Cerpen

Dua Cup Pop Mie

Oleh: Elsa Maulidina

Hujan lebat terjadi siang ini. Dibarengi dengan petir yang menyambar, serta genangan- genangan yang mulai meninggi di jalanan. Langit semakin lama semakin petang, padahal ini masih jam 1 siang. Aroma tanah basah sudah hilang dihirup oleh banyak hidung manusia yang bernafas di sekitarku. Dan bodohnya aku, membiarkan helm dan jaketku satu-satunya tetap nangkring di atas kaca spion motor. Aku sudah hampir 1 setengah tahun kuliah di sini, sudah melewati 2 kali musim hujan, akan tetapi sampai sekarang aku masih belum punya jas hujan ataupun berniat membeli jas hujan. Jam mata kuliahku masih berlangsung, akan tetapi rasanya pikiranku sudah terbang, menuju ke kantin. Ya, mata kuliah siang hari tantangannya selain rasa kantuk adalah rasa lapar. Suasana hujan yang dingin, serta suara gemericik air yang jatuh dari langit menabrak atap-atap gedung kelasku dengan sangat indah nadanya. Membuat teman- teman kelasku merasa diantar ke alam bawah sadar.

“Sa, ini dosennya gak masuk ya?”

“Aku gak tau”

Waktu masuk jam mata kuliah sebenarnya jam 12 lebih 15 menit, akan tetapi sampai jam 1 siang dosen pengampu kursinya masih kosong, teman satu kelas yang sebenarnya ada 45 mahasiswa sekarang hanya tinggal 20 mahasiswa, entah masih makan siang atau terjebak hujan di jalan menuju kelas. Sebenarnya ini adalah keadaan paling membosankan, terjebak hujan di dalam ruangan yang rasanya hampa karena semua manusianya meringkuk di atas kursinya masing-masing.

Kali ini rasanya alam sedang berpihak kepadaku, hampir jarang aku duduk di bangku paling samping sebelah kaca jendela. Sangat bersyukur bisa menikmati suasana hujan yang mengguyur dedaunan di taman sebelah gedung kelasku. Kaca-kaca jendela yang mulai basah karena percikan air hujan membentuk tetesan-tetesan air yang cantik.

“Dor-dor-dor”

Aku terkejut ketika ada seseorang menggedor kaca jendela yang sedang aku amati sejak tadi. Dia kebasahan. Aku bingung dia siapa. Dan dia memintaku untuk membukakan jendela kaca yang tepat berada di depanku. Sebelum aku membukanya, aku pastikan sekitarku terlebih dahulu, ternyata semua mata tertuju kepadaku, dan untungnya bangku dosen masih belum terisi.

“Kamu siapa? Mau apa dikelas kami?” setelah aku bukakan jendela, sebelum dia berbicara, aku sodorkan pertanyaan yang bisa menjawab kebingungan serta keterkejutanku tadi, juga pasti di kepala teman satu kelasku mempunyai pertanyaan yang sama.

“Aku mahasiswa sini juga kok, kita satu angkatan” tanpa dipersilahkan, dia duduk di bangku yang awalnya aku tempati tadi, tanpa permisi, padahal keaadan dia sangat basah, dan dia bersandar tepat di tasku.

“Kamu ini basah kuyup bisa-bisanya masuk kelas, kamu bukan anak kelas ini” teman kelasku membantuku berbicara, saat aku hanya terdiam sambil mengusap air yang menempel di tasku setelah aku ambil dari bangku yang laki-laki tersebut duduki.

Laki-laki itu hampir seluruh tubuhnya basah, seperti orang yang pulang dari sawah, sepatunya pun meninggalkan jejak kotor di lantai. Dan kaca mata yang dia pakai sudah mengembun sejak tadi. Sebenarnya aku kasihan, tapi dia sudah mengambil tempat dudukku, beruntung dosen tidak jadi masuk hari ini, tapi tidak seberuntung itu, karena mau tidak mau aku harus menunggu hujan reda untuk pulang, kemungkinan helm dan jaketku sudah sangat basah di luar.

“Kenalin nama aku, Pras” laki-laki itu langsung mengulurkan tangan ke arahku. Sontak satu kelas berteriak “ciye ciye elsa dapet kenalan” dan yang membuat aku semakin malu, ketika dia menarik kursinya lalu duduk di sebelahku.

Saat itu tiba-tiba hawanya terasa semakin dingin, entah karena keadaan Pras (ya nama dia adalah Pras) yang basah atau memang hujan di luar turun semakin lebat. Aku tidak banyak bicara pada saat itu, aku masih sibuk baca-baca berita tentang banjir yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tanpa sengaja aku menoleh ke arah sebelah, kelihatannya Pras merasa kedinginan sekali, bibirnya pucat dan kulit telapak tangannya sudah mengkerut.

