Cerbung


Gen Z Lebih Suka Mana? Antara Baca Buku atau Tiktok?
Generasi Z atau Gen Z lahir sekitar tahun 1997–2012, mereka tumbuh bersama teknologi digital yang berkembang pesat. Tidak heran jika mereka sudah akrab dengan internet dan media sosial sejak kecil. Salah satu aplikasi yang jadi favorit Gen Z adalah tiktok (platform video pendek), di tiktok sendiri tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk cari info, belajar hal baru, bahkan mendapatkan inspirasi. Dari konten edukasi, kutipan buku, cerita alternatif universe, sampai video motivasi, semuanya bisa ditemukan di tiktok. Di sisi lain, Indonesia masih punya masalah serius soal literasi. Data dari PISA tahun 2019 menunjukkan Indonesia ada di peringkat 62 dari 70 negara dalam hal kemampuan membaca. Survei kecil yang dilakukan penulis juga menunjukkan bahwa 64,2% Gen Z lebih suka scroll tiktok dibanding baca buku (35,8%). Ini jadi gambaran nyata bahwa budaya membaca masih kalah saing dengan hiburan digital yang lebih instan dan menarik perhatian. Menariknya, Gen Z sebenarnya tetap bisa dapat manfaat dari tiktok, asalkan tahu cara mengelolanya. Banyak konten informatif dan edukatif di sana yang dikemas dengan cara menyenangkan. Bahkan, kutipan buku yang dibacakan dengan musik bisa membantu mereka yang malas baca buku tebal. Video tutorial, ceramah singkat, dan motivasi juga bisa untuk bahan belajar, jadi tidak membosankan. Akan tetapi, tetap harus waspada karena tidak semua konten di tiktok bisa dipercaya, dan ada juga konten negatif yang harus disaring. Sayangnya, banyak Gen Z yang masih anggap buku itu membosankan karena isinya hanya teks. Padahal, buku bisa membahas lebih dalam yang tidak dimiliki oleh tiktok dan bisa melatih cara berpikir kritis. Buku self-improvement, novel, atau biografi bisa membantu mereka mengenali diri sendiri, memahami emosi, dan bahkan jadi referensi tugas kuliah. Jadi, meskipun tiktok seru, buku tetap penting buat memperluas wawasan. Kesimpulannya, baik tiktok maupun buku punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita sebagai pengguna bisa bijak dalam memilih dan mengatur waktu. Jika bisa memanfaatkan tiktok untuk hal positif tanpa lupa pentingnya membaca buku, itu baru keren. Karena di zaman sekarang, pintar itu tidak hanya soal banyak wawasan, tapi juga soal bisa memilih mana yang bisa bikin kita berkembang. Referensi: Laili Nurin Nabila, F. P. (2023). Aksentuasi Literasi pada Gen-Z untuk Menyiapkan Generasi Progresif Era Revolusi Industri 4.0. Journal of Education Research . Sofie Dewayani, P. R. (2017). Literasi sebagai Praktik Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Yulian Dwi Putra, D. J. (2024). Realitas Keterlibatan Gen Z dalam Media Sosial Tiktok Perspektif Sosiokultural. Intercode – Jurnal Ilmu Komunikasi.

Cara Efektif Mengelola Stres Akademis Bagi Mahasiswa
Menjadi mahasiswa memang penuh tantangan, banyaknya tugas menumpuk, ujian, dan tuntutan akademis lainnya sering kali membuat stres. Stres akademis yang tidak dikelola dengan baik bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan prestasi belajar mahasiswa. Nah, bagaimana cara mengelola stres akademis agar tetap sehat dan produktif? Berikut adalah lima cara mudah agar dapat mengelola stres akademis mahasiswa : 1). Buat Jadwal Belajar yang Teratur dan RealistisSalah satu penyebab utama stres mahasiswa adalah banyaknya tugas yang belum dikerjakan dan biasanya mahasiswa mengerjakannya dengan mendadak. Mulailah dengan membuat jadwal belajar yang jelas dan realistis dan prioritaskan tugas berdasarkan deadline dan bagi waktu belajar menjadi sesi – sesi kecil, agar tidak merasa kewalahan. Dengan perencanaan yang baik, mahasiswa bisa menghindari kebiasaan menunda – nunda yang justru memperparah setres. 