Cerpen

Lelaki Tua

Oleh: Lia Afiana

Debu jalanan waktu itu menerpa tubuhku, menutup mukaku berlapis-lapis. Kusam sudah mukaku. Krudung putih dan kemeja putih bawahan hitamku menyala terang di tengah redupnya aura wajah yang tertimpa debu. Halte bus kala itu tak sepadat biasanya, sebab kala itu akhir pekan, waktu bagi mahasiswa hibernasi di kostan atau waktu tepat untuk pulang bagi mahasiswa home sick. Sementara manusia setengah dewa sepertiku yang sudah padat kuliah, sok sibuk ikut organisasi yang berakhir membuat derita sendiri. Waktu libur terpotong karena sebagian besar agenda organisasi dilakukan waktu akhir pekan agar tidak mengganggu waktu kuliah katanya. 

Mentari masih berada di puncak kedudukannya, waktu masih menunjukkan pukul satu siang. Bus yang biasanya menghampiri penghuni halte tidak kurang dari sepuluh menit, sementara sat ini sudah lima belas menit lebih aku menunggu tak kunjung dihampiri. Hanya aku seorang diri di halte itu. Kalau saja kuikuti mau Safi untuk nongkrong bareng di Waka Kafe, mungkin aku tak berakhir seperti ini. Terpaksa kini aku harus menaiki bus untuk sampai ke kostan. Karena aku tak membawa motor untuk kuliah, itung-itung hemat, nebeng Safi saja sambil sesekali traktir makan dia sebagai upah bensin. Ah, tapi kali ini aku menyesal tidak membawa motor sendiri, apa-apa harus terpaksa susah kalau tidak bersama Safi. 

“Ah! Lama sekali! Sudah tidak butuh uangkah sopir bus sekarang!?” Akhirnya aku mengumpat sambil menendang kaleng soda yang berada tepat dibawah kakiku. Dasar anak muda kere kesadaran! Bisa beli tidak bisa membuang sampahnya. Batinku melihat sampah yang kebetulan kutendang tadi. 

Setelah lumayan tenang, dan napasku sudah tidak memburu lagi aku baru sadar, tiba-tiba seorang kakek tua telah berada di sampingku. Ia memakai topi jerami dengan tongkat kayu yang melengkung dibagin atasnya, celana katun abu dan kemeja hitam membalut tubuh keriputnya. Kembali ku kendalikan diri, karena saat ini sudah ada orang lain di sampingku. Lima menit berlalu dengan hening, akupun tak berani menyapanya karena segan. 

“Apalah dia apalah! Begitu saja tak tau arah,” mendengarnya bersuara, aku sedikit terkejut sekaligus bingung. 

“Apalah dia apalah hanya berjalan tak tentu arah,” kali ini aku tambah bingung, apa maksud perkataannya? 

“Apalah dia apalah semuanya dibikin susah,” belum selesai bingungku lelaki tua kembali bersuara. 

“Apalah dia apalah begitu saja marah-marah,” 

Ah! Dia mengajakku bicara!? Tapi memang tidak ada orang lain selain kami berdua. Mungkinkah lelaki tua ini sedang mengejekku? Ataukah ia hanya sedang bermonolog?

Kuberanikan diri duduk lebih mendekat dan bertanya maksud perkataannya. 

“Kakek, berbicara dengan siapa?” Tanyaku jaga-jaga, barangkali si lelaki tua memang sedikit ‘istimewa’. Tak mendapat jawaban langsung, kembali aku bertanya. “Maksud kakek berbicara seperti itu apa?” Tanyaku masih tetap berusaha sopan. 

Aku hampir terjengkang! Terkejut aku dibuatnya, lelaki tua ini tiba-tiba mencengkeram pergelangan ku dengan mata agak juling melotot padaku. Kerutan diwajahnya tampak begitu kentara, aroma tubuh yang tua begitu khas dan menyengat hidungku. Aku ketakutan, kupikir lelaki ini terkena bipolar atau semacamnya. Aku takut! Aku baru teringat tadi sempat mengumpat tidak sopan. Mungkin benar kata ibu, kita harus selalu menjaga adab di manapun, kalau-kalau ada ‘sosok’ yang tidak senang dengan ketidak sopanan kita. Ah! Aku baru ingat petuah itu, mungkin kakek ini bukan manusia! Dia marah padaku karena aku sudah tidak sopan. 

“Anak muda sekarang tak tau arah dirinya sendiri. Mereka lebih suka ikut-ikutan. Yang salah diikuti yang benar jarang sekali,” kini lelaki tua kembali bersuara sambil terus mencekal pergelangan ku, bedanya kali ini ia tidak lagi melotot. Sorotnya lebih teduh. “Anak muda sekarang punya keinginan tapi tak punya pendirian untuk tetap konsisten berusaha mewujudkannya,” imbuhnya lagi dan aku memutuskan untuk mendengarkan dengan awas. Meski sesekali masih takut. Kucoba menenangkan perasaanku.

“Anak muda sekarang suka mengeluh dan sukar bersyukur,” “

Anak muda sekarang punya ilmu tapi mudah diseret informasi salah berujung marah-marah.”

Jeda beberapa waktu masih kutunggu kalimat selanjutnya. Namun lelaki tua itu melepaskan cekalannya padaku dan bangkit dari duduk. Ia menghampiri sebuah becak yang berada sedikit jauh dari halte.

Aku masih termangu, bingung sendiri atas semua yang terjadi barusan. Apa maksudnya? Siapa kakek itu? Darimana datangnya? Lamunanku dikejutkan oleh klakson bus yang sudah siap menampungku. Buru-buru aku berdiri dan menaiki bus. Setelah mendudukkan tubuh di atas kursi bus, aku kembali meresapi maksud lelaki tua tadi. Ah! Aku tau, empat pernyataan sebelumnya adalah soal teka-teki. Dan empat pernyataan setelahnya adakah jawaban dari teka-teki itu sendiri. Kembali kuingat pesan yang disampaikan tadi, ah benar juga semua yang dikatakannya tadi. Dan aku tersinggung karena tadi sempat mengeluh dan marah-marah tidak jelas. Duh… Malunya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.