“Nih pake, buka sepatu dan kaos kakimu, biar gak kedinginan!”

“Wah, gapapa makasih, aku gak kedinginan kok!”

Dia menolak handuk dan kaos yang aku berikan, entah ini suatu kebetulan atau bagaimana yang jelas aku tidak bisa untuk tidak peduli, karena dia terlihat kedinginan. Aku meraih tangannya, aku berikan kaos hitam polos yang awalnya akan aku gunakan untuk acara dirumah temanku nanti sore dan untungnya aku termasuk orang yang suka menggunakan baju over size, serta handuk wajah yang setiap hari aku bawa dalam tas kemanapun aku pergi.

“Mau dipake atau enggak, terserah kamu, yang kedinginan kamu, gak usah bikin masalah di kelasku.”

Setelah aku memberikan handuk serta kaos kepada Pras, akhirnya aku pergi karena suasana kelas semakin ramai ketika melihat aku memberikan kaos dan handuk kepada Pras. Mereka seakan-akan baru kali ini melihat sesuatu yang seperti itu. Keluar, pergi meninggalkan kelas itu sebenarnya bukan pilihan baik saat itu, kondisi di luar hujan deras, dan banyak kelas yang tertutup pintunya, entah karena ada dosen atau mereka sedang berpesta di dalam kelas. Aku menghubungi salah satu teman kelasku, supaya dia bisa memintakan handuk yang sudah dipakai oleh Pras. Tapi itu tidak berhasil.

Malah hasilnya di luar dugaanku. Temanku memberi tahu Pras di mana aku sekarang duduk.

Dia menghampiriku tanpa menyapa, kami duduk bersebalahan, cukup lama sekitar 15 menit tanpa pembicaraan. Aku tidak mengenal dia, dan aku juga tidak mau membuka

percakapan yang aku sendiri tidak tahu mau berbicara apa dengan Pras. Dia meletakkan handukku yang sudah dia pakai dalam pangkuannya, kaos polos hitam yang kuberikan tadi sudah dia pakai, dan dia melepas sepatu serta kaos kakinya yang tadi basah kuyup. Aku hanya melihat dia tanpa bertanya apa-apa. Begitupun dia, melihat ke arahku dengan tersenyum tanpa mengatakan satu kalimat terimakasih ataupun sekedar basa basi. Kami hening, karena saat itu memang di rooftop hanya tinggal kita berdua. Dan tiba-tiba seorang satpam gedung tersebut masuk dan mengagetkan kami berdua.

“Ini pada ngapain di sini? Pacaran? Tapi kok diem-dieman? Apa lagi berantem?”

Tanpa menjawab aku langsung pergi meninggalkan pak satpam, dan Pras yang masih duduk di bangku dengan menggenggam handuk yang sudah dia pakai. Kedengarannya Pras masih bercerita dengan pak satpam tersebut, karena ketika aku sudah ada di tangga menuju lantai bawah, aku tidak mendengar ada langkah kaki yang mengikutiku.

Aku melihat waktu di jam tanganku sudah menunjukkan pukul setangah 3 sore, akan tetapi hujan masih deras dan langit masih sangat gelap, tapi aku bingung mau kemana. Ke kelaspun sangat tidak mungkin karena pastinya teman-teman sudah menutup dan mengunci kelas. Ke kantin juga tidak mungkin karena jalan menuju kantin lumayan jauh dari gedung kelasku. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di teras lobi gedung Fakultasku, aku duduk di luar sambil membiarkan angin membawa air menabrak wajahku, rasanya sangat sejuk. Aku duduk sendirian, mungkin hari ini aku terlihat sendiri dan menjadi pendiam, padahal sebenarnya tidak seperti itu, hanya karena teman-teman akrabku masih ada mata kuliah lain, dan hari ini aku hanya wajib menyelesaikan dua mata kuliah.

“Mau pulang gak? Ayo bareng aku!”

Seseorang dari sebelah kanan menyapaku dengan kalimat yang tidak aku duga dan sangat mengejutkan, tanpa permisi untuk menyapa malah langsung mengajak pulang bersama.

“Kamu itu ngapain sih Pras, jangan ngikutin aku!”

“Kamu GR banget Elsa, aku Cuma mau ngembaliin handuk ini”

“Makasih ya Elsa, ternyata kamu baik”

Tanpa menjawab aku langsung menyambar handuk yang tadinya aku pinjamkan dari tangan Pras. Aku tidak menjawab ucapan terimakasih yang dia lontarkan.

