransel butut warna hitam ke lantai. Sebenarnya tidak tepat dikatakan lantai. Karena gubuk itu hanya beralaskan tanah. Dengan menghamparkan tikar purun, mereka bias beraktifitas rutin. Begitu pun makan dan tidur.
Di pojok bilik yang digunakan untuk menyimpan perkakas dapur, tampak seorang wanita paruh baya sedang sibuk menambal baju koko berwarna putih kekuningan. Terheran-heran dipandanginya remaja yang mengomel pelan itu.
Gelagat yang sangat dikenalnya sedari dulu. Namun, remaja ini berbeda dengan dua remaja lain yang berada di rumah itu. Semangatnya tinggi. Cara bicaranya pun berbeda, sopan dan sangat pendiam. Selain itu, badannya lebih besar dan tinggi dari yang lain. Setimpal dengan tenaga yang dikeluarkan untuk membantu tambahan nafkah mereka sehari-hari. Tentu saja sebagai penambang pasir di sungai. Keahlian yang diturunkan oleh Bapak selain berladang dan menjadi guru ngaji.
Tidak ada pertanyaan apa pun yang dilontarkan wanita paruh baya itu.
Seolah-olah bisa menembus gerutuan dalam hati putranya, Mak Tape melanjutkan jahitan. Semua orang di kampung memanggilnya demikian. Padahal nama lengkap wanita itu sungguh berbeda, Maesaroh binti Sanusi. Mereka menyebutnya Mak Tape karena keahlian beliau dalam membuat tape.
Setelah setengah harian melihat putranya itu hanya mematung sambil melipat kaki, wanita berusia paruh baya itu pun menyapa. Sebenarnya hati Mak Tape pun teriris menyaksikan raut masam Upe. Mak Tape bergegas menyuruhnya mengambil wudhu. Upe pun beranjak dengan malas. Hingga akhirnya ia melaksanakan shalat Magrib di ujung waktu. Nyaris delapan menit sebelum azan isya berkumandang.
Mereka pun lantas makan bersama di hamparan tikar purun. Menikmati nasi putih mengepul dengan bauran minyak jelantah dan tujuh buah tempe hangat.
Sajian yang serupa dengan hari-hari sebelumnya. Upah Bapak hari ini tidak cukup untuk membeli lauk. Sepertinya tanah ladang sedang merajuk. Hasil panen jagung benar-benar memprihatinkan. Upe yang selama ini acap mencari sayuran di ladang adiknya Mak Tape, tampak termenung. Hatinya masih kalut karena kejadian siang tadi.
Mereka duduk mengelilingi sebakul nasi yang nantinya akan dibagi rata oleh Mak Tape. Tentu saja, porsi terbanyak ada di piring Pak Ade. Keluarga sederhana ini masih memegang tradisi yang kental tentang etika saat akan bersantap. Semua dimulai dari yang tertua. Bukan hanya soal giliran mendapat jatah di piring. Bahkan segala keputusan ada di tangan kepala rumah tangga. Kalau sudah jatuh putusan, tidak ada bantahan yang bisa ditoleransi.
Ditemani semilir angin yang menyusup melalui sela dinding anyaman bambu, Upe pun menunggu giliran. Namun, kali ini ia tidak terlalu selera makan.
Pandangannya pun tidak tertuju pada bakul nasi di hadapannya. Sementara tiga saudara kandungnya tengah bercanda, berantusias mendapati giliran nasi meluncur di piring masing-masing.
“Upe, kau masih ingat, kan, sama Bang Andre, anaknya Uwak Syarif? Tadi siang, Emak bertemu si Andre di pekan sore. Dia mau mengajakmu bekerja di
peternakan lele milik temannya di Aceh. Kau mau?” Emak pun membuka suara. Centong berisi nasi hangat kini meluncur ke piring putranya itu.
Upe terpana. Ia tidak percaya dengan ucapan Emaknya barusan.
Dipandanginya raut keriput kedua orangtuanya secara bergantian. Bapak tidak balik memandang. Pria paruh baya itu sedang menuang air dari teko plastik bermotif bunga mawar ke dalam cangkir kaleng. Cangkir kaleng berlurik merah yang dibeli berpasangan lengkap dengan tutup. Satunya dipakai oleh Mak Tape. Ukurannya pun berbeda dengan cangkir-cangkir kaleng yang ada di rumah itu. Upe selalu merengek untuk dibelikan cangkir yang sama. Namun, Mak Tape selalu menolak. Cangkir mereka itu sudah disesuaikan dengan porsi kebutuhan anak-anak seusia mereka.