2). Jangan Ragu untuk Meminta DukunganStres akan terasa lebih ringan jika mahasiswa mempunyai tempat untuk berbagi cerita. Ceritakan beban yang dirasakan pada keluarga, teman, atau dosen pembimbing. Kadang hanya dengan didengarkan, pikiran bisa menjadi tenang dan jangan lupa juga manfaatkan layanan konseling di kampus jika merasa perlu bantuan. 3). Terapkan Teknik Relaksasi dan Mindfulness Cobalah teknik pernapasan dalam, meditasi singkat, atau latihan mindfulness untuk menenangkan pikiran. Luangkan waktu 5 – 10 menit setiap hari untuk fokus pada pernafasan dan melepas ketegangan, cara ini terbukti efektif untuk mengurasi kecemasan dan dapat meningkatkan konsentrasi. 4). Rutin BerolahragaOlahraga bukan hanya baik untuk tubuh, tapi juga untuk pikiran. Aktivitas fisik seperti jalan kaki, jogingg, atau yoga dapat membantu melepaskan hormon endorfin yang membuat Anda merasa lebih bahagia dan rileks. Sisihkan waktu minimal 30 menit setiap hari untuk bergerak aktif. 5). Jaga Pola Tidur dan NutrisiTidur yang cukup dan makan makanan bergizi sangat penting untuk menjaga stamina dan kesehatan mental. Hindari begadang dan belajar terus – menerus karena justru membuat otak lelah dan stres makin menumpuk. Pastikan tidur 7 – 8 jam setiap malam dan konsumsi makanan sehat seperti sayuran, buah, dan protein. Oleh: Yuliana Sulistyaningtyas

Belenggu Ketakutan
Di bawah hangatnya selimut aku mengasingkan diri Menutup mata dan telinga dari bisingnya duniaDitemani dengan kesunyian dan keheningan Panggilan dari hari esok memaksaku untuk bangunTapi hari kemarin terus menarikku agar tetap diam Pikiran ini selalu berputarRasa ingin bangkit dan berubah Tapi rasa takut kian menyelimuti selalu berbisikSeakan tak lupa untuk menyapa Rasanya inginku berlari dari terowongan yang gelap ini Tapi mengapa jiwa ini tak dapat digerakkanHari kemarin semakin erat mengikat Bisakah aku membuka ikatan ini?Bisakah aku keluar dari terowongan ini? Karya: Wiji Indah Prasetya

Aksi Peduli: HMPS KPI UIN Gus Dur Selenggarakan Ramadhan Action dan Buka Bersama
Pekalongan-jurnalphona.com Himpunan Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (HMPS KPI) UIN K.H. Abdurrahman Wahid (UIN Gusdur) Pekalongan selenggarakan Ramadhan Action dan Buka Bersama di gedung FUAD lantai 2 pada Sabtu, (22/03). Ramadhan Action dan buka bersama merupakan acara tahunan yang dilakukan oleh HMPS KPI UIN Gus Dur Pekalongan. Dengan mengusung tema “Peduli dengan Aksi” dan menghadirkan Prof. Dr. Imam Kanafi, M.Ag sebagai narasumber. Acara dibuka dengan sambutan ketua pelaksana Achmad Bagas Pranata yang mengungkapkan rasa terimakasih atas antusiasme peserta yang hadir. Achmad Bagas Pranata selaku ketua pelaksana menjelaskan tujuan acara ini yaitu sebagai wadah berkumpulnya mahasiswa prodi KPI dan diharapkan dapat menumbuhkan sisi kemanusiaan. “Ramadhan action sendiri itu sebagai tempat berkumpulnya seluruh mahasiswa dari program studi KPI dan menumbuhkan sifat kemanusiaan kita.“ Dyah Putri Septiani selaku demisioner yang hadir berharap acara ini kedepannya lebih baik dan semakin banyak peserta yang antusias hadir dalam acara ini. “Aku berharap kedepannya lebih banyak peserta yang antusias dan meramaikan acara ini.“ Penulis: Nabilla Rahayuningtyas C. A.Reporter: Wiji Indah Prasetya

