Ketika Kebebasan Berbicara Bertabrakan dengan Etika: Mengukur Batasan dalam Ranah Digital
Oleh: Ika Amiliya Nurhidayah
Di tengah evolusi digital yang makin masif, tidak bisa dipungkiri bahwa kebebasan berbicara juga tidak kalah penting untuk senantiasa dijunjung tinggi. Namun di tengah gelombang informasi yang tidak terbendung sebagaimana saat ini, kebebasan berbicara justru melenceng dari esensinya, bahkan bertabrakan dengan etika yang seharusnya menjadi pijakan sekaligus pedoman untuk tetap berada pada jalur yang benar.
Pada hakikatnya, kebebasan berbicara merupakan hak asasi manusia yang esensial bagi setiap individu. Konsep ini sangat berkaitan dengan citra negara Indonesia sebagai negara demokrasi sekaligus negara hukum. Dasar hukum mengenai kebebasan berbicara ini pun diatur dalam Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” (Nasution, 2020).
Dalam hal batasan berbicara, Islam memberikan landasan yang jelas mengenai etika berkomunikasi baik secara langsung ataupun dalam dunia digital. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa: 148 yang artinya: “Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Redaksi tersebut sangatlah jelas untuk memberikan pernyataan bahwa Allah tidak menyukai perkataan yang buruk. Konteks “perkataan yang buruk” dalam ayat tersebut jika diterapkan di kehidupan saat ini tentu tidak hanya seputar praktik berbicara langsung, melainkan juga berkaitan dengan aktivitas bicara netizen di media digital.
Kebebasan berpendapat yang berlebihan menjadi problematika serius di dunia digital saat ini. Permasalahan tersebut muncul karena kecepatan dan jangkauan internet yang tanpa batas sehingga memberikan ruang bagi semua orang untuk menyebarkan informasi. Hal ini juga memunculkan risiko penyebaran hoaks, fitnah, dan pemicu konflik. Maka dari itu, di samping mendorong kebebasan berbicara, filter etika dalam penyebaran informasi baik di media sosial, blog, atau platform lain juga perlu diperhatikan.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana cara mengukur batasan kebebasan berbicara dan etika dalam lingkungan digital? Cara yang pertama adalah dengan memposisikan diri menjadi orang lain yang akan melihat atau membaca informasi baik dalam bentuk postingan ataupun komentar yang akan diposting. Hal ini perlu dilakukan guna mempertimbangkan apakah informasi tersebut akan bermanfaat atau justru menimbulkan konflik dan kerugian. Kedua, utamakan kejujuran dan integritas pada setiap komunikasi yang dilakukan, karena menyebarkan informasi yang sarat dengan kebohongan justru akan menurunkan reputasi diri dan kepercayaan publik. Ketiga, perhatikan konteks dan situasi ketika berbicara di dunia digital, karena informasi yang dapat diterima dalam satu lingkungan mungkin tidak sesuai dalam konteks yang lain. Sejatinya, kebebasan berbicara di lingkungan digital merupakan sesuatu yang harus dijaga dan diimbangi dengan etika yang baik dan benar. Dengan itu maka kebebasan berbicara tidak akan lagi bertabrakan dengan etika, dan terciptalah lingkungan digital yang beradab dan bermanfaat bagi semua orang.
Referensi:
Nasution, L. (2020). Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Dalam Ruang Publik di Era Digital. 4, 37–48.