“Bagaimana?” tanya Mak Tape lembut.
“Kenapa, Mak? Aku ingin di sini bersama kalian. Aku ingin tetap sekolah,” batin Upe.
Upe menatap wajah Pak Ade dengan takut-takut. Ludahnya kini terasa pahit. Keringat dingin bercucuran dari dahinya. Ingin sekali ia menolak dengan lantang. Namun, bibir seolah-olah terkunci. Otot-otot wajahnya semakin menegang.
“Oh, gitu,” lirihnya sembari mengaduk-aduk nasi di piring. Kalimat yang tidak ingin didengar itu kini mengiris-iris hatinya.
Upe menanti pembelaan. Namun, tidak seorang pun berujar. Bahkan Kak Dian yang suka membantah, kini sedang fokus melahap makanan di piring. Remaja itu semakin pasrah.
“Aku kenal si Andre itu, anaknya baik dan jujur. Kalau sudah dianggapnya bagus, ya, sudahlah, kau ikuti saja,” ujar Pak Ade.
Darah Upe berdesir kencang. Baru sesuap nasi yang masuk ke perutnya sepanjang hari ini, tetapi tidak lagi dirasanya lapar.
“Aku boleh memilih, Pak?” Tanya Upe dengan ragu. Pertanyaan yang sia-sia.
Keputusan selalu ada pada satu pihak.
“Pilihanmu pasti sangat berat,” ucap Pak Ade sambil mengunyah. “Kerjakanlah apa yang bisa menghasilkan uang. Jangan hanya jadi beban di keluarga.”
Upe meringis. Seperti ada sebilah benda tajam yang menancap di lubuk hatinya. Remaja itu pun sontak menoleh pada kedua saudara tertuanya. Namun, tidak ada yang berani membalas tatapannya. Semua pandangan anggota keluarga itu pun tampak turun. Tidak berani melawan titah.
“Kenapa Bang Arif dan Kak Dian bisa melanjutkan SMA, sementara aku tidak?” Upe meninggikan suaranya geram.
“Saat ini kita kekurangan uang,” kata Pak Ade tanpa menoleh kepada putranya yang tengah berapi-api. Suaranya mulai terdengar berat.
“Pak, aku ingin tetap se-“ Upe menghentikan ucapan. Sebuah piring kaleng terlempar nyaris mengenai Mak Tape yang sedang menyuapi Inara, anak bungsu di keluarga itu.
Sontak keheningan merambati gubuk reyot itu. Seakan-akan tidak mendengar apa-apa, Bang Arif dan Kak Dian masih tampak asyik menikmati jatah makan malam mereka. Mak Tape pun memasang tampang datar. Upe memandang sekeliling dengan hati yang tercabik-cabik.
Upe tidak berhenti. Darahnya turut mendidih. Hal tersebut dikarenakan kejadian tadi siang yang membuatnya kian tertekan hingga nekat membuat perlawanan.
“Kenapa, Pak? Apa aku salah kalau ingin menaikkan derajat keluarga ini?
Apakah Bapak tidak menginginkan salah satu anak Bapak bisa sekolah yang tinggi? Apakah itu hal yang salah, Pak?” teriak Upe sambil memandang wajah Pak Ade tanpa berkedip. Suaranya sedikit bergetar. Baru kali ini ada anggota keluarga yang berani berbicara kepada Pak Ade dengan nada tinggi seperti itu.
Pak Ade membalas tatapan dengan tidak kalah tajam. Sekilas tinjunya tampak mengepal. Bang Arif yang duduk di dekatnya mulai mengambil ancang-ancang
“Berani sekali kau berbicara kasar seperti itu padaku! Kau pikir hanya dengan modal ijazah SMP itu kau sudah bisa mengatur-atur orangtua? Apa yang diajarkan selama ini oleh guru-gurumu itu? Atau jangan-jangan kau yang sudah lupa?” bentak Pak Ade dengan lantang.
Napas Upe mulai memburu. Ditepisnya tangan Kak Dian yang sedari tadi mencengkeram lengannya. Ia pun tidak mengindahkan ucapan Mak Tape untuk menyudahi kegaduhan itu.