“Oh iya, Elsa tetap semangat ya, kamu harus tetap hidup meskipun gak berguna” dia berlalu pergi meninggalkan aku sendiri duduk di depan lobi gedung. Aku masih heran, kenapa dia mengatakan hal itu, padahal kami tidak saling kenal, bahkan saling bertukar cerita saja tidak pernah.

Setelah mendengar kalimat yang disampaikan oleh Pras tadi, aku jadi ingat seseorang yang pernah mengatakan hal yang sama kepadaku, tapi sampai saat ini aku tidak pernah bertemu dengan dia. Aku mengenal dia sejak pertama kali aku menjadi mahasiswa baru, kami awalnya kenal dari grup WhatsApp chat khusus mahasiswa baru, yang saat itu ketika aku send pertanyaan tentang salah satu icon di kota ini kebetulan dia langsung membalas melalui chat pribadi, dan sejak saat itu kami saling save nomor hp dan juga bertukar username Instagram. Sampai aku sudah semester 3 tapi tidak pernah bertemu dengan dia. Pada saat itu dia bilang nama dia adalah Farizi, dan nama Farizi tidak hanya satu. Singkat cerita, setelah semester 1 mampu aku lewati, Farizi semakin sering menghubungiku, bertanya mengenai tugas-tugas mata kuliah. Sangat kebetulan saat dulu masih semester 2, kampusku dilanda banjir yang cukup tinggi, sehingga kami diliburkan selama 3 hari dan ternyata kelas kami dirubah menjadi kelas online melalui WhatsApp serta E-learning kampus selama satu semester penuh. Saat itulah hubungan baik kami semakin terjalin, kami sering bercerita tentang tugas, bertukar pemikiran dan bercanda tentunya. Karena saat semester 2 kelas kami online, aku semakin tidak tau seperti apa sebenarnya Farizi, seperti apa wajah dia, seperti apa dia saat berbicara, saat bercerita, bagaimana gaya rambutnya, bagaimana cara dia

berjalan dan warna tas apa yang dia kenakan saat kuliah, aku sama sekali tidak pernah membayangkan.

Pernah suatu hari aku merasa menjadi orang paling bersalah karena sesuatu, aku putus asa sekali dan akhirnya aku membuat Snap Story WhatsApp yang berisikan gambar kartun perempuan yang jatuh tertembak panah masalah kehidupan. Seakan dia mengerti apa yang sedang aku rasakan, dia me-reply Story WhatsAppku, dengan isi pesan “Tetap hidup Sa, meskipun gak berguna. ixixixix”. Ya, sangat mirip seperti yang diucapkan oleh Pras, rasanya aku merindukan semester 2, dimana meskipun semuanya dilakukan secara online tapi aku punya teman baik seperti Farizi. Meskipun dulu terkadang aku cukup sedikit tidak nyambung ketika diajak berbicara via Chat dengan dia, akan tetapi itu menjadi sesuatu yang lucu menurutku, ketika dia mencoba menjelaskan dengan mengetik semua isi pesan dan memperjelas satu persatu pesan yang dia maksud. Sampai-sampai chatnya menjadi sangat panjang.

Dia Ahmad Farizi, tapi sudah tinggal kenangan. Mungkin dia pindah kampus atau berhenti atau cuti, bahkan meskipun ketika dia masih aktif di kampus, aku tidak pernah lagi berinterkasi dengan dia, baik via chat WhatsApp ataupun DM Instagram. Kabar dia sudah tidak pernah ada lagi. Dulu kami menjadi asik bercerita karena mungkin pada saat itu aku masih jomlo dan dia sudah posisi memiliki kekasih, sehingga aku adalah tempat dia bercerita dan tempat dia membully. Tapi itu terasa menyenangkan, sekaligus juga tidak menyenangkan karena kami ada batasan, bahwa dia milik orang lain.

Aku masih asik mengenang waktu itu, di mana aku mempunyai teman baik yang siap menemani juga selalu ada buat aku, tapi aku tidak pernah bertemu, tidak pernah tau keadaan dia, tidak pernah interaksi langsung, akan tetapi aku sudah nyaman untuk bercerita, bahkan aku sudah merasa bahwa pertemanan kami seperti sudah sangat lama. Sangat indah, tidak ada pertengkaran, yang ada hanya bercanda tidak tentu arah.

“Auu, apaan sih. Kaget tau!”

