Oleh : Ofni Oftafiana

Mentari masih malu menunjukan pesonanya, sinarnya yang sayu menjadi penandanya. Bentangan sawah dan perkebunan luas menghampar. Selama perjalan, mereka setia menemani dengan ke indahannya. Jalan berbatu dan berliku menjadi bumbu sedap perjalanan. Sesampainya dirumah Akung dan mbahti, aku dan kereta besiku di sambut dengan gerbang kayu yang menjulang tinggi kelangit. Melihatnya saja sudah tergambar jelas betapa  berat dan susahnya gerbang itu ditembus dan dibuka tutup. Rumah akung dan mbahti memiliki gaya jawa klasik dengan bentuk genteng Joglo yang semua ornamennya terbuat dari kayu.
Sesampainya dihalaman rumah akung dan mbahti pemandangan kurang sedap nampak jelas. Halaman rumah dipenuhi dengan dedaunan kering dari pohon mangga dan rambutan yang sudah bertahun-tahun tumbuh menghiasi halaman rumah kalsik itu. Kolam ikan yang beralih fungsi menjadi tempat sampah kaleng-kaleng bekas. Rerumputan yang panjang tak tertata mulai menutupi jalan kecil menuju teras. Tanaman gantung yang menghias kusam tak terawat. Serta dua kursi goyang yang keropos dimakan rayap.
 Aku sangat terkejut melihat keadaan rumah Akung dan Mbahti yang dulunya sangat antik, klasik, dan megah menjadi bangunan tua yang tampak tidak berpenghuni.
“yah, ini rumah Akung dan Mbahti?. kenapa beda banget sama terakhir kita kesini?”. Mataku melihat kesana-kemari .
“kamunya aja yang udah lama gak kesini Zi”. Yayah mencoba mengilah, menepis pikiran-pikiran negatifku.
Sekilas aku merasa ada yang mengawasi dari balik tanaman hias dipinggir rumah akung dan mbahti. ku lirik lagi tanaman hias itu tidak ada siapapun dan sesuatu yang aneh. Aku merasa bingung, mungkinkah hanya perasaan ku saja karena terbawa suasana melihat keadaan rumah akung dan mbahti. tiba-tiba datang seseorang dari arah berlawanan.
“pak Jo… assalamualaikum”. teriak yayah tersenyum sambil mendekati dan mengangkat tangannya.
“walaikumsalam…pak Darto. Bagaimana kabarnya?”. Tersenyum sambil menepuk-nepuk jabatan tangan yayah.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah tanaman hias tadi. Langkah ku mulai maju tanpa sadar menuju kearah tanaman hias tadi. Belum genap langkahku, yayah sudah memanggil memecah fokus pada tanaman itu.
“Zi ini pak Jo yang ngurus mbahti dan rumah ini sepeninggalan akung”. Menunjuk pak Jo dengan senyum ramah.
Aku hanya tersenyum menyapa sambil berjabat tangan dengan pak Jo. Melihat baik-baik penampilan pak jo menghafal semua gestur badan nya. Mungkin saja setelah ini aku lupa dengan pak Jo. Sekilas tidak ada yang istimewa darinya. Hanya saja aku tertarik dengan bekas luka dilengan sebelah kirinya yang nampak menonjol. Entah sepertinya itu luka gores atau luka benda tajam.
“Pak Darto, ibuk sedang tidak dirumah. Beliau sudah 3 hari pergi ziarah bersama tetangga lainnya. Kira-kira ibuk akan sampai besok pagi pak”. Terang pak Jo sembari memberikan kunci kepada yayah.
Setelah memberikan kunci kepada yayah pak Jo pamit untuk pulang. Yayah hanya tersenyum dan mengatakan terimakasih dan sedikit berbisik-bisik. Aku tidak memiliki rasa penasaran atas bisikan mereka. Pandanganku terfokuskan kepada keadan rumah antik dimana yayah dibesarkan serta keadaan mbahti disini. Ketika pintu berukiran kembang itu dibuka, bau debu dan pengap sangat terasa.
“Yayah, mbahti tinggal disini sendirian?.” Tanyaku kepada yayah yang sibuk membawakan koper pakaian kami.