“Kenapa Bapak menyalahkan guru-guruku? Sementara Bapak sendiri seorang guru ngaji. Bapak yang selalu mengajarkan kami untuk tetap istikamah dan berdoa. Murid-murid ngaji Bapak pun banyak di kampung ini. Semuanya melanjutkan sekolah ke jenjang tinggi. Aku pun mau seperti mereka. Bukan hidup dengan kemiskinan seperti …” Upe tidak melanjutkan ucapannya. Kini sebuah cangkir bertutup merah melayang dan jatuh tepat di dekatnya. Air yang berada di dalamnya mengenai kaus Upe.
“Tutup mulutmu! Berani-beraninya kau …” Pria paruh baya itu kembali membentak. Kedua tangannya mengepal keras.
“Aku tidak ingin seperti Bapak yang dibayar seadanya menjadi guru ngaji atau Bang Arif yang menjadi kernet truk sawit. Aku tidak ingin kembali mengorek-ngorek pasir di sungai. Aku tidak ingin diwarisi kemiskinan dan kebodohan, Pak!” Upe menentang Pak Ade.
Pak Ade semakin berang. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia meninggalkan suasana panas itu. Diraihnya peci dan senter kecil yang ada di atas
meja kayu dekat timbunan pakaian. Pria itu pun berlalu menuju musala di seberang rumah.
Upe tidak seketika diam. Ia masih hendak melanjutkan pembicaraan sengit itu dengan Mak Tape. Sesuai firasat wanita berusia kepala lima itu. Mak Tape hendak meninggalkan makan malam tanpa sempat menyentuh apa pun yang ada di dalam piringnya. Baru saja ia menggendong Inara, Upe menyentuh lengannya.
“Mak,” panggil Upe dengan intonasi suara yang masih tinggi.
“Dengarkan kata Bapak! Apa yang akan kau lakukan jika melihat kami mati mendadak gara-gara ini, Upe?” celetuk Mak Tape dengan ketus.
Upe terdiam seraya melepaskan tangannya dari jangkauan lengan wanita itu.
Bibirnya bergetar menahan jutaan ucapan meyakinkan. Kepalanya kini terasa pening. Dadanya pun turut sesak, seolah ada yang menghujam kilat ke dada, tubuhnya kembali tumbang. Semangatnya pun layu dan merapuh. Remaja tangguh itu menangis tanpa suara. Bang Arif meninggalkan tikar purun, berlalu menuju dapur kecil untuk mencuci piringnya. Sementara Kak Dian tampak bergeming. Beberapa bulir hangat pun turut mengalir di pipinya, namun lekas ia hapus. Harapannya sama seperti Upe. Sama-sama hendak mengubah nasib. Setidaknya gadis berumur tujuh belas tahun itu lebih beruntung. Ia melanjutkan ke SMA negeri yang cukup bertaraf di kabupaten tempat mereka tinggal.
“Kau harus kuat, Dik! Mimpi tidak akan berhenti hanya karena kau tidak melanjutkan sekolah di tahun ini,” ujar gadis itu dengan binar balut.
Upe tidak memandang kakaknya. Ia masih meratapi kenyataan. Namun, entah mengapa ucapan Kak Dian tadi membahu hawa kesejukan. Melalui celah rongga hati, aliran dingin itu mulai menenangkan konflik batin.
Ia pun memberanikan diri untuk menoleh ke Kak Dian. Kedua pasang binar mereka bertemu. Saling menguatkan hanya dengan torehan seringai di wajah gadis itu, semangat Upe pun kembali terbit.
“Kau tahu, kan, kalau sayap elang itu kukuh. Makanya bisa terbang tinggi dan melaju sejauh yang ia mau. Lalu, bagaimana dengan sayapmu?” cetus Kak Dian
sambil menghapus genangan bening di kedua pipi adiknya dengan punggung tangan.
Upe terpana. Dicernanya perlahan ucapan Kak Dian. Seketika pelupuk matanya mulai mengering.
“Jangan jadi beban di keluarga!”
Ucapan Pak Ade kembali terngiang di benak Upe. Sesaat hati remaja itu menyusut, tetapi tidak dengan semangatnya. Kini semakin berkobar dengan marak hingga kian panas di kepala.