“Nih makan, mumpung masih anget”

Pras datang menemui aku yang masih duduk di depan lobi gedung Fakultasku. Tanpa aku sadari ternyata aku sudah satu jam duduk sendirian disini dengan mengenang Farizi, akan tetapi hujan deras belum juga reda. Sebagian bajuku basah, karena angin yang membawa air hujan cukup deras, tapi sama sekali tidak membangunkanku ketika tadi membayangkan sosok si Farizi.

“Dimakan Sa, aku belinya jauh, kena hujan, biar kamu bisa makan pas anget, masak gak dimakan juga?”

“Iya Pras, aku makan, makasih ya”

Pras datang membawa dua porsi Pop Mie rasa Baso, satu untuk dia dan satu untuk aku. Kami menikmati Pop Mie hangat di depan lobi gedung Fakultas yang hujannya masih sangat lebat.

“Tadi kamu mikirin apa Sa? kayaknya serius banget aku liatin”

“Emmm, gak ada”

“Kamu gak kenal aku Sa?” “Pras, kan? Udah kenalan tadi”

“Yaudah habisin dulu, biar sadar”

Aku diam tanpa menjawab percakapan terakhir dari Pras, aku tidak ingin hawa dingin yang diciptakan oleh suasana hujan merampas nikmat hangatnya Pop Mie.

Pras sudah lebih dulu berhasil menyantap Pop Mie satu cup tanpa sisa. Mungkin dia sangat lapar karena terkena hujan tadi, atau memang dia suka makan aku juga tidak tau.

“Pras mau nambah? Nih punyaku habisin gapapa”

“Aku beli dua tujuannya satu buat kamu satu buat aku, buka setengah buat kamu dan sisanya buat aku”

Mendengar jawaban Pras aku tersenyum, malu rasanya, padahal sebenarnya aku tidak bermaksud seperti itu.

“Aku tinggal beli minum dulu ya, Sa”

“Gak usah Pras, aku bawa air minum kok!”

“Oh”

“Loh kok gak pergi Pras? Katanya mau beli minum?”

“Lah katanya kamu bawa minum, yaudah aku gak beli!”

“Kamu mau ke kantin Cuma mau beliin aku minum?”

“Astaga, ya enggak Elsa, kan kamu udah bilang kalau kamu bawa air minum, yaudah aku mau minta air minum kamu aja hahaha. Duitku habis Sa buat beli Pop Mie dua porsi”

Aku tersedak ketika Pras berkata seperti itu, karena saat itu posisiku sedang minum. Dan akhirnya aku tertawa, menertawai perkataan Pras yang menggelikan karena uangnya habis. Akhirnya Pras juga tertawa. Kami tertawa bersama, menertawakan sesuatu yang baru saja terjadi, tentang dua porsi Pop Mie dan air minum. Setelah aku dan Pras selesai menertawakan sesuatu yang konyol, aku memberikan air minumku kepada Pras.

“Makasih, Sa”

“Aku juga makasih, Pras”

“Kok manggil aku Pras? Padahal biasanya enggak manggil Pras!”

“Ha? Emang aku biasanya manggil kamu apa?”

“Kamu seriusan gak kenal sama aku, Sa?”

“Lah emang kamu siapa?”

“Aku Farizi, Elsa. Aku Farizi. Kamu lupa? Kamu gak kenal? Iya?”

(Deg! Tuhan, ini permainan macam apa? Ini takdir apa? Kenapa kok sampai kayak gini? Astaga!)

“Ha? Gak usah bercanda deh, aku gak kenal kamu, kamu gak kenal Farizi! Kamu tau dari mana tentang Farizi?”

Aku marah, nada bicaraku sudah berubah. Aku malas bercanda tentang sesuatu yang pada akhirnya itu hanya merugikan aku sendiri. Pras mengeluarkan HP dari saku celananya. Dan aku masih menatap ke arah Pras dengan penuh kemarahan. Dia masih santai dengan membuka-buka aplikasi di HPnya. Dan akhirnya dia menunjukkan sesuatu kepadaku di aplikasi WhatsaApp milik dia. Dia mulai mengetik sebuah nama di kolom pencarian. Dan keluar nama Elsa.

“Ini nomer kamu kan, Elsa? Ini chat terakhir kita kan? 20 Juni kemarin, dan sekarang baru Oktober loh, ternyata kamu udah kangen sama aku hahaha”

Aku terkejut, masih belum percaya dengan permainan alam, masih belum sadar dengan keajaiban dunia yang bisa mempertemukan seseorang yang tidak pernah bertemu dan kemudian saling mengenal. Aku masih belum bisa menerima bahwa laki-laki yang duduk di sebelahku, bercerita dan tertawa serta menghabiskan Pop Mie bersama itu adalah dia, Ahmad Farizi yang selama ini aku cari.