“gak kok, bude Bendi setiap seminggu sekali pulang. Tepatnya setiap hari jumat sampai minggu”.  Jawab yayah
“ seharusnya bude Bendi sekarang ada disini yah. Kenapa bude Bendi tidak ada dirumah? Hari ini kan hari sabtu”. Tanyaku bertubi-tubi
Yayah hanya diam menatap dengan mengangkat bahunya. Memberi kode bahwa aku harus membantunya dengan lirikan mata yang mengarah kekoper-koperyang kami bawa.
***
Jarum jam menunjuk angka 10 malam. Hawa dingin yang diiringi dengan teriakan serangga malam menjadi ketenanagan tersendiri. Tiba-tiba Suara mesin mobil memecah fokusku pada kotak ajaib bergambar dan bersuara. Kulirik dari balik jendela siapakah yang datang semalam ini?. terlihat wanita dengan badan cukup berisi membawa tas-tas berkelap-kelip berwarna hitam dan putih.
“Assalamualaikum… mas Darto, Zifar si ganteng . Nyampek jam berapa tadi? Maaf tadi ada urusan di kantor mendadak ada sidak dari atasan”. Jelas bude Bendi sambil menyalami Yayah dan aku.
“walaikumsalam… Ben”. menjawab salam sambil menggiring bude untuk duduk di ruang tamu.
 Aku hanya melihat sebentar tingkah kakak beradik itu kemudian fokusku kembali ke kotak ajaib bergambar dan bersuara yaitu televisi. Diruang keluarga aku masih dapat mendengar percakapan yayah dan bude Bendi samar-samar. Sebenarnya aku tidak penasaran apa yang dibicarakan mereka tapi ketika mereka menyebut nama pak Jo aku merasa sedikit kepo. Pertama aku melihatnya aku sedikit asing dan kurang suka dengan sikapnya yang sedikit dingin dan cuek.
  “Ben, gimana pak Jo disini?. Apa dia masih sering melakukan itu?”. Suara Yayah terdengar berbisik samar-samar.
Apa maksudnya melakukan itu?. Didalam pikiranku aku bertanya-tanya apa maksud dari percakapan itu. Kemudian aku kecilkan volume televisi didepan ku ini. Berusaha mendengarkan percakapan mereka dengan fokus dan sangat hati-hati. Tiba-tiba ada suara barang jatuh sangat keras dari arah ruang kerja Akung. Spontan aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah ruang kerja Akung. Sedari tadi aku sampai dirumah ini aku baru sadar jika pintu kamar ruang kerja Akung di tutupi dengan lukisan yang dilapisi kain putih lusuh yang tipis sehingga aku dapat melihat gambar dari lukisan itu. Lukisan pemandangan pulau kecil buatan Mbahti. dipikiranku langsung terlintas. Mengapa lukisan favorit Akung bisa menjadi pengganjal pintu. setelah Akung berpulang aku tidak mengetahui kabar tentang Mbahti dan penghuni rumah ini. begitu banyak pertanyaan timbul terasa banyak ke anehan.
Langkahku ringan maju menuju ruang kerja Akung dibawah alam sadar. Kurang 3 langkah lagi menuju ruang kerja akung. Bude Bendi dan Yayah memanggil.
“Zi kamu sedang apa disana?”. tanya bude Bendi
“Eh…. oh tadi aku dengar ada suara barang jatuh bude. Suaranya dari arah sini”. jelasku dengan menunjuk kearah ruang kerja Akung.
“Paling suara tikus Zi, maklum aja itu ruangan udah 5 tahun gak dipakek”. Jelas bude Bendi dengan senyum hangatnya sambil mengayunkan tangannya tanda dia menyuruhku tuk mendekatinya.
Seketika rasa penasranku hilang setelah mendapat penjelasan yang cukup logis dari bude bendi. Kemudian aku duduk mendekat diantara kakak beradik yang sedang sibuk menyiapakan makanan ringan untuk camilan kami yang akan menjadi sesuatu yang penting disaat kami mengobrol. Kini dimeja kecil kayu berukiran kembang dan beralaskan taplak meja rajut buatan Mbahti sudah terisi penuh dengan berbagai makanan ringan seperti martabak, kue putu, dan permen jahe.