Ketindihan
Oleh: Nanda ‘Abidatur Rosyidah Al Mabruroh “Mira Mir, tolong” Aku berteriak sekuat mungkin. Aku melihat Mira masih tertidur pulas, seakan tidak mendengar apapun, aku melihatnya dengan mata yang tidak bisa terbuka sempurna. Aku kembali mencoba menggerakkan tubuhku, namun benar-benar tidak bisa digerakkan, seperti ada yang berada diatas tubuhku. “Mir, tolong” Aku mencoba berteriak lagi. Keringat mulai membasahi seluruh tubuh, aku kembali mencoba menggerakkan tangan, mencoba meraih tangan Mira. Tapi, tetap saja tidak bisa. Nafasku mulai tidak beraturan, seperti habis lari memutari lapangan bola sebanyak sepuluh kali. Seperti dalam mimpi, namun ini terasa terlalu nyata. Aku melihat ada seseorang yang menyentuh tangan kiriku. Aku terkejut bukan main, tangannya berkuku panjang dan sangat tajam. Digerakkan dari ujung kuku sampai menyentuh pundakku. Tubuhnya tepat berada diatas tubuhku. Nafasku semakin tidak beraturan, aku tidak berani membuka mata. Mulutku mulai membaca do’a-do’a penangkal jin, tapi tidak bisa. Aku semakin ketakutan, keringat bercucuran membasahi baju yang aku kenakan, mungkin sampai membasahi kasur. Dalam hati, aku sudah memaki-maki jin ini, malam-malam begini masih saja mengganggu. Aku mencoba memberanikan diri membuka mata, tubuhku semakin kaku, tepat didepan wajahku, ada wajah seseorang seperti kingkong raksasa, berbulu, berwarna hitam, dan matanya merah menyala. Menatapku dengan penuh amarah, seakan-akan marah kepadaku. Aku kembali menutup mata, tapi anehnya tidak bisa. Aku menangis, benar-benar ketakutan. Aku kembali mencoba membaca do’a-do’a, kali ini bisa, tapi dia belum hilang juga. Sampai ku ulangi beberapa kali, tetap saja belum hilang dan masih menatapku. Aku semakin kesal, seingatku aku masih mengerjakan tugas kuliah. Aku teringat, Mira pernah bercerita kalau sedang diganggu jin begini, dibacakan do’a-do’a tidak mempan, diumpat saja dengan makian. “Jin sial!n, anak an*ing, pergi kau” Aku mengumpat, sudah sangat kesal. Tanpa ku sangka, dia malah semakin marah. Menggeram, semakin menekan tubuhku. Keberanianku hilang, dia semakin menakutkan. Dalam hati, aku mengutuk Mira, kenapa dia memberi saran konyol ini, anenhnya aku percaya dia. Aku sudah pasrah, Mira masih tertidur pulas disampingku. Disaat itu juga, Mira berpindah posisi, kakiku ditendang Mira. Seperti bangun dari mimpi buruk, lega sekali rasanya. Aku duduk, menatap sekitar. Kemudian membangunkan Mira. “Mir, bangun” Aku menggoyangkan tubuh Mira. “Mirr, ayo bangun. Aku habis diganggu jin, Mir” Aku menepuk-nepuk pipi Mira. “Hah, diganggu siapa, Nay?” Mira bangun, terkejut. “Diganggu jin, bentuknya kayak kingkong, jelek banget kaya kamu” Aku kesal, karena sudah percaya dengan saran Mira. “Serius, Nay? Terus gimana, Nay?” Mira penasaran. “Awalnya aku bacain do’a-do’a, tapi gak mempan, terus aku inget kamu pernah bilang. Kalo jin gak mempan digituin, harus dimaki-maki.” Aku masih membayangkan kemarahan jin sial!n itu. “Iya iya, terus gimana? Mempan?” “Emang jin kurang ajar, dia malah semakin marah. Kamu juga Mir, kurang ajar. Kamu bohong kan?” Aku menatap Mira. “E e e… udah, Nay. Yang penting kamu udah gak papa, makanya besok lagi sholat dulu, wudhu sama bersih-bersih. Jin suka yang kotor-kotor, kaya kamu” Mira mencoba bercanda. Aku menuju ke kamar mandi, wudhu, bersih-bersih kemudian sholat.