…
Pagi buta, Mak Tape sudah bersiap di dapur. Bumbu tumisan sudah diulek dan bersiap dimasak dengan irisan tempe dan ikan teri belah. Kayu bakar pun sudah disusun rapi di tungku kayu yang ada di belakang gubuk. Bahkan nasi sudah ditanak sebelumnya.
“Bang Andre akan menjemputmu pukul delapan. Semoga tidak ada barangmu yang tertinggal,” tutur Mak Tape saat mendapati putranya tengah bersiap mengikuti jemaah shalat Subuh ke musala. “Jangan lupa minta restu ke Bapak.”
Upe hanya mengangguk dan berkalang tanah.
“Ah, Bapak. Apa pedulinya padaku?“
Pak Ade sudah mengumandangkan azan sejak menit-menit sebelumnya. Remaja itu pun tergopoh-gopoh menuju musala sembari membetulkan letak peci dan sarungnya. Udara Subuh itu mendesir lembut, menyentuh pipinya selama ia berlari. Hawa dingin yang pasti dirindukannya nanti.
“Hei, jangan main tinggal aja. Udah kusuruh tunggu dari tadi,” seru Bang Arif dengan napas tersengal-sengal.
“Udah tua, tapi masih penakut. Tidak ada penunggu di pohon manga itu. Mungkin saja ada, tetapi menampakkan wujud pada orang-orang yang penakut sepertimu, Bang,” ejek Upe sembari melangkah ke saf paling depan, tepat di belakang Pak Ade yang menjadi imam salat subuh saat itu.
“Ayolah, kita mundur saja. Di sini barisan khusus para sesepuh,” celetuk Bang Arif seraya menyikut pelan lengan adiknya.
“Kalau kita tidak bisa mengambil posisi sebagai imam, setidaknya kita bisa tepat di belakang imam, Bang. Sesekali menjadi sesepuh pun lebih nikmat. Biar wibawanya bisa nular,” balas Upe semringah.
“Iya, ya. Kupikir tadi kau mau bilang kalau mau ambil posisi di depan imam,” canda putra sulung di keluarga itu.
“Kau duluan sajalah, Bang. Aku nanti saja. Pagi ini aku harus ke Langsa. Mengisi pundi-pundi recehan. Urusan duniawiku saja belum kelar. Janjiku pada Emak pun belum kunjung ditunaikan,” ketus Upe yang tengah bersiap membaca niat dan menunaikan shalat wajib itu.
Kali ini Upe tampak lebih khusyuk. Alunan ayat pendek yang dilantunkan Pak Ade terasa lebih merdu sebelumnya. Hingga pada rakaat terakhir, saat Upe meresapi setiap ayat Al Fajr, mendadak sanubarinya bergetar. Hingga pada dua ayat di pertengahan surat, pandangannya mengabur. Perlahan ia mengartikan ayat tersebut dengan menahan sesuatu dari dalam dadanya yang hendak meronta.
Maka ada pun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberikannya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku telah memualiakanku.” Namun, apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinaku.”
Derainya menitik hingga salam terakhir. Beberapa jemaah memperhatikan remaja itu terisak. Sajadah tempat sujudnya pun tampak membentuk pulau yang lembap. Jemaah hanya tidak terlalu memperhatikan. Mereka berburu waktu untuk mengais rezeki.
“Kau kenapa?” Tanya Bang Arif lirih.
Upe bergegas menghapus sisa genangan kesedihan di pipi sambil menggeleng. Lisannya yang bungkam membuat abangnya semakin kebingungan. Bang Arif bergidik saat melirik jam dinding yang ada di musala itu.
“Aku pergi dulu. Aku sudah janji dengan Bang Naim untuk ke rumahnya sebelum pukul enam. Kami akan mengangkut pasir ke kota. Oh, ya, baik-baik selama di tambak, ya. Maaf, Abang tidak bisa mengantarmu sampai sana. Laki-laki harus kuat,” pesan Bang Arif seraya menepuk punggung adiknya.
Dipandanginnya wajah abangnya sembari mengulas senyum. “Terima kasih, Bang,” ucap remaja itu dengan tulus. Beberapa kali ia cegukan akibat tangis yang baru meledak tadi.
Tanpa pelukan perpisahan, Bang Arif berlalu meninggalkan adiknya. Pria itu tampak bersicepat pulang ke gubuk di dekat pohon mangga. Sementara Upe kembali berkutat dengan pikirannya. Ia memandang Pak Ade yang sedang bercengkerama santai dengan dua orang pria renta di ambang pintu keluar. Batin Upe pun mulai bergejolak. Kakinya sudah bersiap hendak mengambil haluan, tetapi hatinya semakin bergemuruh.