“Yaudah, sini tangan kamu!”

Dia meraih tanganku, dan aku masih diam terpaku, masih belum sadar dan belum percaya bahwa dia adalah Farizi.

“Kenalin, nama aku Ahmad Farizi Prasetyo. Aku teman baik Elsa. Aku Farizi yang Elsa tunggu dan aku juga Pras yang menyebalkan bagi Elsa. Semoga kita masih tetap berteman baik.”

Dia memperkenalkan diri dengan wajah penuh kegembiraan, dengan senyum yang membentuk setengah lingkaran di bibirnya. Tangan Pras yang awalnya dingin, kini mungkin sudah mencair sehingga genggamannya menjadi hangat. Dan aku, masih tidak percaya bahwa dia adalah orang yang aku cari selama ini. Tanpa sadar aku menitihkan air mata, entah air mata apa, perasaanku menjadi campur aduk, bingung, bahagia, sedih, marah, dan tekerjut semuanya menjadi satu. Aku masih diam dengan air mata yang terus berlinang, Pras alias Farizi kemudian mengambil tisu di dalam tasku dan menyeka air mata yang berlinang di wajahku.

“Jangan nangis, Sa. Aku masih kuliah di sini kok, aku bakal nemenin kamu”

Tiba-tiba tangisku pecah, aku menangis sejadi-jadinya, dibarengi dengan hujan yang masih turun, Pras alias Farizi menggenggam tanganku berusaha menangakan dan dia menepuk bahuku untuk menguatkan. Mugkin dia juga sadar bahwa apa yang dia lakukan pastinya cukup mengejutkan untukku.

“Aku kan pernah bilang dulu, kalau ada apa-apa cerita, jangan tiba-tiba berubah atau ngilang, aku bingung” Aku mencoba berbicara meskipun cukup terbata-bata.

Farizi alias Pras kemudian memelukku, aku tumpahkan semuanya di hari itu. Dihari pertama perjumpaan kami, akan tetapi sudah menjadi hari ke 395.417 sejak kami saling kenal. Hari itu menjadi hari yang paling aku kenang, tentang dua Cup Pop Mie dan handuk yang bisa saling mempertemukan dua orang yang jauh dari kemungkinan untuk bertemu. Dari hari itu juga aku belajar, bahwa rasa sabar tidak ada batasnya, hanya manusia yang memberi batasan, sedangkan Tuhan tidak peduli meskipun selama apapun manusia bersabar, jika Tuhan belum berkehendak untuk mempertemukan, maka itu menjadi kuasa Tuhan.

Untuk Farizi terimakasih, sekarang aku sudah menjadi sarjana Magister di kampus yang dulu pernah kita cita-citakan bersama, doakan juga semoga aku lekas menyusulmu, dan selamat atas kelahiran putra keduamu, semoga kamu menjadi ayah yang tanggung jawab dan soleh, serta keluargamu sakinah selamanya.

Biografi Penulis

Hay, kenalin namaku Elsa Maulidina, terserah mau manggil siapa, yang penting jangan sayang, nanti kalo udah sayang beneran, bakalan rumit. Aku lahir di kota kebangganku, Pasuruan. Pada tanggal 14 Juni 2000. Aku anak terakhir dari dua bersaudara. Aku mahasiswa IAIN Pekalongan angkatan tahun 2019.

Aku suka menulis mulai kelas 4 SD, setelah mendapatkan tugas untuk menceritakan bentuk bunga mawar sebagus dan semenarik mungkin. Setelah mendapat tugas tersebut, aku setiap hari menulis dan mendeskripsikan sesuatu melalui naskah cerita, atau kata guruku dulu lebih mirip seperti puisi. Setelah lulus SD, dan di bangku SMP aku mempunyai banyak teman kakak kelas yang setiap hari bercerita tentang kekasihnya, sehingga aku menyerap semua perasaan mereka, tentang kebahagiaan ataupun kesedihan yang mereka rasakan, sampai akhirnya aku suka menulis sajak- sajak tentang cinta, meskipun saat kelas 1 SMP aku masih tidak tau bagaimana rasanya jatuh cinta dan dicintai oleh lawan jenis.

Ketika masuk jenjang SMA, aku bersyukur, karena keisenganku untuk mengikuti beberapa lomba menulis cerpen maupun puisi aku bisa mendapatkan peringkat, meskipun tidak terlalu mewah, akan tetapi aku bangga dengan diriku sendiri, dan terimakasih karena otak dan hatiku masih tetap setia sampai sekarang mau bernarasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.