“Fatherless: Luka yang Tak Terlihat, Rindu yang Tak Terucap”
Identitas Buku:Judul Buku: Fatherless: Andai Ayah Dengar IniPenulis: Rachmat RezaPenerbit: Buku MojokISBN: 978-623-8463-13-8Cetakan: Pertama, Januari 2024Jumlah Halaman: 99 halamanPenyunting: Elya Ra FananiDiresensi oleh: Mazda Ghazali Hidayat Setiap anak datang ke dunia dengan harapan akan pelukan yang hangat, suara yang menenangkan, dan sosok yang selalu ada untuknya. Namun, tak semua mendapatkan anugerah itu. Ada yang tumbuh dengan ruang kosong dalam hatinya—sebuah kehilangan yang tak selalu tampak, tapi terus terasa. Rindu yang samar, keheningan yang berteriak, dan pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Sebagian memilih mengabaikan luka itu, sementara yang lain menghabiskan hidup untuk mencari kepingan yang hilang. Bagaimana rasanya tumbuh tanpa kehadiran sosok yang seharusnya menjadi pelindung? Inilah awal dari perjalanan yang dituangkan dalam buku ini—sebuah kisah yang menggali kehilangan, merajut harapan, dan mencari makna di balik sunyi. Dalam Fatherless: Andai Ayah Dengar Ini, penulis mengajak kita untuk menyelami pengalaman mereka yang tumbuh tanpa kehadiran ayah atau tanpa hubungan emosional yang sehat dengannya. Banyak di antara mereka yang tak menyadari bahwa ketidakhadiran sosok ayah telah membentuk cara mereka melihat dunia, membangun relasi, hingga memahami diri sendiri. Dengan kejujuran dan empati, penulis berbagi kegelisahannya sebagai seorang fatherless, merangkai kisah pribadinya dengan wawasan yang ia dapatkan dari berbagai bacaan dan refleksi. Buku ini bukan sekadar catatan perasaan, melainkan ruang yang mengajak pembaca untuk memahami, menerima, dan mungkin, mulai menyembuhkan luka yang selama ini tersembunyi. Buku ini dimulai dengan kisah masa kecil penulis, yang tumbuh besar tanpa pernah mengenal ayah kandungnya. Dibesarkan oleh ibu kandung dan ayah sambung, ia mengalami secara langsung bagaimana rasanya hidup tanpa figur ayah. Pada bagian awal, pembaca diajak melihat kehidupan seorang fatherless dari sudut pandang anak yang bertahan dalam kesunyian, mencari sosok yang tak pernah ada. “Ada saatnya aku ingin memanggilmu ‘ayah’, hanya untuk melihat apakah kata itu bisa menyembuhkan ruang kosong dalam jiwaku.” Kalimat ini menggambarkan kerinduan yang tak terucapkan—perasaan yang mungkin juga dirasakan banyak orang yang memiliki kisah serupa. Pembahasan berlanjut dengan mengupas luka yang ditinggalkan oleh ketiadaan ayah. Ketidakhadiran figur ini tidak hanya menciptakan kehampaan, tetapi juga meninggalkan bekas yang membentuk karakter dan perjalanan hidup seseorang. Penulis menguraikan empat kategori fatherless dan menghadirkan sebuah matriks yang mengidentifikasi empat tipe ayah: ayah ideal, ayah patung, ayah memori, dan ayah hantu. Dengan cara ini, buku ini tidak hanya menggambarkan realitas pahit seorang anak tanpa ayah, tetapi juga membantu pembaca memahami bagaimana hubungan—atau ketiadaan hubungan—dengan ayah dapat membentuk kehidupan seseorang. Lebih jauh, buku ini menyoroti dampak dari kondisi fatherless terhadap perkembangan emosional dan sosial anak. Luka batin yang diderita sering kali membuat mereka mencari pelarian, baik dalam bentuk yang positif maupun negatif. Namun, buku ini tidak berhenti pada luka dan kehilangan semata. Sebagai penutup, penulis membawa pembaca ke dalam proses penerimaan dan penyembuhan. Ia menawarkan pemahaman dan solusi bagi mereka yang hidup dengan kekosongan ini, memberikan jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengendap dalam hati mereka yang tumbuh tanpa kehadiran ayah. “Anak-anak punya lubang berbentuk sosok ayah di jiwa mereka. Jika sang ayah tidak mau atau tidak mampu mengisinya, maka lubang itu menjadi sebuah luka yang sulit disembuhkan.” Kutipan ini menjadi refleksi mendalam bahwa peran ayah bukan sekadar keberadaan fisik, melainkan juga kehadiran emosional yang membentuk jiwa seorang anak. Kelebihan Buku ini ditulis dengan bahasa yang mengalir dan penuh emosi, membuat pembaca mudah terhubung dengan isi dan pesan yang ingin disampaikan. Pengalaman pribadi penulis memberikan kedalaman yang autentik, menjadikan buku ini lebih dari sekadar teori tentang kehilangan. Selain itu, konsep tentang empat tipe ayah dan matriks kehadiran/pengaruh ayah memberikan perspektif baru yang membantu pembaca memahami kompleksitas hubungan ayah-anak. Kekurangan Dengan jumlah halaman yang relatif sedikit, buku ini terasa singkat dan mungkin belum cukup untuk menggali lebih dalam aspek psikologis dan sosial dari kondisi fatherless. Beberapa bagian mungkin terasa kurang mendetail, terutama bagi pembaca yang menginginkan pendekatan lebih akademis atau studi kasus yang lebih luas. Rekomendasi Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang dinamika hubungan ayah dan anak, terutama bagi mereka yang merasakan kehilangan atau kehampaan dalam hubungan dengan ayah mereka. Bagi para fatherless, buku ini bisa menjadi teman yang memahami, menguatkan, dan mungkin, membantu menemukan cara untuk berdamai dengan masa lalu.