“Zi… bude udah dengar cerita dari Yayahmu. Kenapa kamu bisa jadi anak nakal seperti ini sih? Gak ada sejarah loh dikeluarga kita kalo gak lulus ujian. Bude khawatir sama ujian akhirmu kalau kamu masih seperti ini. Bude tidak bermaksud meneninggi. Tapi semua bude pakde yayah ibun akak dan sepupu-sepupu kamu itu lulusan terbaik dan kuliah di universitas terbaik di negeri ini. kamu gak malu kalo kamu nanti gak lulus dan jadi penganguran. Bude kecewa sama kamu Zi. Kemana Zifar yang ganteng dan cerdas dulu? Tolong pikirkan lagi masa depanmu sekarang bukan waktunya main-main”. Ceramah bude Bendi tanpa jeda sambil menepuk- nepuk genggaman tangan kami.
“Iya bude….” jawab ku dengan suara lemas dan merasa bersalah.
“Besok kamu harus bangun pagi ya. Habis subuh bude mau ngajak kamu ke suatu tempat yang insyallah bisa bikin kamu tobat”. Pinta bude bendi sambil mengelus-elus kepalaku.
***
Suara detak jarum jam menjadi pengiring dari rumah ini. tidak ada suara selain detak jarum jam. Malam ini aku sedikit kurang lelap dalam tidurku. Aku masih merasakan bahwa kau sedikit terbangun. Kulirik jam kecil di meja sebelah kiriku menunjukan pukul 03.00 pagi. Aku mengubah posisiku mengarah kejendela yang tidak aku tutup dengan pemandangan hamparan bintang malam. Langitpun tidak begitu gelap, sedikit menenangkan melihatnya. Sekelebat aku mencium aroma wedang jahe. Hidungku mulai mengendus endus mencari berasal dari mana aroma yang begitu harum ini. Tapi saat ku endus-eundus aroma itu terasa tidak asing. Seperti aroma minuman kesukaan Akung. Dimana wedang jahe terdapat banyak rempah dan manisnya gula aren. Mencuim aromanya saja aku dapat merasakan nikmatnya rasa minuman kesukaan Akung yang selalu diberikan kepada ku dimalam hari jika aku berkunjung.
Setelah aku yakin aroma itu, aku memutuskan mencari aroma itu berasal. Aku tinggalkan ranjang berkerangka besi dengan hiasan kelambu putih itu dengan meninggalkan suaranya khasnya. Berjalan mengikuti aromanya perlahan tapi pasti, aku mencium aroma itu sangat kuat dari arah ruang kerja Akung. Kebetulan saja kamar yang kugunakan terletak tidak jauh dari ruang kerja akung. Terletak di depan ruang kerja akung namun arah pintu kita berlawanan. Kemudian aku mendekat keruangan itu. Ruangan tempatku bermain dengan Akung setelah beliau pulang dari kerjanya dahulu. Belum setengah jalan, bahuku terasa ada yang menyentuh. Seketika aku berbalik ke arah sentuhan itu.
“Arghh…astagfirullah”. teriakan ku yang kaget karena sentuhan itu
“Mau ngapain mas Zifar? Kok belum tidur, ini sudah jam 3”. Tanyanya sambil berbisik-bisik karena takut mengangu.
“Loh kok Pak Jo disini?. Bukannya Pak Jo udah pulang ya tadi?”. Tanyaku dengan wajah kebingungan.
“Oh tadi bu Bendi menyuruh saya untuk menyiapkan barang-barang yang besok mau dibawa”. Jelasnya sambil bergegas membawa keranjang merah yang entah berisi apa.
Tunggu, kenapa tangan Pak jo berwarna merah?. Seperti habis melakukan sesuatu dengan bahan pewarna. Gelegatnya juga lumayan mencurigakan terlihat dari matanya. Setelah itu Pak Jo bergegas kekebun belakang dengan membawa keranjang merah yang entah berisi apa. Aku memandangnya samapai benar-benar tidak terlihat lagi. Ketika aku akan berbalik kembali menuju kamarku, aku menyadari bahwa lukisan pulau Mbahti sudah tidak berada di depan raung kerja akung. Aneh sekali, bukan kah tadi ketika aku mendengar suara barang jatuh ada lukisan mbahti disana. apakah sudah disinggirkan ke tempat yang aman oleh Pak Jo?. Entah mengapa begitu banyak pertanyaan dibenakku. Lagi-lagi aku merasa semua ini aneh dan banyak keganjalan.

Bersambung….