Mirat
Oleh: Fadina Amilia Izati Rakaman
Aku tidak ingat kapan terakhir kali kehidupan terasa begitu menyesakkan, kurasa tiga atau dua hari yang lalu? Entahlah aku tidak ingat persisnya. Hari ini aku kembali mengurus setumpuk berkas yang melelahkan, mendengar banyak dengungan lebah yang sibuk menjilat di depan atasan, tak heran memang, mengingat sulitnya mendapat penghidupan yang layak jika tidak berlaku demikian.
Kali ini aku sudah selesai. Lihatlah seonggok bayangan di sana. Aku benar-benar berantakan, dasi kendur, surai acak-acakan, kantung mata yang berkerak kian menghitam, dan jangan lupakan aroma tubuhku yang berkutat dengan segerombolan orang di minibus. Mengusap wajahku kasar. Aku mulai menyadari banyak hal. “Apa kau baik-baik saja?” suara di hadapanku. Menatap cermin gamam, Aku tidak mengerti harus bereaksi seperti apa? Kupikir benda dengan analog wajah sempurna itu mungkin bisa menjadi rekan membual yang kapabel mengambil tindakan dan sikap.
Aku menunduk malu, janggal rasanya melihat ia juga ikut menatap gamang di seberang sana. apa dia juga ikut mengkhawatirkanku? Aku meliriknya, iris kami bertemu, raut wajah sayu, tatapan kosong, gurat penat yang menggantung di bawah mata, jelas menggambarkan betapa buruk kondisinya saat ini. Segelintir pertanyaan mulai bergulir dan menyesaki spasi sempit di dalam otakku, bukankah aku juga harus menanyakan hal yang sama kepadanya?
“Aku lelah kau tahu?” jawabku lirih.
Menghembuskan nafas pelan, mencegah bulir kepedihan cergas melewati pipiku, aku dapat melihatnya ikut menahan tangis. Aku tidak yakin, tapi dia menangis untukku? Sejujurnya Aku lelah harus terus membual dengannya. Tapi…
“Apa yang kau khawatirkan?” Ia menatap lurus, penuh penekanan namun begitu rapuh, seolah sentuhan kapas lembut pun dapat meruntuhkan seluruh pertahanan. Entah peramal atau apa pun itu ia bahkan tahu aku tengah menghawatirkan banyak hal.
“Aku menghawatirkan banyak hal, semua orang ingin yang terbaik untuk kehidupannya. Bukan begitu?” jawabku balik bertanya.
Ia kembali merengut sedih. “Tidak ada salahnya untuk berbagi keluh kesah, kau punyaku aku.”
Aku tersenyum miring, “Iya, lebih tepatnya aku hanya punya kau.”
Yang dilempari pernyataan hanya diam, tidak bergeming, mengingat tsunami fakta yang datang tanpa diduga. Tentu saja, apa yang kau harapkan dari diriku yang kesepian ini. Kurasa membual dengan cermin bukan pilihan yang buruk. Aku tidak perlu membebani kehidupan orang lain dengan celotehku yang memekakkan. Aku menunduk pelan, kepalaku berdenyut. Meremas rambutku kuat, aku kembali menatap Ke arahnya, saat itu aku tidak melihatnya coba menghentikanku, di balik kaca ia hanya mampu menatap nanar.
“Hidup bukan sebuah perlombaan.” begitu ujarnya ketika melihat diriku hampir sekarat dengan gejolak di kepala.
Seraut wajah di hadapanku kembali melanjutkan, “Lantas, mengapa kau harus terus membandingkan dirimu dengan orang lain, kalau seperti ini terus, kau akan kehilangan kehidupanmu yang sesungguhnya.”
“Aku hanya… kau tahu? Tidak ingin gagal, aku ketakutan tentang hari esok dan esoknya lagi, terus seperti itu tiap harinya,” jawabku gemetar.
Aku menatapnya lekat, mendapati ia tengah berusaha keras menyusun penggal kalimat berikutnya, “Kau tahu mengapa dunia ini mendapat julukan si negeri fana?”
Ia tidak memberikan jeda untuk menjawab, menatapku hangat sepenggal bayangan di hadapanku kembali melanjutkan, “Sebab dunia tempat kau berpijak saat ini sering kali menyuguhkan kerlip negeri dongeng yang indah, namun manusia sendiri sering kali melupakan satu hal terpenting, negeri ini hanya lah sebuah permainan yang akan segera berakhir.”
“Itulah yang membuat hakikat kehidupan terasa begitu melelahkan, bukankah sebuah pertanyaan jika kau tidak merasa lelah menjalani kehidupan? Jika kau tidak merasa lelah itu artinya kau tidak mempersiapkan segalanya dengan baik dan kau banyak membuang waktu. Saat ini kau sudah berusaha keras. Kau tidak perlu membandingkan dirimu dengan orang lain, kau dan dirimu sudah cukup. Beristirahatlah. Aku menyayangimu.”
Aku menarik segaris senyum, menatapnya lembut ketika mendapati ia juga tersenyum kepadaku.