“Jangan lupa minta restu ke Bapak.”
Ucapan Mak Tape melanglang buana di pikirannya. Ia berhasil membantun dua langkah kecil. Perlahan langkahnya mulai sedikit melebar. Tentu saja, sesaat lagi remaja itu akan mencapai pria yang dituju. Namun, tiba-tiba ia bergeming.
“Jangan hanya jadi beban di keluarga.”
Hatinya kembali bergejolak. Kalimat yang pernah terlontar dari Bapak saat mereka beradu mulut tempo hari, lagi-lagi muncul di ingatan. Hatinya semakin tidak menentu. Sementara pendengarannya terasa bising. Ucapan itu berulang-ulang dengan cepat.
Upe kembali menyeret langkah. Sekali ayun terasa sangat berat. Seolah tubuhnya terpatok di punggung bumi. Dipejamkannya mata, tetapi ucapan Pak Ade kembali terngiang.
Upe memandang sekitar seraya menghela napas panjang. Hanya empat orang yang tersisa di musala. Tentu saja dirinya, Pak Ade serta dua lawan bicaranya. Sebenarnya ini kesempatan yang tepat untuk memecahkan perang dingin di antara mereka.
“Beban di keluarga,” desisnya.
Dicobanya untuk menepis suara-suara yang kian riak meskipun dada semakin sesak. Upe mengamati kedua pria renta tadi meninggalkan Pak Ade. Keadaan semakin menguntungkan. Musala hanya ada ia dan Pak Ade.
Dari ujung mata, pria paruh baya tadi mengawasi gerak-gerik putranya.
Merasa akan diajak berbicara, Pak Ade membalikkan badan. Kini keduanya saling bertatapan dingin. Upe pun mempercepat langkah. Saat selangkah lagi mendekat, remaja itu hanya melempar pandang. Mulutnya terkatup rapat. Seandainya saja tidak ada bujukan iblis yang mengulang-ulang ingatan miris itu, pastilah keduanya kini sudah saling berpelukan satu sama lain. Namun, nyatanya kini Upe tertalah- talah kembali ke gubuk.
…
“Mak, aku akan pulang dengan uang yang banyak,” ucap Upe sembari memeluk ibunya dengan sangat erat.
“Sehat-sehat, ya, Nak. Jangan pernah lupa lima waktunya. Rindu itu wajar, tetapi kalau kau bisa mengalihkannya dengan membaca Al-Qur’an, itu baru luar biasa. Tidak pernah ada obat lain semujarab itu. Emak hanya bisa membantumu dengan doa,” tutur Mak Tape panjang pendek. Air matanya tergenang di pelupuk matanya yang lelah. Baru kali ini mereka akan berpisah dalam jangka waktu yang lama.
Upe melepaskan pelukan dan beranjak menaiki mobil Kijang hitam. Bang Andre sudah menunggu di depan kemudi sedari tadi, memperhatikan drama ibu anak dengan mata berkaca-kaca. Sudah bisa dibayangkannya bagaimana perasaan Upe saat ini. Baru menginjak usia lima belas tahun harus dilepas paksa dari kursi sekolah.
“Kau sudah siap?” Tanya Bang Andre sambil tersenyum dan mengacak rambut remaja dengan perasaan kalut itu.
“Iya, Bang,” jawab Upe dengan getir.
“Kemiskinan bukan warisan. Aku janji suatu saat akan menciptakan kisah baru untukmu, Pak. Akan kubuktikan bahwa keputusan kalian salah,” batinnya.
Kemudian, mobil itu melaju cepat meninggalkan gubuk. Upe tidak sekali pun menoleh ke belakang. Sementara Mak Tape, Kak Dian, dan Inara melambai- lambaikan tangan hingga mobil itu lenyap dari pandangan.
Dari balik jendela musala, sesosok pria pun tidak lepas menatap kepergian Upe. Mulutnya tampak komat-kamit sembari berdoa. Diangkatnya kedua telapak tangan yang terbuka ke arah langit. Dadanya naik turun menahan isak. Ia tahu melepas kepergian itu menyakitkan. Namun, dibenci seseorang malah lebih perih.