Artikel Ilmiah Populer

Doxa dalam Praktik Keislaman: Menyeimbangkan Warisan Tradisi dan Tuntutan Modernitas

Dalam dunia pemikiran kritis, istilah doxa merujuk pada keyakinan, pendapat, atau asumsi yang diterima begitu saja oleh masyarakat tanpa dikaji lebih lanjut. Konsep ini berasal dari filsafat Yunani, terutama dari pemikiran Plato yang membedakan antara doxa (pendapat) dan episteme (pengetahuan sejati), kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh sosiolog Pierre Bourdieu dalam konteks habitus dan struktur sosial (Bourdieu, 1977). Dalam konteks agama Islam, doxa dapat ditemukan pada keyakinan-keyakinan sosial-keagamaan yang seringkali diterima secara turun-temurun tanpa penelaahan mendalam. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana umat Islam dapat melepaskan diri dari belenggu doxa tanpa kehilangan esensi ajaran agama?
Salah satu bentuk doxa dalam agama Islam adalah praktik-praktik budaya yang dibalut dengan legitimasi agama. Fenomena ini terjadi ketika tradisi lokal di berbagai daerah dianggap sebagai bagian integral dari ajaran Islam, padahal sejatinya merupakan hasil akulturasi budaya setempat dengan nilai-nilai Islam. Contoh konkret dapat dilihat pada praktik ziarah kubur yang di beberapa tempat bercampur dengan ritual tertentu yang tidak diajarkan dalam Al-Qur’an atau Hadis. Tradisi semacam ini diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran tanpa dikaji ulang, menjadikannya doxa yang mengikat secara sosial. Geertz (1968) dalam studinya tentang Islam di Jawa menunjukkan bagaimana praktik-praktik keagamaan masyarakat sering kali merupakan perpaduan antara ajaran Islam dengan tradisi lokal yang telah mengakar, menciptakan apa yang disebutnya sebagai Islam nominal, yakni Islam sebagai identitas sosial budaya, yang berbeda dengan Islam ortodoks yang berpegang pada ajaran normatif secara ketat.
Selain itu, doxa juga dapat muncul dari penafsiran agama yang stagnan. Banyak umat muslim menerima tafsir tertentu dari ayat-ayat Al-Qur’an tanpa membuka ruang diskusi untuk memahami maknanya secara kontekstual. Sikap ini menjadikan sebagian ajaran Islam terkesan beku, tidak relevan dengan perkembangan zaman, dan menutup kemungkinan munculnya ijtihad baru yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat modern. Fazlur Rahman (1982) menegaskan bahwa salah satu tantangan utama umat Islam adalah kecenderungan untuk menerima interpretasi masa lalu tanpa mempertimbangkan konteks sosial-historis yang berbeda. Hal ini berpotensi menghalangi dinamika pemikiran Islam yang sebenarnya sangat diperlukan untuk menjawab tantangan zaman.
Namun demikian, Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi akal dan ilmu pengetahuan sebenarnya mendorong umatnya untuk tidak terjebak pada doxa. Al-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk berpikir, bertafakur, dan menggunakan akalnya. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 164, Allah SWT berfirman“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum.yang.berpikir.”Dalam ayat tersebut Allah SWT menyebutkan berbagai tanda-tanda kekuasaan-Nya “bagi kaum yang berakal”, menunjukkan pentingnya penggunaan akal dalam memahami realitas. Rasulullah Muhammad SAW pun mencontohkan sikap kritis terhadap tradisi-tradisi jahiliyah yang diterima masyarakat Arab pada masanya. Beliau tidak serta-merta menerima praktik-praktik yang telah mengakar dalam masyarakat, tetapi mengevaluasinya berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mendorong pembebasan diri dari belenggu doxa yang menyesatkan melalui jalan ilmu dan dialog.


Dalam praktiknya, melawan doxa di lingkungan beragama memang bukan perkara mudah. Penolakan, stigma, bahkan konflik sosial dapat muncul ketika seseorang mempertanyakan keyakinan yang telah mendarah daging dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan analisis Bourdieu (1991) tentang bagaimana doxa berfungsi sebagai mekanisme reproduksi kekuasaan simbolik dalam masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang bijak, edukatif, dan penuh hikmah agar proses pembebasan dari doxa ini tidak menimbulkan keretakan sosial. Pendekatan dialogis yang menghargai perbedaan pandangan sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar Islam menjadi kunci utama dalam mengatasi tantangan ini.
Kesadaran untuk membedakan antara ajaran murni agama dengan warisan budaya atau interpretasi manusia merupakan langkah awal yang penting. Dengan demikian, umat Islam dapat menjaga kemurnian ajaran agama sekaligus menjawab tantangan zaman melalui penafsiran yang kontekstual dan relevan. Abdolkarim Soroush (2000) menegaskan bahwa pemahaman agama selalu bersifat historis dan kontekstual, sehingga diperlukan upaya terus-menerus untuk mereinterpretasi ajaran agama agar tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi dasarnya.
Pada akhirnya, melepaskan diri dari belenggu doxa bukan berarti memberontak terhadap agama, tetapi justru mengamalkan esensi Islam yang menekankan pentingnya berpikir kritis dan rasional. Proses ini memerlukan keseimbangan antara penghormatan terhadap tradisi dan keterbukaan terhadap pembaharuan yang konstruktif. Dengan demikian, Islam dapat terus berkembang sebagai agama yang dinamis dan relevan dengan tantangan zaman, sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip fundamental yang menjadi dasarnya. Upaya ini bukanlah sekadar tugas intelektual, melainkan tanggung jawab spiritual setiap Muslim untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama secara mendalam, rasional, dan autentik.

Referensi:
Bourdieu, Pierre. (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Harvard University Press.
Geertz, Clifford. (1968). Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. Chicago: University of Chicago Press.
Rahman, Fazlur. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
Soroush, Abdolkarim. (2000). Reason, Freedom, and Democracy in Islam. Oxford: Oxford University Press.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. (2019). Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia.

Penulis: Muhammad Agung Prasetya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.